Assalamu’alaikum War. Wab.
“Fa-idza qoro’tal qur’aani, fasta’idz billaahi
minasysyaithonirrojiem” : “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”; (An-Nahl : 98).
Pada Pengajian Pertama kita telah membahas taawudz dan
basmalah. Pada Pengajian Kedua ini kita masih akan melanjutkan pembahasan
taawudz dan basmalah itu.
Pada Pengajian Pertama kita telah mengidentifikasi
keberadaan syaitan melalui mekanisme dalam diri kita sendiri dengan pendekatan
psikologis, sebagai upaya untuk melihat diri sendiri, mengenali sumber-suber
hawa nafsu sendiri yang lahir dari dorongan rejim instinktif. Pemikiran ini
kita perlukan agar kita benar-benar memahami makna taawudz.
Ketika pulang dari perang Badar dengan kemenangan yang
gemilang Rasulullah SAW bersabda : “Kita baru saja selesai dengan jihad kecil,
setelah ini kita akan segera memasuki jihad besar, yaitu perang melawan hawa
nafsu”.
Pemahaman terhadap sumber-sumber hawa nafsu dalam diri
sendiri yang tengah kita lakukan sejak Pengajian Pertama hingga Pengajian Kedua
ini, dalam rangka kemanangan jihad akbar itu.
Pada Pengajian Petama kita telah belajar tentang tiga
aspek kepribadian yaitu das Es, das Ich dan das Ueber Ich, atau aspek-aspek
biologis, psikologis dan sosiologis dari kepribadian, yang memiliki fungsinya
masing-masing tetapi terintegrasi dalam satu organisasi kepribadian. Seluruh
perilaku manusia bersumber dari dinamika ketiga sistim kepribadian itu. Kita
masih akan melanjutkan pendalaman taawudz dan jihad akbar, dengan terus
mendalami dan mempelajari diri kita sendiri.
Organ-organ Jiwa.
Dalam diri manusia terdapat organ-organ jiwa, salah
satu diantaranya ialah bayang-bayang archeytipus. CG. Jung mengatakan : “Jika
“aku” adalah pusat kesadaran, maka “archeytipus” adalah pusat
ketidaksadaran”. Nah diantara isi-isi archeytipus adalah “bayang-bayang” yang
merupakan naluri kegelapan manusia. Dari organ jiwa inilah sesungguhnya segala
kejahatan manusia dimulai. Artinya bahwa sumber kejahatan bersifat
intra-organis yakni dari dalam diri kita sendiri, bukan bersumber dari faktor
ekstra organis yang sifatnya hanya stimulus.
Bayang-bayang archeytipus merupakan unsur
ketidaksadaran kolektif yang ada dalam diri seluruh jenis manusia, merupakan
kecenderungan kegelapan manusia. Bayang-bayang archeytipus merupakan pecahan
kepribadian yang tidak terikat pada individu, terbentuk dari fungsi dan sikap
jiwa inferior, yang karena pertimbangan-pertimbangan moral dimasukkan kedalam
ketidaksadaran., karena tidak serasi dengan kehidupan sadar. Dari sifatnya maka
bayang-bayang archeytipus merupakan unsur das Es.
Audzubillahiminassyaithonirrojim, artinya kita
mewaspadai bayang-bayang archeytipus yang ada dalam diri kita, yaitu segala
sumber kejahatan yang obyek aslinya ada dalam ketidaksadaran dan mempengaruhi
kesadaran. Audzubillahiminassyaithonirrojim artinya kita mempertahankan kontrol
kesadaran kita, dan tidak membiarkannya merosot dibawah pengaruh ketidaksaran
bayang-bayang archeytipus. Sungguh syaitan memang telah ada dalam konstitusi
manusia sejak pertama kali diciptakan.
Namun demikian agar manusia dapat menemukan dirinya,
Allah memberikan pula perangkat jiwa yang oleh Jung disebut transcendent
function, yang memiliki kemampuan untuk mengolah dan mempersatukan segala
kecenderungan konflik menjadi kesatuan yang ideal, seperti suami-istri yang
kadangkala bertengkar, tetapi selalu kembali rukun, saling mencari dan saling
membutuhkan. Dari posisi inilah terbentuk kasih-sayang antar manusia yang
bersifat estetis, atau “hablun minannas”.
Individuasi.
Disamping itu dalam mekanisme ketidaksadaran manusia
terdapat proses individuasi, yaitu kecenderungan menuju penyempurnaan
diri. Terdapat empat tahap individuasi, yaitu :
a. Membuat sadar fungsi-fungsi pokok serta sikap jiwa
yang ada dalam ketidaksaran termasuk yang bersisi tentang naluri-naluri
kegelapan, agar tegangan dalam batin berkurang dan kemampuan untuk mengadakan
orientasi dan penyesuaian diri ke alam sadar meningkat.
b. Membuat sadar imago-imago atau kelemahan-kelemahan
diri yang diproyeksikan kepada orang lain. Ini akan menghilangkan segala rasa
benci dalam diri, baik benci diri maupun benci orang lain.
c. Menginsyafi bahwa manusia hidup dalam tegangan
kompensatoris, baik rohaniah maupun jasmaniah, dan manusia harus tabah
mengadapi hal ini dan harus dapat mengatasinya.
d. Adanya hubungan yang selaras antara kesadaran dan
ketidaksadaran, artinya antara segala aspek kepribadian yang ditimbulkan oleh
titik konsentasi umum, yaitu Diri atau Self. Diri hendaknya
menjadi titik pusat kepribadian, menerangi, menghubungkan serta
mengkordinasikan seluruh aspek kepribadian. Inilah landasan psyche
manusia integral atau manusia sempurna. Dari landasan inilah kita mengucap ayat
pertama Al-Fatihah, Bismillahirrahmanirrahiem. Artinya basmalah sebagai
kualitas representasi mental kita sendiri dalam menghubungkan diri dengan
personalitas transendental, ialah Allah Azza wa Jalla (hablun minallah).
Kemanakah perjalanan jiwa seorang Muslim ?
Minadzzulumati ilannuur. Dari kegelapan kepada Cahaya yang Terang. Dari
bayang-bayang archeytipus kepada transcendent function dan proses individuasi.
Dari kecenderungan kegelapan dan konflik kepada Diri yang mempersatukan,
menerangi dan integral.
Dengan demikian, maka kita tidak termasuk dalam
golongan orang-orang yang disebut dalam surat al-Baqarah ayat 8 : “Diantara
manusia ada yang berkata bahwa kami beriman kepada Allah dan Hari Akherat,
padahal sesungguhnya mereka itu tidak beriman” (Wa minannaasi manyyaqulu amanna
billahi wabil-yaumil-akhir, wa maahum bi mu’minien”).
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Salibih.
Jakarta, 18 Juni 2004,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar