6.7.17

Pengajian Ketiga TWU

Pengajian Ketiga


Assalamu’alaikum War. Wab.

“Fa-idza qoro’tal-Qur’ani, fasta’idz billahi minasysyaithonirrojiem” : “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”; (An-Nachl : 98).

Adapun tentang bacaan “Bismillahirrochmanirrochiem”, para ‘ulama’ sepakat sebagai pemisah setiap surat dan sebagian berpandangan juga sebagai ayat pertama Al-Fatihah.

Kita masih membahas topik yang sama dengan dua pengajian sebelumnya, yaitu taawudz dan basmalah.

Jika dalam dua pengajian terdahulu kita mencari syaitan dalam diri sendiri dengan pendekatan psikologis, maka pada pengajian ketiga ini kita akan mengobservasi keberadaan syaitan sebagai faktor obyektif yang independen dan bersifat ekstra organis, dengan pendekatan antropologis. Untuk itu kita akan menelusuri historiografi manusia dalam berinteraksi dengan faktor supra-natural.

Agama Wu.

Pada tahun 2953 SM di Tiongkok muncul seorang kuat yang bernama Hok Hi sebagai pemimpin manusia didaratan Tiongkok waktu itu. Pada masa Raja Hok Hi inilah manusia mulai belajar menjinakkan binatang buas, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia, baik untuk kepentingan mengolah lahan pertanianan, untuk kepentingan transportasi, maupun untuk konsumsi (makanan). Artinya inilah permulaan peradaban binatang ternak, sebelumnya seluruh binatang adalah buas.

Bahkan baru pada masa Hok Hi inilah manusia mulai mengenal lembaga perkawinan yang pertama dan hidup berumah tangga. Sebelumnya mereka hanya mengenal ibu kandung sebagai keluarga. Juga pertama kali manusia mengenal alat musik dawai seperti Khim (siter Tiongkok). Sebelumnya mereka hanya mengenal perkusi yang sederhana, seperti tetabuhan dari kayu dan bambu.

Agama yang dianut secara luas pada waktu itu adalah agama Wu atau Chenayangisme dan penyembahan alam atau pantheisme (tuhan berada dalam segala-galanya), yang bertalian pula dengan animisme (segala-galanya hidup) dan politheisme (banyak tuhan). Agama Wu membentuk tokoh-tokoh historikal semu yang ditemukan para pendeta Wu dalam petualangannya ke alam hantu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.

Agama Wu dapat dikategorikan sebagai agama penyembah berhala, memiliki ciri sangat menghargai aspek fisiologis seperti tubuh jasmaniah yang diupayakan untuk mencapai keabadian fisik secara harfiah.

Kepercayaan Wu atau Shamanisme melibatkan pengembaraan roh aktif, seperti menemukan Pulau Orang-orang Yang Diberkati sebelum ajal, atau menemukan obat mujarab yang akan memberikan kehidupan fisik yang abadi, atau paling tidak usia yang sangat panjang dan fisik yang sangat kuat atau sakti. Dalam hal ini diyakini bahwa praktek agama Wu memperoleh kekuatan dari dunia makhluk halus atau hantu yang hadir berdampingan dan membentuk jalinan dengan kehidupan manusia sehari-hari.

Dunia makhluk halus ini berfungsi pula sebagai reservoir energi semacam gardu pembangkit tenaga yang dapat dimanfaatkan seseorang untuk meningkatkan kesehatan, kekuatan fisik dan umur panjang.

Proses evolusi.

Dari sudut pandang monotheis kita dapat mengkategorikan Agama Wu atau Chenayangisme sebagai bentuk penyembahan kepada roh halus, dalam arti ekstra organis, sebagai faktor obyektif yang keberadaannya dapat dibuktikan menurut hukum-hukum  organis dan an-organis. Kita yang hidup pada zaman ini dan memahami makna transendental dengan baik, sesungguhnya merupakan bagian dari hasil evolusi psikofisik manusia sejak zaman Hok Hi itu.

Kita dapat saja menuduh agama Wu adalah kepercayaan sesat. Tetapi jika kita memahami makna antropologis pada zaman 30 abad sebelum masehi itu, maka bentuk kepercayaan seperti agama Wu merupakan bagian dari proses manusia mencari sumber kekuatan hakekat kehidupan ini yang membentuk sesi-sesi peradaban dalam proses evolusioner untuk mencapai struktur psikologi seperti yang kita miliki sekarang.

Evolusi itu mulai dari pengenalan faktor supra natural dan takhayul yang kemudian membentuk agama-agama bumi, agnostisisme yang menjadi landasan falsafah sosial dan iptek, hingga transendental yang menjadi landasan spiritualisme agama-agama samawi. Ketiga faktor fundamental Itu masih terus hidup hingga masa sekarang ini. Dalam berbagai dimensinya manusia modern ternyata tetap terikat dengan nilai-nilai takhayul, agnostik dan transenden.

Semoga Allah mengampuni generasi Hok Hi dan kita semua. Maka dengan mengucap Audzubillahi Minassyaithonirrojiem, kiranya kita tidak akan kembali kezaman kegelapan itu dan memanifestasikan penyembahan berhala dalam bentuk modern berupa segala upaya pengabadian fisiologis dengan derivat instink  segala bentuk kesenangan duniawi tanpa batas. Itu berarti kita kembali ke zaman 30 abad sebelum masehi dimana mentalitas manusia masih dikuasi rejim instinktif das Es dengan segala ungkapan primitifnya.

Rasulullah SAW.

Berbagai bentuk pemujaan terhadap roh-halus pada dasarnya merupakan pencarian sumber energi hakekat kehidupan. Setelah hampir 3500 tahun muncullah kesadaran manusia dari pengalaman dan pencarian yang panjang itu. Adalah Rasulullah Muhammad SAW yang hidup pada abad ke 6 mengajar manusia tentang energi tunggal yang menjadi pusat seluruh tatanan organis dan an-organis; yang menjadi pusat idealitas melampaui segala kontemplasi dan harmonisme kosmik; yaitu idealitas sempurna yang bersifat transendental yang menjadi inti energi seluruh dinamika organis dan konstansi an-organis; seluruh dinamika agnostic dan konstansi transcendental; di dalam dan di luar ruang dan waktu; di dalam dan di luar logika causalitas; dengan personalitas yang jelas yang disebut Allah dengan atribut idealitas transenden  yang definitif yang disebut Ar-Rahman dan Ar-Rahiem dengan semua spektrumnya (QS, Al-Fatihan; Ayat 3).

Rasulullah Muhammad SAW adalah penemu tradisi monotheis (Tauhid/ satu tuhan), dan telah memimpin revolusi monotehisme yang terbesar di dunia, yang telah mengakhiri peradaban politheisme Room dan Parsi kala itu, dan telah mempersembahkan kepada dunia deskripsi transendental yaitu Al-Qur’an yang menjadi penuntun peradaban dan kebudayaan manusia.

Ketika kita  mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiem, maka kita menyebut salah satu idealitas transenden yang telah membentuk struktur nilai dalam totalitas psyche kita. Maka basmalah dalam arti yang optimum merupakan representasi  mental dan perilaku Tauhid seorang Muslim. Dan itulah kunci pembuka Al-Qur’anul Kariem, manual bagi idealitas kehidupan, ruang, waktu dan logika, serta idealitas imajiner yang tertinggi yaitu emansipasi ruh diluar ruang, waktu dan logika, untuk mencapai penyatuan dengan Inti Ruh Yang Tertinggi dan Tunggal ialah Allah Azza wa Jalla.
Sekian,

Birrahmatillahi Wabi’aunihi Fi Sabilih,
Jakarta, 1 Juli 2004,


KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional



Tidak ada komentar:

Posting Komentar