7.7.17

Pengajian Ketigapuluh Satu,-TWU






Pengajian Ketigapuluh Satu,
“Innalladziena kafaruu sawaa un ‘alaihim
a-andzartahum am-lam tundzirhum laa yu’minuun “,(QS II : 6),

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Innalladziena kafaruu sawaa un ‘alaihim a-andzartahum am-lam tundzirhum laa yu’minuun” : “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman” (Al-Baqoroh : 6).

Orang kafir ialah mereka yang tidak terdapat dalam phsyche-nya struktur nilai Al-Ghoib. Hal itu terjadi karena proses pembentukan kepribadian dasar (basic personality structure) yang tidak wajar yang menitikberatkan instinct-regime das Es daripada aspek moralitas das Ueber Ich. Dalam proses ini latar belakang organisme dengan sendirinya tidak berfungsi seimbang dimana libido lebih terakumulasi pada das Es dengan cathexis yang bersifat pleasure principle yang  akan terefleksi dalam perilaku yang hanya mengejar kesenangan belaka atau mengumbar hawa nafsu. Dominasi energi das Es membuat  das Ich dan das Ueber Ich tidak mampu membentuk impuls anti-cathexis karena tidak ada struktur nilai ketuhanan dan moralitas dalam wilayah das Ueber Ich yang bekerja dengan morality principle,  membuatnya tidak mampu membangun energi yang dapat  mengontrol das Ich atau ego yang merupakan eksekutif kepribadian yang beroperasi dengan reality principle (vide, Pengajian Pertama).

Seluruh file index schemata didominasi memori tentang pengejaran kesenangan dan pemuasan hawa nafsu belaka, sehingga stimulus yang memiliki karakter tentang religiusitas dan moralitas tidak terasimilasi oleh skema, dan karenanya tidak berkembang kearah proses akomodasi dan ekuilibrasi sebagai prasyarat existing-schemata (potensi memori) (vide, Pengajian Keduapuluh depalan). Itulah sebabnya maka diberi peringatan atau tidak diberi peringatan, sama saja, mereka tetap tidak beriman.
Dengan kata lain, secara psikologis orang kafir adalah orang yang bertuhan-kan kepada hawa nafsunya sendiri. Meskipun ia mengaku beriman, sesungguhnya ia tidak beriman. Karena gestalt (imajinasi yang menuntun perilaku) dalam dirinya hanyalah mengejar kesenangan dan hawa nafsu belaka, berupa segala bentuk pemuasan hawa nafsu dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi. Dengan segala desepsinya maka segala bentuk pemuasan hawa nafsu pada dasarnya bersumber pada impuls stomach, impuls sexual dan impuls agresive (vide, Pengajian Pertama).
Firman Allah : “Wa minannasi  man-yyaquulu aamannaa billaahi wabil-yaomil-aakhiri wa maahum bimu’minien” : “Diantara manusia ada yang mengatakan kami beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, padahal sesungguhnya mereka tidak beriman” (Al-Bqoroh : 8).

Pandangan filsafat dan psikologi
Menurut filsuf Yunani  Protagoras (480-411 SM), manusia menjadi ukuran segala sesuatu, baik bagi yang ada maupun yang tidak ada. Manusia menentukan benar dan tidaknya  sesuatu, ada dan tidak adanya sesuatu. Artinya apa yang baik bagi seseorang mungkin tidak baik bagi orang lain. Misalnya angin, bagi orang sehat dirasa baik, tapi bagi orang sakit dirasa tidak baik, membuatnya menggigil dan menjadi tambah sakit.
Pendapat Protagoras sejalan dengan aliran pendapat psikologi diatas yang menitikberatkan kualitas kepribadian pada proses organisme yang sifatnya endogen dan tentu saja subyektif.

Orang kafir adalah orang yang menderita psikosis bahkan patologis (sakit jiwa) dimana fungsi das Ueber Ich dan fungsi transendennya terisolasi energi instinktif das Es, sehingga terjadi kelainan dalam mekanisme energi kompensatoris, maka energi psikis tidak pernah dapat mencapai ekualitas dalam das Ich dan psyche terisolasi dalam ketidakseimbangan libido, akibatnya latar belakang organisme terpecah dan gestalt yang terbentuk juga terpecah dan lebih banyak dipengaruhi factor archeytipus (bayang-bayang kegelapan). Jadilah ia orang yang sakit jiwa, maka angin religius yang sehat dirasa berbahaya bagi dirinya. Dakwah keagamaan dianggap sebagai interferensi lingkungan dan nasihat dianggap sebagai penghinaan. Bertolak dari pendapat Protagoras, Freud, Jung, Goldstein dan Piaget yang sudah kita kaji pada rangkaian pengajian sebelumnya, maka kekafiran bersifat endogen dan subyektif.

Pendapat Kitabiyah.
Dalam Cerita-cerita Al-Kitab (Perjanjian Lama/Taurat), Bab 3. Dosa Pertama, diungkapkan bahwa species Adam dan Eva sebagai pasangan yang beriman yang pertama diciptakan Allah. Mereka dihasut Iblis, salah satu Malaikat Allah yang memiliki sifat kesombongan dan memberontak kepada Allah serta bermaksud menurunkan Allah dari singgasanaNya. Karena tidak mungkin ia mengalahkan Allah maka ia merusak segala perbuatan Allah. Tindakan kekafiran yang pertama yang dilakukan Iblis ialah menghasut Adam dan Eva yang menjadi kesayangan Allah. Eva dihasut makan buah “Kuldi”,  yang dilarang Allah, sehingga kesucian dan keabadiannya menjadi hilang, karena buah hawa nafsu masuk dalam tubuhnya. Eva yang mulai dihinggapi sesal ternyata melanjutkan perbuatan Iblis dengan menghasut Adam. Maka akhirnya mereka berdua terjerumus dalam kehidupan fana yang penuh penderitaan ini.
Al-Qur’an mengisyaratkan peristiwa ini dengan Firman Allah : “Laqod kholaqnal-insaana fi akhsani takwiem (5). Tsumma rodadnaahu asfala saafilien (6)” : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam kondisi yang sempurna (5). Kemudian Kami jatuhkan ketempat yang serendah-rendahnya (6)”, (At-Tien : 5-6).
Inilah disposisi psikologis yang menjadi konstitusi manusia. Menurut Kretschmer (1921) merupakan bentuk dasar asli manusia baik secara fisiologis maupun psikologis yang tidak dapat diubah dan merupakan faktor endogen.
Jadi kekafiran memang inhaerrent dalam jiwa manusia. Seperti aslinya yang merupakan dosa pertama berupa pengungkapan hawa nafsu yang tak terkendali. Itulah akar kekafiran, tersembunyi dalam das Es, dan jika tidak terkendali akan menjadi dorongan utama yang mendominasi totalitas kesadaran dan ketidaksadaran manusia, yang selanjutnya akan terefleksi dalam sikap mental dan perilaku yang hanya mengejar kesenangan dan memuaskan hawa nafsu belaka yang akan menjatuhkan manusia ketempat yang serendah-rendahnya.

Upaya penyelamatan

Upaya penyelamatan, artinya mengeluarkan fungsi transenden dan fungsi das Ueber Ich manusia dari isolasi das Es, dan dapat berfungsi optimal dalam keseimbangan das Ich. Untuk itu harus dibangun stimulus yang memasukkan struktur nilai moralitas dan religiusitas kedalam psyche manusia, baik melalui mekanisme kesadaran maupun ketidaksadaran, agar manusia dapat membentuk basic personality struktur (kepribadian dasar) yang seimbang yang oleh Demokritos  (460-430) disebut euthumia, yaitu keadaan batin yang sempurna (vide, Pengajian Ketigapuluh).
Jauh sebelum zaman Rasululullah SAW manusia sudah menyadari hal ini. Kesadaran manusia untuk kembali kepada derajatnya yang tinggi hanya dapat dicapai dengan cara kembali ke Jalan Tuhan. Hal itu sudah dipahami manusia sejak ribuan tahun yang silam. 2000 tahun yang lalu Maharesi Tiruvaluvar pemimpin spiritual Hindu telah mengajarkan tentang Brahman yaitu jiwa suci yang merupakan unsur ketuhanan yang ada dalam diri manusia, yang  akan  mencapai Nirvana, hanya dengan dua syarat, yaitu apabila darma-darma (amal saleh) telah terpenuhi dan karma-karma (balasan-balasan perbuatan) mencapai intensitasnya, maka  jiwa manusia dapat melakukan perjalanan besar yang disebut Mahaprasthana yakni menuju ke alam astral dibalik kematian.  Menurut Swami Sirvanada tokoh spiritual Hindu, manusia selalu ingin mati dengan tenang dengan pikiran terpusat kepada Tuhan. Ketika goyah, maka ia dibantu dengan mantra dan sloka-sloka suci untuk mengingatkan pada hakikatnya yang sesungguhnya. Hanya dengan cara mati yang demikian maka derajat manusia akan kembali ke kemulyaannya di alam astral.
Setelah 2000 tahun berselang, Firman Allah menyatakan : “Laqod  kholaqnal-insaana fie akhsani taqwiem (5). Tsumma rodadnaahu asfala saafilien (6). Illalladziena aamanuu wa ‘amilushsholihaati falahum ajrunm ghoiru mamnuun (7).” : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam kondisi yang sempurna (5). Kemudian Kami jatuhkan ketempat yang serendah-rendahnya (6). Kecuali orang-orang yang beriman dan beralam saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (7)” (At-Tien 5-7).
Beriman dan beramal saleh adalah emansipasi puncak dari perjalanan manusia dalam mencari bentuk penyerahan diri kembali kepada Tuhan dari masa 2000 tahun yang silam. Bahkan jauh sebelumnya seperti ditunjukkan Demoskritos dan Khonghucu (vide Pengajian Keduapuluh Sembilan). Beriman dan beramal saleh memiliki bentuk perbuatan yang definitive, productive dan transcendental. Merupakan puncak yang sempurna dari upaya manusia untuk memulihkan derajatnya dari kekafiran yaitu isolasi das Es yang rendah ketempat yang mulya disisi Allah Azza wa Jalla di Yaumiddien. Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.

Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 25 Februari 2005.
Pengasuh,


HAJI AGUS MIFTACH


Ketua Umum Front Persatuan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar