Pengajian
Ketigapuluh,
Oleh : KH. Agus
Miftach
Uulaaika ‘ala hudan
minrrobbihim,
wa uulaaika
humulmuflihuun (QS II : 5)
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Uulaika ‘ala hudan
minrrobbihim, wa uulaika humulmuflihuun” : “Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Al-Baqoroh :
5).
Ayat ini berkait erat dengan
ayat 4, sebagaimana telah dibahas secara luas dalam Pengajian
Keduapuluhsembilan. Ayat ini merupakan happy-end dari proses yang terdapat pada
ayat ke 4. Dua kategori yang terpenting ialah “mendapat petunjuk” dari Allah
dan dengan demikian merupakan “orang-orang yang beruntung”. Kita akan
membahasnya secara eklektik.
Proses kejiwaan
Pada dasarnya inner
entity adalah jiwa (soul). Mental phenomena atau
gejala-gejala jiwa merupakan manifetasi substansi khusus yang berbeda dari
substansi material. Dalam konsep agama-agama samawi jiwa berkait dengan roh
yang abadi, bebas dan asalnya suci.
Menurut Carl Gustav Jung
(1875-1959), jiwa manusia senantiasa mengejar kemajuan, dari taraf
perkembangan yang kurang sempurna ke taraf yang lebih sempurna. Jenis (species)
manusia selalu menuju taraf diferensiasi yang lebih tinggi. Selanjutnya Jung
berpendapat, bahwa untuk memahami kehidupan psikis manusia saat ini harus
melihat gambaran kearah masa lampaunya dan gambaran kearah masa depannya
sekaligus. Pandangan Jung sesuai dengan visi kajian pada Pengajian Keduapuluh
sembilan dengan merujuk pula pada pendapat Symons (1991) tentang
psikologis evolusioner.
Mekanisme psikologi-beriman
dalam konteks Al-Baqoroh 4, adalah mencakup pemahaman terhadap Al-Qur’an,
Injil, Taurat, Zabur dan semua Firman (Kitab-kitab) Allah yang pernah
diturunkan dimasa lampau serta segala
bentuk historiografi budaya spiritual manusia di zaman yang lampu (vide, QS II
: 62); dan sekaligus pemahaman terhadap aspek transcendental sebagai
tujuan masa depan tertinggi dari proses psikologis seorang “Mu’mien”. Merekalah
yang dimaksud ayat didepan.
Manusia semacam itu menurut Kurt
Goldstein (1878) manusia yang mencapai proses Ekualisasi, yaitu kepribadian
yang seimbang. Keseimbangan yang demikian menurut Goldstein merupakan
refleksi dari pemusatan organisme yang memungkinkan seseorang berbuat ekfektif
menghadapi lingkungan dan mengaktualisasikan diri dalam aktivitas-aktivitas
selanjutnya sesuai dengan kodratnya. Pemusatan organisme yang penuh
keseimbangan sempurna adalah kondisi holisits yang idelal, yang dalam concreto-nya
tidak mudah tercapai. Memang tidak mudah tercapai kecuali bagi mereka yang beriman
sebagaimana dimaksud Al-Baqoroh : 4, yang dipuji oleh Allah Ta’alaa dan
dikategorikan sebagai yang mencapai happy-ending sebagaimana dimaksud
Al-Baqoroh : 5 didepan.
1000 tahun sebelum turunnya
ayat ke 4 dan ke 5 Al-Baqoroh tsb Filsuf Yunani Demokritos (460-370 SM)
menyatakan bahwa cita-cita yang tertinggi adalah euthumia, yaitu keadaan
batin yang sempurna, untuk mencapainya orang perlu menjangkau semua faktor
dalam hidup, senang, susah, nikmat dan
pantangan. Maka asas terpenting dalam tindakan manusia adalah keseimbangan
dengan mengejar hal-hal yang menguntungkan jiwa dan memberikan ketenangan
batin, maka keinginan-keinginan lahiriah harus diredakan dan disesuaikan dengan
kebutuhan batin, sehingga keseimbangan menjadi sempurna. 10 abad kemudian
Al-Qur’an menyebut
keberhasilan dari proses demikian itu sebagai petunjuk dan keberuntungan bagi
orang-orang yang beriman kepada Allah. Maka sesungguhnya euthumia adalah
puncak keimanan transcendental, yaitu keyakinan batin dan akal pikiran tentang
hakekat kehidupan dibalik kematian, yaitu keberadaan Alam Akhirat dengan
kebahagian roh yang hakiki, yang hanya bisa diyakini oleh jiwa yang seimbang
yang memahami aspek aspek kehidupan baik di masa lalu, masa kini maupun masa depan yang hakiki seperti
dimaksud Al-Baqoroh : 4 (vide, Pengajian Keduapuluh sembilan.)
Proses ilmu.
Sabda Rasululllah SAW :”Man
aroodaddunya fa’alaihi bil’ilmi, wa man aroodal-aakhirati fa’alaihi bil’ilmi,
wa man aroodahumaa ma’an fa’alaihi bil’ilmi” : “Siapa yang ingin dunia
hendaklah ia berilmu, dan siapa yang ingin akhirat hendaklah ia berilmu, dan siapa ingin
keduanya hendaklah ia berilmu”, (HR. Imam Ahmad).
Sabda Rasulullah tsb
menggambarkan bahwa idealitas keseimbangan hidup tidak dapat dicapai kecuali
dengan “ilmu”. Inilah pentingnya proses kognitif (vide, Pengajian Keduapuluh
delapan). Proses 4 langkah kognitif
sebagai dimaksud Jan Piaget (1896), skema, asimilasi, akomodasi dan
ekuilibrasi menunjukkan dinamika kepribadian dalam memahami lingkungannya dan
segala sesuatu,dengan berdasarkan proses inderawi dan akal pikiran, yang
digambarkan dalam skemata (potensi memori) yang terus tumbuh dan berkembang
yang merupakan siklus keseimbangan atau ekuilibrasi yang terus meninggi hingga
keseimbangan menyeluruh yang paling puncak yang merupakan kondisi holistis yang
seimbang sempurna.
Pada tingkat ini kecerdasan
manusia dan psyche manusia berada pada puncak yang tertinggi, sehingga
mampu memahami diri dan lingkungannya dengan sebaik-baiknya. Dalam kaitan dengan
hal ini perlu disimak pendapat Carl Rogers (1902) yang menyatakan bahwa
apabila orang semakin bersikap positif (menerima) terhadap dirinya, maka dia
juga makin bersikap positif (menerima)
terhadap orang lain. Dan sebaliknya. Kondisi kejiwaan dan kognitif yang
seimbang menjadi prasyarat untuk mencapai hikmat sebagaimana dimaksud
Al-Baqoroh : 4-5.;
Proses Budaya
Al-Baqoroh : 4-5, dan 62,
memuat prinsip-prinsip psikologi evolusioner dan ketidaksadaran kolektif jenis
manusia dari masa ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu yang membentuk
kostitusi kejiwaan dan disposisi rigiditas (watak asli) kelompok-kelompok
manusia menurut mainstream kebudayaan yang dianut masing-masing. Hal ini
membawa kita kepada pemahaman akar-akar antropologis dan historiografis yang
berkaitan dengan sikap mental dan perilaku manusia serta perkembangan
kebudayaan pada masa sekarang. Idealitas keluhuran budi yang diajarkan kepada
manusia di zaman ini memiliki akar antropologi dan etnografi pada masa ribuan
tahun yang silam.
Tak hanya dalam
historiografi agama-agama samawi, tetapi dalam proses kebudayaan manusia
seluruhnya. Sebagai contoh ajaran Khonghucu tentang Te, yang
bermakna kebajikan dan kekuatan moral yang masih berlaku hingga sekarang bagi
masyarakat tradisional Tionghoa diseluruh dunia, sangat dipengaruhi legenda
sejarah Yao dan Shun dari masa ribuan tahun yang silam. Yao
adalah Kaisar Tiongkok yang agung, ancient regime yang menjadi suri
tauladan ras Tionghoa sepanjang masa. Kaisar Yao memiliki sepuluh putera laki-laki,
tapi tak satupun dianggap pantas menggantikan dirinya. Diantara anak-anaknya
adalah orang yang kurang percaya diri, pemabuk, penjudi, lemah hati dsb. Para
pejabat istana juga tak satupun dianggap pantas sebagai pengganti Kaisar Yao.
Sementara itu di desa hidup Shun
yang buruk rupa bersama ayah dan ibu tiri serta saudara-saudara tiri. Mereka
berusaha membunuh Shun dengan cara membakar dan mengelamkannya didalam sungai.
Tetapi Shun ternyata memiliki tubuh yang kuat dan tetap selamat, serta tetap
setia kepada keluarganya yang jahat itu. Bahkan ketika ayahnya bertengkar
dengan ibu tirinya dan bermaksud mengusir ibu tirinya, Shun mencegahnya dengan
mengatakan tindakan mengusir anggota keluarga bukan tindakan terhormat. Demi
kehormatan keluarga Shun meminta agar ibu tirinya yang pernah ingin membunuhnya
itu dimaafkan dan tetap tinggal bersama keluarga mereka.
Kaisar Yao mendengar perihal
keluhuran budi dan kekuatan Shun. Maka Kaisar Yao mendatanginya dan memintanya
untuk menjadi Kaisar penggantinya. Ketika sudah menjadi Kaisar, Shun tetap
hormat dan berbakti kepada ayah dan ibu tirinya serta kasih kepada
saudara-saudara tirinya yang jahat itu. Te dalam hal ini disertai dengan
Jen dan Jang yang bermakna keluhuran budi dan sikap mengalah
untuk kebajikan yang jauh lebih besar. Kurang lebih 11 abad kemudian Rasulullah
SAW menyatakan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Dan
salah satu azas yang terpenting dalam ajaran Islam dan ajaran agama-agama
samawi adalah akhlaqul-karimah yaitu budi perkerti yang luhur. Mereka
pula yang dimaksud dalam Al-Baqoroh : 5. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi
fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 18 Februari 2005,
Pengasuh,
KH AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar