Pengajian Ketiga
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Fa-idza qoro’tal-Qur’ani, fasta’idz billahi
minasysyaithonirrojiem” : “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”; (An-Nachl : 98).
Adapun tentang bacaan “Bismillahirrochmanirrochiem”,
para ‘ulama’ sepakat sebagai pemisah setiap surat dan sebagian berpandangan
juga sebagai ayat pertama Al-Fatihah.
Kita masih membahas topik yang sama dengan dua
pengajian sebelumnya, yaitu taawudz dan basmalah.
Jika dalam dua pengajian terdahulu kita mencari
syaitan dalam diri sendiri dengan pendekatan psikologis, maka pada pengajian
ketiga ini kita akan mengobservasi keberadaan syaitan sebagai faktor obyektif
yang independen dan bersifat ekstra organis, dengan pendekatan antropologis.
Untuk itu kita akan menelusuri historiografi manusia dalam berinteraksi dengan
faktor supra-natural.
Agama Wu.
Pada tahun 2953 SM di Tiongkok muncul seorang kuat
yang bernama Hok Hi sebagai pemimpin manusia didaratan Tiongkok waktu
itu. Pada masa Raja Hok Hi inilah manusia mulai belajar menjinakkan binatang
buas, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia, baik untuk kepentingan
mengolah lahan pertanianan, untuk kepentingan transportasi, maupun untuk
konsumsi (makanan). Artinya inilah permulaan peradaban binatang ternak,
sebelumnya seluruh binatang adalah buas.
Bahkan baru pada masa Hok Hi inilah manusia mulai
mengenal lembaga perkawinan yang pertama dan hidup berumah tangga. Sebelumnya
mereka hanya mengenal ibu kandung sebagai keluarga. Juga pertama kali manusia
mengenal alat musik dawai seperti Khim (siter Tiongkok). Sebelumnya mereka
hanya mengenal perkusi yang sederhana, seperti tetabuhan dari kayu dan bambu.
Agama yang dianut secara luas pada waktu itu adalah
agama Wu atau Chenayangisme dan penyembahan alam atau pantheisme (tuhan
berada dalam segala-galanya), yang bertalian pula dengan animisme
(segala-galanya hidup) dan politheisme (banyak tuhan). Agama Wu membentuk
tokoh-tokoh historikal semu yang ditemukan para pendeta Wu dalam petualangannya
ke alam hantu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.
Agama Wu dapat dikategorikan sebagai agama penyembah
berhala, memiliki ciri sangat menghargai aspek fisiologis seperti tubuh
jasmaniah yang diupayakan untuk mencapai keabadian fisik secara harfiah.
Kepercayaan Wu atau Shamanisme melibatkan pengembaraan
roh aktif, seperti menemukan Pulau Orang-orang Yang Diberkati sebelum ajal,
atau menemukan obat mujarab yang akan memberikan kehidupan fisik yang abadi,
atau paling tidak usia yang sangat panjang dan fisik yang sangat kuat atau
sakti. Dalam hal ini diyakini bahwa praktek agama Wu memperoleh kekuatan dari
dunia makhluk halus atau hantu yang hadir berdampingan dan membentuk jalinan
dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Dunia makhluk halus ini berfungsi pula sebagai
reservoir energi semacam gardu pembangkit tenaga yang dapat dimanfaatkan
seseorang untuk meningkatkan kesehatan, kekuatan fisik dan umur panjang.
Proses evolusi.
Dari sudut pandang monotheis kita dapat mengkategorikan
Agama Wu atau Chenayangisme sebagai bentuk penyembahan kepada roh halus, dalam
arti ekstra organis, sebagai faktor obyektif yang keberadaannya dapat
dibuktikan menurut hukum-hukum organis
dan an-organis. Kita yang hidup pada zaman ini dan memahami makna transendental
dengan baik, sesungguhnya merupakan bagian dari hasil evolusi psikofisik
manusia sejak zaman Hok Hi itu.
Kita dapat saja menuduh agama Wu adalah kepercayaan
sesat. Tetapi jika kita memahami makna antropologis pada zaman 30 abad sebelum
masehi itu, maka bentuk kepercayaan seperti agama Wu merupakan bagian dari
proses manusia mencari sumber kekuatan hakekat kehidupan ini yang membentuk
sesi-sesi peradaban dalam proses evolusioner untuk mencapai struktur psikologi
seperti yang kita miliki sekarang.
Evolusi itu mulai dari pengenalan faktor supra natural
dan takhayul yang kemudian membentuk agama-agama bumi, agnostisisme yang
menjadi landasan falsafah sosial dan iptek, hingga transendental yang menjadi
landasan spiritualisme agama-agama samawi. Ketiga faktor fundamental Itu masih
terus hidup hingga masa sekarang ini. Dalam berbagai dimensinya manusia modern
ternyata tetap terikat dengan nilai-nilai takhayul, agnostik dan transenden.
Semoga Allah mengampuni generasi Hok Hi dan kita
semua. Maka dengan mengucap Audzubillahi Minassyaithonirrojiem, kiranya kita
tidak akan kembali kezaman kegelapan itu dan memanifestasikan penyembahan
berhala dalam bentuk modern berupa segala upaya pengabadian fisiologis dengan
derivat instink segala bentuk kesenangan
duniawi tanpa batas. Itu berarti kita kembali ke zaman 30 abad sebelum masehi
dimana mentalitas manusia masih dikuasi rejim instinktif das Es dengan segala
ungkapan primitifnya.
Rasulullah SAW.
Berbagai bentuk pemujaan terhadap roh-halus pada
dasarnya merupakan pencarian sumber energi hakekat kehidupan. Setelah hampir
3500 tahun muncullah kesadaran manusia dari pengalaman dan pencarian yang
panjang itu. Adalah Rasulullah Muhammad SAW yang hidup pada abad ke 6 mengajar
manusia tentang energi tunggal yang menjadi pusat seluruh tatanan organis dan
an-organis; yang menjadi pusat idealitas melampaui segala kontemplasi dan harmonisme
kosmik; yaitu idealitas sempurna yang bersifat transendental yang menjadi inti
energi seluruh dinamika organis dan konstansi an-organis; seluruh dinamika
agnostic dan konstansi transcendental; di dalam dan di luar ruang dan waktu; di
dalam dan di luar logika causalitas; dengan personalitas yang jelas yang
disebut Allah dengan atribut idealitas transenden yang definitif yang disebut Ar-Rahman dan
Ar-Rahiem dengan semua spektrumnya (QS, Al-Fatihan; Ayat 3).
Rasulullah Muhammad SAW adalah penemu tradisi
monotheis (Tauhid/ satu tuhan), dan telah memimpin revolusi monotehisme yang
terbesar di dunia, yang telah mengakhiri peradaban politheisme Room dan Parsi
kala itu, dan telah mempersembahkan kepada dunia deskripsi transendental yaitu
Al-Qur’an yang menjadi penuntun peradaban dan kebudayaan manusia.
Ketika kita
mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiem, maka kita menyebut salah satu
idealitas transenden yang telah membentuk struktur nilai dalam totalitas psyche
kita. Maka basmalah dalam arti yang optimum merupakan representasi mental dan perilaku Tauhid seorang Muslim.
Dan itulah kunci pembuka Al-Qur’anul Kariem, manual bagi idealitas kehidupan,
ruang, waktu dan logika, serta idealitas imajiner yang tertinggi yaitu emansipasi
ruh diluar ruang, waktu dan logika, untuk mencapai penyatuan dengan Inti Ruh
Yang Tertinggi dan Tunggal ialah Allah Azza wa Jalla.
Sekian,
Birrahmatillahi Wabi’aunihi Fi Sabilih,
Jakarta, 1 Juli 2004,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar