Pengajian Ketigapuluh Satu,
“Innalladziena kafaruu sawaa un ‘alaihim
a-andzartahum am-lam tundzirhum laa yu’minuun “,(QS II :
6),
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Innalladziena
kafaruu sawaa un ‘alaihim a-andzartahum am-lam tundzirhum laa yu’minuun” : “Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu
beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman” (Al-Baqoroh : 6).
Orang kafir ialah mereka yang tidak
terdapat dalam phsyche-nya struktur nilai Al-Ghoib. Hal itu terjadi karena
proses pembentukan kepribadian dasar (basic
personality structure) yang tidak wajar yang menitikberatkan instinct-regime das Es daripada aspek
moralitas das Ueber Ich. Dalam proses ini latar belakang organisme dengan
sendirinya tidak berfungsi seimbang dimana libido lebih terakumulasi pada das
Es dengan cathexis yang bersifat pleasure
principle yang akan terefleksi dalam
perilaku yang hanya mengejar kesenangan belaka atau mengumbar hawa nafsu.
Dominasi energi das Es membuat das Ich
dan das Ueber Ich tidak mampu membentuk impuls anti-cathexis karena tidak ada
struktur nilai ketuhanan dan moralitas dalam wilayah das Ueber Ich yang bekerja
dengan morality principle, membuatnya tidak mampu membangun energi yang
dapat mengontrol das Ich atau ego yang
merupakan eksekutif kepribadian yang beroperasi dengan reality principle (vide, Pengajian Pertama).
Seluruh
file index schemata
didominasi memori tentang pengejaran kesenangan dan pemuasan hawa nafsu belaka,
sehingga stimulus yang memiliki karakter tentang religiusitas dan moralitas
tidak terasimilasi oleh skema, dan karenanya tidak berkembang kearah proses
akomodasi dan ekuilibrasi sebagai prasyarat existing-schemata
(potensi memori) (vide, Pengajian Keduapuluh depalan). Itulah sebabnya maka
diberi peringatan atau tidak diberi peringatan, sama saja, mereka tetap tidak
beriman.
Dengan kata lain, secara psikologis
orang kafir adalah orang yang bertuhan-kan kepada hawa nafsunya sendiri.
Meskipun ia mengaku beriman, sesungguhnya ia tidak beriman. Karena gestalt
(imajinasi yang menuntun perilaku) dalam dirinya hanyalah mengejar kesenangan
dan hawa nafsu belaka, berupa segala bentuk pemuasan hawa nafsu dari tingkat
terendah hingga tingkat tertinggi. Dengan segala desepsinya maka segala bentuk
pemuasan hawa nafsu pada dasarnya bersumber pada impuls stomach, impuls sexual
dan impuls agresive (vide, Pengajian
Pertama).
Firman
Allah : “Wa minannasi man-yyaquulu
aamannaa billaahi wabil-yaomil-aakhiri wa maahum bimu’minien” : “Diantara
manusia ada yang mengatakan kami beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, padahal
sesungguhnya mereka tidak beriman” (Al-Bqoroh : 8).
Pandangan filsafat dan psikologi
Menurut filsuf Yunani Protagoras
(480-411 SM), manusia menjadi ukuran segala sesuatu, baik bagi yang ada maupun
yang tidak ada. Manusia menentukan benar dan tidaknya sesuatu, ada dan tidak adanya sesuatu.
Artinya apa yang baik bagi seseorang mungkin tidak baik bagi orang lain.
Misalnya angin, bagi orang sehat dirasa baik, tapi bagi orang sakit dirasa
tidak baik, membuatnya menggigil dan menjadi tambah sakit.
Pendapat Protagoras sejalan dengan
aliran pendapat psikologi diatas yang menitikberatkan kualitas kepribadian pada
proses organisme yang sifatnya endogen dan tentu saja subyektif.
Orang kafir adalah orang yang menderita
psikosis bahkan patologis (sakit jiwa) dimana fungsi das Ueber Ich dan fungsi
transendennya terisolasi energi instinktif das Es, sehingga terjadi kelainan
dalam mekanisme energi kompensatoris, maka energi psikis tidak pernah dapat
mencapai ekualitas dalam das Ich dan psyche terisolasi dalam ketidakseimbangan
libido, akibatnya latar belakang organisme terpecah dan gestalt yang terbentuk
juga terpecah dan lebih banyak dipengaruhi factor archeytipus
(bayang-bayang kegelapan). Jadilah ia orang yang sakit jiwa, maka angin
religius yang sehat dirasa berbahaya bagi dirinya. Dakwah keagamaan dianggap
sebagai interferensi lingkungan dan nasihat dianggap sebagai penghinaan.
Bertolak dari pendapat Protagoras, Freud,
Jung, Goldstein dan Piaget yang sudah kita kaji pada rangkaian pengajian
sebelumnya, maka kekafiran bersifat endogen dan subyektif.
Pendapat Kitabiyah.
Dalam
Cerita-cerita Al-Kitab (Perjanjian Lama/Taurat), Bab 3. Dosa Pertama,
diungkapkan bahwa species Adam dan Eva sebagai pasangan yang
beriman yang pertama diciptakan Allah. Mereka dihasut Iblis, salah satu
Malaikat Allah yang memiliki sifat kesombongan dan memberontak kepada Allah
serta bermaksud menurunkan Allah dari singgasanaNya. Karena tidak mungkin ia
mengalahkan Allah maka ia merusak segala perbuatan Allah. Tindakan kekafiran
yang pertama yang dilakukan Iblis ialah menghasut Adam dan Eva yang menjadi
kesayangan Allah. Eva dihasut makan buah “Kuldi”, yang dilarang Allah, sehingga kesucian dan
keabadiannya menjadi hilang, karena buah hawa nafsu masuk dalam tubuhnya. Eva
yang mulai dihinggapi sesal ternyata melanjutkan perbuatan Iblis dengan
menghasut Adam. Maka akhirnya mereka berdua terjerumus dalam kehidupan fana
yang penuh penderitaan ini.
Al-Qur’an mengisyaratkan peristiwa ini
dengan Firman Allah : “Laqod kholaqnal-insaana fi akhsani takwiem (5).
Tsumma rodadnaahu asfala saafilien (6)” : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam kondisi yang sempurna (5). Kemudian Kami jatuhkan ketempat yang
serendah-rendahnya (6)”, (At-Tien : 5-6).
Inilah disposisi psikologis yang
menjadi konstitusi manusia. Menurut Kretschmer (1921) merupakan bentuk
dasar asli manusia baik secara fisiologis maupun psikologis yang tidak dapat
diubah dan merupakan faktor endogen.
Jadi kekafiran memang inhaerrent dalam
jiwa manusia. Seperti aslinya yang merupakan dosa pertama berupa pengungkapan
hawa nafsu yang tak terkendali. Itulah akar kekafiran, tersembunyi dalam das
Es, dan jika tidak terkendali akan menjadi dorongan utama yang mendominasi
totalitas kesadaran dan ketidaksadaran manusia, yang selanjutnya akan
terefleksi dalam sikap mental dan perilaku yang hanya mengejar kesenangan dan
memuaskan hawa nafsu belaka yang akan menjatuhkan manusia ketempat yang
serendah-rendahnya.
Upaya
penyelamatan
Upaya penyelamatan, artinya
mengeluarkan fungsi transenden dan fungsi das Ueber Ich manusia dari isolasi
das Es, dan dapat berfungsi optimal dalam keseimbangan das Ich. Untuk itu harus
dibangun stimulus yang memasukkan struktur nilai moralitas dan religiusitas
kedalam psyche manusia, baik melalui mekanisme kesadaran maupun ketidaksadaran,
agar manusia dapat membentuk basic personality struktur (kepribadian
dasar) yang seimbang yang oleh Demokritos (460-430) disebut euthumia, yaitu
keadaan batin yang sempurna (vide, Pengajian Ketigapuluh).
Jauh sebelum zaman Rasululullah SAW
manusia sudah menyadari hal ini. Kesadaran manusia untuk kembali kepada
derajatnya yang tinggi hanya dapat dicapai dengan cara kembali ke Jalan Tuhan.
Hal itu sudah dipahami manusia sejak ribuan tahun yang silam. 2000 tahun yang
lalu Maharesi Tiruvaluvar pemimpin spiritual Hindu telah mengajarkan
tentang Brahman yaitu jiwa suci yang merupakan unsur ketuhanan yang ada
dalam diri manusia, yang akan mencapai Nirvana, hanya dengan dua syarat,
yaitu apabila darma-darma (amal saleh) telah terpenuhi dan karma-karma
(balasan-balasan perbuatan) mencapai intensitasnya, maka jiwa manusia dapat melakukan perjalanan besar
yang disebut Mahaprasthana yakni menuju ke alam astral dibalik
kematian. Menurut Swami Sirvanada
tokoh spiritual Hindu, manusia selalu ingin mati dengan tenang dengan pikiran
terpusat kepada Tuhan. Ketika goyah, maka ia dibantu dengan mantra dan
sloka-sloka suci untuk mengingatkan pada hakikatnya yang sesungguhnya. Hanya
dengan cara mati yang demikian maka derajat manusia akan kembali ke
kemulyaannya di alam astral.
Setelah 2000 tahun berselang, Firman
Allah menyatakan : “Laqod
kholaqnal-insaana fie akhsani taqwiem (5). Tsumma rodadnaahu asfala
saafilien (6). Illalladziena aamanuu wa ‘amilushsholihaati falahum ajrunm
ghoiru mamnuun (7).” : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
kondisi yang sempurna (5). Kemudian Kami jatuhkan ketempat yang
serendah-rendahnya (6). Kecuali orang-orang yang beriman dan beralam saleh,
maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (7)” (At-Tien 5-7).
Beriman
dan beramal saleh adalah emansipasi puncak dari perjalanan manusia dalam
mencari bentuk penyerahan diri kembali kepada Tuhan dari masa 2000 tahun yang
silam. Bahkan jauh sebelumnya seperti ditunjukkan Demoskritos dan Khonghucu
(vide Pengajian Keduapuluh Sembilan). Beriman dan beramal saleh memiliki
bentuk perbuatan yang definitive,
productive dan transcendental.
Merupakan puncak yang sempurna dari upaya manusia untuk memulihkan derajatnya
dari kekafiran yaitu isolasi das Es yang rendah ketempat yang mulya disisi
Allah Azza wa Jalla di Yaumiddien. Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih.
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 25 Februari 2005.
Pengasuh,
HAJI
AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar