7.7.17

Pengajian Ketigapuluh,-TWU


Pengajian Ketigapuluh,
Oleh : KH. Agus Miftach
Uulaaika ‘ala hudan minrrobbihim,
wa uulaaika humulmuflihuun (QS II : 5)

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Uulaika ‘ala hudan minrrobbihim, wa uulaika humulmuflihuun” : “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Al-Baqoroh : 5).

Ayat ini berkait erat dengan ayat 4, sebagaimana telah dibahas secara luas dalam Pengajian Keduapuluhsembilan. Ayat ini merupakan happy-end dari proses yang terdapat pada ayat ke 4. Dua kategori yang terpenting ialah “mendapat petunjuk” dari Allah dan dengan demikian merupakan “orang-orang yang beruntung”. Kita akan membahasnya secara eklektik.

Proses kejiwaan

Pada dasarnya inner entity adalah jiwa (soul). Mental phenomena atau gejala-gejala jiwa merupakan manifetasi substansi khusus yang berbeda dari substansi material. Dalam konsep agama-agama samawi jiwa berkait dengan roh yang abadi, bebas dan asalnya suci.

Menurut Carl Gustav Jung (1875-1959), jiwa manusia senantiasa mengejar kemajuan, dari taraf perkembangan yang kurang sempurna ke taraf yang lebih sempurna. Jenis (species) manusia selalu menuju taraf diferensiasi yang lebih tinggi. Selanjutnya Jung berpendapat, bahwa untuk memahami kehidupan psikis manusia saat ini harus melihat gambaran kearah masa lampaunya dan gambaran kearah masa depannya sekaligus. Pandangan Jung sesuai dengan visi kajian pada Pengajian Keduapuluh sembilan dengan merujuk pula pada pendapat Symons (1991) tentang psikologis evolusioner.

Mekanisme psikologi-beriman dalam konteks Al-Baqoroh 4, adalah mencakup pemahaman terhadap Al-Qur’an, Injil, Taurat, Zabur dan semua Firman (Kitab-kitab) Allah yang pernah diturunkan dimasa  lampau serta segala bentuk historiografi budaya spiritual manusia di zaman yang lampu (vide, QS II : 62); dan sekaligus pemahaman terhadap aspek transcendental sebagai tujuan masa depan tertinggi dari proses psikologis seorang “Mu’mien”. Merekalah yang dimaksud ayat didepan.

Manusia semacam itu menurut Kurt Goldstein (1878) manusia yang mencapai proses Ekualisasi, yaitu kepribadian yang seimbang. Keseimbangan yang demikian menurut Goldstein merupakan refleksi dari pemusatan organisme yang memungkinkan seseorang berbuat ekfektif menghadapi lingkungan dan mengaktualisasikan diri dalam aktivitas-aktivitas selanjutnya sesuai dengan kodratnya. Pemusatan organisme yang penuh keseimbangan sempurna adalah kondisi holisits yang idelal, yang dalam concreto-nya tidak mudah tercapai. Memang tidak mudah tercapai kecuali bagi mereka yang beriman sebagaimana dimaksud Al-Baqoroh : 4, yang dipuji oleh Allah Ta’alaa dan dikategorikan sebagai yang mencapai happy-ending sebagaimana dimaksud Al-Baqoroh : 5 didepan.

1000 tahun sebelum turunnya ayat ke 4 dan ke 5 Al-Baqoroh tsb Filsuf Yunani Demokritos (460-370 SM) menyatakan bahwa cita-cita yang tertinggi adalah euthumia, yaitu keadaan batin yang sempurna, untuk mencapainya orang perlu menjangkau semua faktor dalam hidup,  senang, susah, nikmat dan pantangan. Maka asas terpenting dalam tindakan manusia adalah keseimbangan dengan mengejar hal-hal yang menguntungkan jiwa dan memberikan ketenangan batin, maka keinginan-keinginan lahiriah harus diredakan dan disesuaikan dengan kebutuhan batin, sehingga keseimbangan menjadi sempurna. 10 abad kemudian

Al-Qur’an menyebut keberhasilan dari proses demikian itu sebagai petunjuk dan keberuntungan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah. Maka sesungguhnya euthumia adalah puncak keimanan transcendental, yaitu keyakinan batin dan akal pikiran tentang hakekat kehidupan dibalik kematian, yaitu keberadaan Alam Akhirat dengan kebahagian roh yang hakiki, yang hanya bisa diyakini oleh jiwa yang seimbang yang memahami aspek aspek kehidupan baik di masa lalu, masa kini  maupun masa depan yang hakiki seperti dimaksud Al-Baqoroh : 4 (vide, Pengajian Keduapuluh sembilan.)

Proses ilmu.

Sabda Rasululllah SAW :”Man aroodaddunya fa’alaihi bil’ilmi, wa man aroodal-aakhirati fa’alaihi bil’ilmi, wa man aroodahumaa ma’an fa’alaihi bil’ilmi” : “Siapa yang ingin dunia hendaklah ia berilmu, dan siapa yang ingin akhirat  hendaklah ia berilmu, dan siapa ingin keduanya hendaklah ia berilmu”, (HR. Imam Ahmad).

Sabda Rasulullah tsb menggambarkan bahwa idealitas keseimbangan hidup tidak dapat dicapai kecuali dengan “ilmu”. Inilah pentingnya proses kognitif (vide, Pengajian Keduapuluh delapan). Proses 4 langkah  kognitif sebagai dimaksud Jan Piaget (1896), skema, asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi menunjukkan dinamika kepribadian dalam memahami lingkungannya dan segala sesuatu,dengan berdasarkan proses inderawi dan akal pikiran, yang digambarkan dalam skemata (potensi memori) yang terus tumbuh dan berkembang yang merupakan siklus keseimbangan atau ekuilibrasi yang terus meninggi hingga keseimbangan menyeluruh yang paling puncak yang merupakan kondisi holistis yang seimbang sempurna.

Pada tingkat ini kecerdasan manusia dan psyche manusia berada pada puncak yang tertinggi, sehingga mampu memahami diri dan lingkungannya dengan sebaik-baiknya. Dalam kaitan dengan hal ini perlu disimak pendapat Carl Rogers (1902) yang menyatakan bahwa apabila orang semakin bersikap positif (menerima) terhadap dirinya, maka dia juga makin bersikap positif (menerima)  terhadap orang lain. Dan sebaliknya. Kondisi kejiwaan dan kognitif yang seimbang menjadi prasyarat untuk mencapai hikmat sebagaimana dimaksud Al-Baqoroh : 4-5.;

Proses Budaya

Al-Baqoroh : 4-5, dan 62, memuat prinsip-prinsip psikologi evolusioner dan ketidaksadaran kolektif jenis manusia dari masa ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu yang membentuk kostitusi kejiwaan dan disposisi rigiditas (watak asli) kelompok-kelompok manusia menurut mainstream kebudayaan yang dianut masing-masing. Hal ini membawa kita kepada pemahaman akar-akar antropologis dan historiografis yang berkaitan dengan sikap mental dan perilaku manusia serta perkembangan kebudayaan pada masa sekarang. Idealitas keluhuran budi yang diajarkan kepada manusia di zaman ini memiliki akar antropologi dan etnografi pada masa ribuan tahun yang silam.

Tak hanya dalam historiografi agama-agama samawi, tetapi dalam proses kebudayaan manusia seluruhnya. Sebagai contoh ajaran Khonghucu tentang Te, yang bermakna kebajikan dan kekuatan moral yang masih berlaku hingga sekarang bagi masyarakat tradisional Tionghoa diseluruh dunia, sangat dipengaruhi legenda sejarah Yao dan Shun dari masa ribuan tahun yang silam. Yao adalah Kaisar Tiongkok yang agung, ancient regime yang menjadi suri tauladan ras Tionghoa sepanjang masa. Kaisar Yao memiliki sepuluh putera laki-laki, tapi tak satupun dianggap pantas menggantikan dirinya. Diantara anak-anaknya adalah orang yang kurang percaya diri, pemabuk, penjudi, lemah hati dsb. Para pejabat istana juga tak satupun dianggap pantas sebagai pengganti Kaisar Yao.

Sementara itu di desa hidup Shun yang buruk rupa bersama ayah dan ibu tiri serta saudara-saudara tiri. Mereka berusaha membunuh Shun dengan cara membakar dan mengelamkannya didalam sungai. Tetapi Shun ternyata memiliki tubuh yang kuat dan tetap selamat, serta tetap setia kepada keluarganya yang jahat itu. Bahkan ketika ayahnya bertengkar dengan ibu tirinya dan bermaksud mengusir ibu tirinya, Shun mencegahnya dengan mengatakan tindakan mengusir anggota keluarga bukan tindakan terhormat. Demi kehormatan keluarga Shun meminta agar ibu tirinya yang pernah ingin membunuhnya itu dimaafkan dan tetap tinggal bersama keluarga mereka.

Kaisar Yao mendengar perihal keluhuran budi dan kekuatan Shun. Maka Kaisar Yao mendatanginya dan memintanya untuk menjadi Kaisar penggantinya. Ketika sudah menjadi Kaisar, Shun tetap hormat dan berbakti kepada ayah dan ibu tirinya serta kasih kepada saudara-saudara tirinya yang jahat itu. Te dalam hal ini disertai dengan Jen dan Jang yang bermakna keluhuran budi dan sikap mengalah untuk kebajikan yang jauh lebih besar. Kurang lebih 11 abad kemudian Rasulullah SAW menyatakan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Dan salah satu azas yang terpenting dalam ajaran Islam dan ajaran agama-agama samawi adalah akhlaqul-karimah yaitu budi perkerti yang luhur. Mereka pula yang dimaksud dalam Al-Baqoroh : 5. Sekian.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 18 Februari 2005,
Pengasuh,

KH AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar