Pengajian Keempat
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Alhamdulillahi
Robbil ‘Alamien” : “Segala puji bagi
Allah Tuhan Semesta Alam” ; (Al-Fatihan : 2).
Huruf ‘alif’ dan ‘lam’ pada ‘al-hamdu’
dimaksudkan mencakup segala jenis dan ragam pujian hanya milik Allah Ta’ala,
seperti sabda Rasulullah SAW : “Allahumma lakal-chamdu kulluh, walakal-mulku
kulluh, wa-biyadikal-khoiru kulluh, wa-ilaika yarji’ul-umru kulluh…” : “Ya
Allah kepunyaan-Mu lah segala puji, kepunyaan-Mu lah segala kerajaan, dalam
kekuasaan-Mu lah segala kebaikan, dan kepada Engkau-lah segala urusan itu
kembali……” (Tafsir Ibnu Katsir)
Dalam pengajian ketiga, kita telah membahas
fungsi transenden dan proses individuasi dalam diri manusia yang
berkecenderungan membawa jiwa manusia kepada kesempurnaan. Pada pengajian
keempat ini kita akan mendalami pembahasan itu dengan pendekatan Gestalt.
Gestalt atau figure yang normal terbentuk
dari latar belakang organisme yang utuh. Perumpaannya seperti bunga ditengah
ruangan. Bunga adalah gestalt dan ruangan adalah latar belakang. Ketika kita
lapar, maka segala gambaran untuk memperoleh makanan adalah gestalt dan seluruh
proses organisme dalam diri manusia adalah latar belakangnya.
Keberhasilan fungsi transenden dan proses
individuasi tergantung pada gestalt yang terbentuk. Untuk itu harus diketahui
struktur nilai dan energi yang mendominasi ego.
Jika struktur nilai yang mendominasi ego
adalah spiritualisme dan energi yang
memusat adalah super ego, maka akan lahir gestalt yang bersifat ilahiah. Dari
arah inilah psyche mampu membangun iamjinasi tertinggi yang disebut IMAN. Dari posisi inilah jiwa
manusia mampu mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil Alamien; segala puji bagi Allah
Pemelihara Semesta Alam (QS I:2). Suatu pengakuan akan nilai transenden sebagai
gestalt yang tertinggi dan menjadi penuntun perilaku manusia.
Hamdalah adalah pernyataan kesatuan organisme
dengan kosmik, antara diri, Allah dan semesta alam. Andras Angyal dalam
pandangan biosphere-nya menyatakan bahwa kesatuan organisme dengan lingkungan
menjadi prasyarat mutlak terbentuknya pribadi yang utuh. Angyal berpendapat
individu tidak mungkin dilepaskan dari lingkungan.
Keduanya saling memasuki dengan cara yang
kompleks sehingga tidak mungkin dipisahkan. Diri adalah organis dan lingkungan
adalah totalitas organis dan an-organis meliputi mikro dan makro kosmos. Dan
pemelihara seluruhnya adalah Rabb Al Alamien, Pemelihara Semesta Alam, yang
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai Allah, personalitas tuhan monotheis yang di
sembah dalam sistem agama samawi.
Untuk sampai pada hakekat Hamdalah, harus
dipahami proses kognitif. Menurut Jean Piaget, proses kognitif dimulai dari
adanya stimulus, lalu asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Stimulus akan masuk
kepada file indeks skemata. Jika ada memorinya disana, stimulus langsung masuk
dalam proses asimilasi dan ekuilibrasi. Tetapi jika tidak ada dalam skemata,
stimulus akan masuk pada proses akomodasi dimana terjadi proses penyesuian
stimulus dengan skema untuk menghasilkan skemata baru yang memasukkan stimulus
baru tersebut. Setelah itu proses akan masuk kepada ekuilibrasi dimana terjadi
bentuk akhir dari kesimpulan-kesimpulan yang membentuk struktur nilai dan
pengetahuan manusia tentang sesuatu hal.
Hamdalah adalah stimulus. Apakah ia ada dalam
indeks skemata kita ? Apakah dalam proses kanalisasi diwaktu kecil orang tua
kita pernah memasukkan struktur nilai Hamdalah dalam skemata kita ? Ini sangat
mendasar. Karena jika tidak Hamdalah tidak mudah eksis dalam proses
ekuilibrasi. Inilah makna penting Sabda Rasulullullah : “Tuntutlah Ilmu dari
sejak dalam buaian hingga liang lahat”. Menurut Gardner Murphy proses
kanalisasi dimasa kanak-kanak sangat menentukan.
Freud berpendapat kepribadian terbentuk sejak
umur 3 hingga 5 tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa fungsi transenden dan
proses individuasi tidak begitu saja mampu membentuk gestalt yang religius yang
menjadi sumber perilaku manusia beriman, kecuali telah terjadi kanalisasi
struktur nilai religius sejak dini. Dengan kata lain pendidikan adalah yang
terpenting. Tentang hal ini Kong Hu
Chu 2500 tahun yang silam
berkata : “Bahwa setiap manusia memiliki potensi moral yang sama, yang
membedakannya adalah pendidikan”.
Ajarilah
anak-anak kita, generasi muda bangsa ini dengan kalimat Hamdalah. Masukkan
dalam proses kanalisasi sejak usia dini, jadikan stimulus yang mengisi proses
kognitif, maka kita akan memiliki generasi bangsa yang mampu mengucapkan
Hamdalah dalam arti yang sesungguhnya, sehingga nyatalah Firman Allah :
“Ulaaika alaa Hudan Min-rRabbihim, wa ‘ulaaikahumul muflihuun”, Mereka itulah
yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah orang-orang yang
beruntung (QS, 2:5).
Hamdalah mengandung makna biosphere, yaitu
kesatuan sistem organisme, semesta dan transenden dalam satu simbol Rabb-al
Alamien; yang mengandung makna energi tunggal yang menjaga kestabilan ekosistem
dalam batas ruang dan waktu dan ekosistem diatas batas ruang dan waktu. Dalam
Hamdalah terkandung essensi monotheis yang menempatkan Rabb-al Alamien sebagai
pusat energi organis dan an-organis, yang menjadi pusat konstelasi agnostic dan
transcendental yang dapat diartikan sebagai sendi-sendi Tauhid. Semua struktur
nilai itu tentu tidak begitu saja ada dalam diri manusia, harus ada proses
stimulus yang membentuk kognisi. Itulah fungsi pendidikan.
Apakah gestalt seorang Muslim ketika
mengucapkan Hamdalah ?” Ini menentukan kualitas mental dan perilaku. Ratusan
juta orang Islam mengucapkan Hamdalah setiap hari, dan tidak membentuk
representasi mental dan perilaku yang signifikan, mengapa ? Karena tidak
terbentuk gestalt sebagai obyek Hamdalah.
Mengapa tidak terbentuk ? Karena tidak adanya
energi religius pada ego dan super ego, karena skemata tidak memiliki indeks
file yang lengkap mengenai Hamdalah, sehingga totalitas psyche sebagai latar
belakang tidak melahirkan dorongan energi pada ego, sehingg ego tidak mampu
membentuk gestalt sebagai obyek Hamdalah yang menjadi landasan kualitas mental
dan perilaku. Struktur ini penting dipahami; jika proses kanalisasi nilai-nilai
Hamdalah terbentuk sejak dini, maka ego tidak mengalami kesulitan dalam
melakukan regresi bermotif sehingga mampu melahirkan gestalt yang berpijak pada
struktur nilai dalam kanalisasi yang telah inheren dalam konstitusi psikologis
karena tertanam sejak dini.
Maka lahirlah gestalt dalam bentuk-bentuk
perilaku estetis, religius dan homonomi yang membentuk kebudayaan dan peradaban
manusia yang bertauhid. Adakah Hamdalah
yang setiap hari kita ucapkan telah melahirkan gestalt yang demikian ? Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi Fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 9 Juli 2004,
Pengasuh,
H. AGUS
MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar