6.7.17

Pengajian Kedua TWU

Assalamu’alaikum War. Wab.


“Fa-idza qoro’tal qur’aani, fasta’idz billaahi minasysyaithonirrojiem” : “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”; (An-Nahl : 98).

Pada Pengajian Pertama kita telah membahas taawudz dan basmalah. Pada Pengajian Kedua ini kita masih akan melanjutkan pembahasan taawudz dan basmalah itu.

Pada Pengajian Pertama kita telah mengidentifikasi keberadaan syaitan melalui mekanisme dalam diri kita sendiri dengan pendekatan psikologis, sebagai upaya untuk melihat diri sendiri, mengenali sumber-suber hawa nafsu sendiri yang lahir dari dorongan rejim instinktif. Pemikiran ini kita perlukan agar kita benar-benar memahami makna taawudz.

Ketika pulang dari perang Badar dengan kemenangan yang gemilang Rasulullah SAW bersabda : “Kita baru saja selesai dengan jihad kecil, setelah ini kita akan segera memasuki jihad besar, yaitu perang melawan hawa nafsu”.

Pemahaman terhadap sumber-sumber hawa nafsu dalam diri sendiri yang tengah kita lakukan sejak Pengajian Pertama hingga Pengajian Kedua ini, dalam rangka kemanangan jihad akbar itu.

Pada Pengajian Petama kita telah belajar tentang tiga aspek kepribadian yaitu das Es, das Ich dan das Ueber Ich, atau aspek-aspek biologis, psikologis dan sosiologis dari kepribadian, yang memiliki fungsinya masing-masing tetapi terintegrasi dalam satu organisasi kepribadian. Seluruh perilaku manusia bersumber dari dinamika ketiga sistim kepribadian itu. Kita masih akan melanjutkan pendalaman taawudz dan jihad akbar, dengan terus mendalami dan mempelajari diri kita sendiri.

Organ-organ Jiwa.

Dalam diri manusia terdapat organ-organ jiwa, salah satu diantaranya ialah bayang-bayang archeytipus. CG. Jung mengatakan : “Jika “aku” adalah pusat kesadaran, maka “archeytipus” adalah pusat ketidaksadaran”. Nah diantara isi-isi archeytipus adalah “bayang-bayang” yang merupakan naluri kegelapan manusia. Dari organ jiwa inilah sesungguhnya segala kejahatan manusia dimulai. Artinya bahwa sumber kejahatan bersifat intra-organis yakni dari dalam diri kita sendiri, bukan bersumber dari faktor ekstra organis yang sifatnya hanya stimulus.

Bayang-bayang archeytipus merupakan unsur ketidaksadaran kolektif yang ada dalam diri seluruh jenis manusia, merupakan kecenderungan kegelapan manusia. Bayang-bayang archeytipus merupakan pecahan kepribadian yang tidak terikat pada individu, terbentuk dari fungsi dan sikap jiwa inferior, yang karena pertimbangan-pertimbangan moral dimasukkan kedalam ketidaksadaran., karena tidak serasi dengan kehidupan sadar. Dari sifatnya maka bayang-bayang archeytipus merupakan unsur das Es.

Audzubillahiminassyaithonirrojim, artinya kita mewaspadai bayang-bayang archeytipus yang ada dalam diri kita, yaitu segala sumber kejahatan yang obyek aslinya ada dalam ketidaksadaran dan mempengaruhi kesadaran. Audzubillahiminassyaithonirrojim artinya kita mempertahankan kontrol kesadaran kita, dan tidak membiarkannya merosot dibawah pengaruh ketidaksaran bayang-bayang archeytipus. Sungguh syaitan memang telah ada dalam konstitusi manusia sejak pertama kali diciptakan.

Namun demikian agar manusia dapat menemukan dirinya, Allah memberikan pula perangkat jiwa yang oleh Jung disebut transcendent function, yang memiliki kemampuan untuk mengolah dan mempersatukan segala kecenderungan konflik menjadi kesatuan yang ideal, seperti suami-istri yang kadangkala bertengkar, tetapi selalu kembali rukun, saling mencari dan saling membutuhkan. Dari posisi inilah terbentuk kasih-sayang antar manusia yang bersifat estetis, atau “hablun minannas”.

Individuasi.

Disamping itu dalam mekanisme ketidaksadaran manusia terdapat proses individuasi, yaitu kecenderungan menuju penyempurnaan diri. Terdapat empat tahap individuasi, yaitu :

a.     Membuat sadar fungsi-fungsi pokok serta sikap jiwa yang ada dalam ketidaksaran termasuk yang bersisi tentang naluri-naluri kegelapan, agar tegangan dalam batin berkurang dan kemampuan untuk mengadakan orientasi dan penyesuaian diri ke alam sadar meningkat.

b.    Membuat sadar imago-imago atau kelemahan-kelemahan diri yang diproyeksikan kepada orang lain. Ini akan menghilangkan segala rasa benci dalam diri, baik benci diri maupun benci orang lain.

c.     Menginsyafi bahwa manusia hidup dalam tegangan kompensatoris, baik rohaniah maupun jasmaniah, dan manusia harus tabah mengadapi hal ini dan harus dapat mengatasinya.

d.    Adanya hubungan yang selaras antara kesadaran dan ketidaksadaran, artinya antara segala aspek kepribadian yang ditimbulkan oleh titik konsentasi umum, yaitu Diri atau Self. Diri hendaknya menjadi titik pusat kepribadian, menerangi, menghubungkan serta mengkordinasikan seluruh aspek kepribadian. Inilah landasan psyche manusia integral atau manusia sempurna. Dari landasan inilah kita mengucap ayat pertama Al-Fatihah, Bismillahirrahmanirrahiem. Artinya basmalah sebagai kualitas representasi mental kita sendiri dalam menghubungkan diri dengan personalitas transendental, ialah Allah Azza wa Jalla (hablun minallah).

Kemanakah perjalanan jiwa seorang Muslim ? Minadzzulumati ilannuur. Dari kegelapan kepada Cahaya yang Terang. Dari bayang-bayang archeytipus kepada transcendent function dan proses individuasi. Dari kecenderungan kegelapan dan konflik kepada Diri yang mempersatukan, menerangi dan integral. 

Dengan demikian, maka kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang disebut dalam surat al-Baqarah ayat 8 : “Diantara manusia ada yang berkata bahwa kami beriman kepada Allah dan Hari Akherat, padahal sesungguhnya mereka itu tidak beriman” (Wa minannaasi manyyaqulu amanna billahi wabil-yaumil-akhir, wa maahum bi mu’minien”).

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Salibih.

Jakarta, 18 Juni 2004,
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH


Ketua Umum Front Persatuan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar