7.7.17

Pengajian Ketigapuluh Dua,-TWU






Pengajian Ketigapuluh Dua,
“Khotamallaahu ‘ala quluubihim wa ‘ala sam’ihim  wa ‘ala abshorihim ghisawatun-wwalahum ‘adzaabun ‘adziem”, (QS 2 : 7).
Assalamu’alaikum War. Wab.

“Khotamallahu ‘ala quluubihim wa ‘ala sam ‘ihim wa ‘ala abshorihim ghisawatun-wwalahum ‘adzaabun ‘adziem” : “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka  siksa yang amat berat”, (Al-Baqoroh : 7).
Substansi ayat tersebut merupakan kesatuan dengan ayat sebelumnya yang menerangkan kesia-siaan dalam memberikan peringatan kepada orang-orang kafir.Ayat diatas menggambarkan suatu kondisi jiwa kafirin yang tertutup total dan kegagalan pada akhirnya.
Seperti biasa kita akan mengkajinya secara eklektik dengan berbagai perspektif secara bebas dan independen untuk memperoleh kedalaman dan hikmah yang seluas-luasnya.

Schizophrenia dan agresitas.

Schizophrenia, golongan kejiwaan ini masih hidup diantara orang-orang lain, tetapi seperti telah mengubur dirinya sendiri, bersikap autis dan tidak menghiraukan apa-apa yang ada disekitarnya. Mereka kehilangan kontak dengan dunia diluar dirinya, dan seakan hidup untuk dan dengan dirinya sendiri (Kretschmer, 1921).  Jika das Es lemah dan tidak mengontrol kesadarannya, jenis ini bersikap autis pasif. Tetapi jika das Es menguat dan mengontrol kesadaran (das Ich), penderita schizophrenia bisa melakukan hal-hal impulsive termasuk agresitas yang cenderung destruktif, yang memang menjadi ciri-ciri sikap mental dan perilaku kafirin. Destruksi pada jenis patologis ini dapat mendatangkan kegembiraan dan kebanggaan karena dapat mereduksi tegangan jiwa atau terlampiaskan. Menurut Sigmund Freud (1856-1939) dalam diri manusia terdapat instink-instink mati dengan sifat destruktif. Derivat instink-instink mati yang terpenting adalah impuls agresif . Menurut Freud sifat agresif sesungguhnya merupakan bentuk pengrusakan diri yang diubah dengan obyek substitusi (vide, Pengajian Pertama). Hakekatnya merupakan dorongan untuk mati. Obyek substitusi impuls agresitas sesuai dengan instink dasarnya sudah tentu akan menciptakan kerusakan-kerusakan dalam kehidupan sosial. Inilah sesungguhnya keadaan kejiwaan kafirin. Destruksi adalah pengingkaran yang merupakan bentuk dasar kekafiran (vide, Pengajian Ketigapuluh Satu).
Di zaman Islam kekafiran yang agresif ditunjukkan oleh kaum zindiq, yaitu orang-orang yang pura-pura beriman, tetapi sesungguhnya kafir-munafik dan bermaksud merusak agama Allah dari dalam, antara lain dengan  membuat 14.000 hadits palsu untuk menciptakan bid’ah dan kesesatan dalam beragama. Dua orang diantara mereka yang pantas disebut namanya atas dasar pengakuannya sendiri ialah Abdul Karim bin Awjaa dan Muhammad bin Said As Syami al-Mashlub, yang masing-masing mengaku telah memalsukan atas nama Rasulullah SAW 4.000 hadits. Keduanya dihukum mati oleh penguasa Islam pada pertengah abad kedua Hijriah. Tetapi bukan mustahil terjadi penghukuman mati dengan fitnah zindiq terhadap musuh politik. Kalau itu yang terjadi maka sesungguhnya yang zindiq adalah penguasanya.
Kaum zindiq secara teologis dapat dikategorikan sebagai instrumen iblis,  diperkirakan masih ada hingga masa sekarang, yang menjadi pendorong dan pemicu pertentangan dan pertikaian antar ummat bergama, terutama dari kalangan agama samawi, seperti pertentangan antara Islam, Kristen dan Yahudi yang demikian latent. Padahal ketiganya memiliki tiga kesamaan mendasar, yaitu kesamaan Tuhan (United of God), kesamaan sejarah (United of History) dan kesamaan Kitab (United of Books)
Kaum zindiq tidak mewakili kepentingan Nasrani dan Yahudi, melainkan mewakili kepentingan jiwa kafirin dengan derivat instink kematian yang merusak dan destruktif (ingkar) (vide, Pengajian Ketigapuluh Satu), antara lain dengan cara memalsukan ayat-ayat Al-Kitab Perjanjian Lama (Taurat). Seorang teolog Kristen Dr. Berthold A. Pariera, O. Carm mengatakan terdapat penyisipan-penyisipan dalam Kitab Kejadian 16 : 1-16, yang  menerangkan tentang hubungan Abraham, Sarai (istri pertama)  dan Hagar (istri kedua), yang mengesankan konflik, pertentangan dan penindasan oleh Sarai terhadap Hagar; Sikap lemah Abraham dan penghinaan terhadap ras-Ismael. Penyisipan-penyisipan itu menurut Dr. Pariera tidak sesuai dengan “tradisi Imamat” yang tidak mengungkapkan adanya cerita konflik seperti itu (Berthold A Pariera : Abraham “Imigran Tuhan dan Bapa Bangsa-bangsa”, 2004, hal. 90-106)
Penyisipan-penyisipan dalam Kitab Perjanjian Lama seperti itu dapat menimbulkan penyesatan interpretasi dan melembagakan konflik yang premanen diantara Yahudi-Nasrani dengan Islam. Inilah kejahatan kaum zindiq dalam lingkungan Yahudi-Nasrani, yang bekerja dengan pola yang sama dengan kaum zindiq dalam Islam, yaitu dengan memalsukan sumber-sumer ajaran agar Ummat Allah tersesat dan saling membinasakan satu sama lain. Destruksi yang memang sudah menjadi konstitusi-psikologis species Iblis (vide, Pengajian Ketigapuluh Satu).

Bersatu

Ummat Islam, Yahudi dan Nasrani harus bersatu untuk menutup semua ruang gerak kaum zindiq yang ada dilingkungan masing-masing. Cukup mudah mengidentifikasi mereka, yaitu orang yang bersikap munafik dan menghasut untuk mengobarkan perpecahan dan pertentangan dikalangan mereka sendiri dan dengan kalangan diluar mereka dengan cara menyesatkan ajaran. Itulah orang zindiq. Perilaku kafirin itu menjadi tidak efektif jika para pemuka dilingkungan masing-masing mengajarkan agama dengan benar, dengan memahami Rahman-Rahiem, Kasih Sayang Allah kepada ummat manusia. Mewujudkan hablun-minallah dan hablun-minannaas, membangun kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama, membangun harmonisme, meningkatkan dharma-dharma dan mengikuti jalan tao, niscaya kesesatan dalam beragama yang ditiupkan kaum zindiq tidak akan dapat berjalan. Sebaliknya kebenaran dalam beragama akan menciptakan reaksi-reaksi cerebral yang mencerahkan hubungan antar ummat beragama dan mencerahkan kehidupan umat manusia seluruhnya.
Dalam kaitan dengan hal itu, saya angkat lagi Firman Allah (vide, Pengajian Keduapuluh Delapan) : “Innalladziena amanuu, walladziena haadu wannashoroo wasshoobiiena, man amana billahi wal-yaomil-akhiri wa ‘amila shoolihan, falahum ajruhum ‘inda robbihim wa laa khoufun ‘alaihim wa laahum yahzanuun” : “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani dan orang-orang shobiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhirat dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka (Allah), tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (Al-Baqoroh 62).
Asbabun-nuzul ayat tersebut berkaitan dengan pertanyaan Salman Farisi kepada Rasulullah SAW tentang berbagai agama yang pernah dijumpainya dalam pengalaman hidupnya. Salman menerangkan tentang perilaku dan ritualitas peribadatan agama-agama tersebut. Diantaranya agama Kristen, Yehuda dan Zoroaster.
Adalah kenyataan bahwa populasi mayoritas agama-agama bersumber dari keturunan, bersifat endogen, mewakili mainstream kebudayaan dan peradaban manusia di suatu kawasan pada zamannya masing-masing. Maka kebenaran menebar di berbagai agama. Jika direntangkan seluruhnya akan tampak Hakekat Transendental Yang Tunggal. Dalam berbagai istilah pada hakekatnya mengacu kepada Allah Ta’aala Tuhan Yang Maha Esa. Pengertian Yang Maha Esa disini bukanlah sosok melainkan Zat Yang Esa.

Potensi kekafiran

Berdasarkan kisah Kitab Perjanjian Lama (Taurat) tentang tragedi buah kuldi dan kajian psikoanalitis, maka sesungguhnya potensi kekafiran ada pada setiap diri manusia. Yang dari luar sifatnya hanya stimulus. Tragedi buah kuldi atau dosa pertama memberikan disposisi psikologis dalam konstitusi-jiwa seluruh jenis manusia tentang pengingkaran yang merupakan inti kekafiran. Artinya potensi kekafiran inheren dalam konstitusi-jiwa manusia dan bersifat endogen.
Tokoh Psikoanalitis Carl Gustav Jung (1875-1959) mengemukakan, bahwa dalam diri manusia terdapat organ jiwa yang disebut “bayang-bayang archeytipus”, yaitu bagian gelap dari kepribadian manusia, merupakan pecahan kepribadian yang tidak terikat pada individu, yang terbentuk dari fungsi dan sikap jiwa yang inferior. Karena pertimbangan moral dan tidak serasi dengan kehidupan alam sadar dimasukkan kedalam alam ketidaksadaran. Bayang-bayang arsetip berada dalam ketidaksadaran individu dan kolektif berupa dorongan kegelapan yang ada pada diri setiap orang. Inilah hakekat iblis, potensi kekafiran yang sifatnya intra-organis, ada dalam diri setiap orang. Yang dari luar (ekstra organis) sifatnya hanya stimulus, seperti hasutan iblis dalam tragedi buah kuldi, tetapi sesungguhnya lebih intens yang berasal dari dalam. Karena sifatnya maka bayang-bayang arsetip merupakan unsur das Es. Kembali pada Pengajian Pertama dan Kedua, maka yang menyelamatkan manusia dari kekafiran dan adzab akherat adalah Jihad Akbar yakni perang melawan hawa nafsu, melawan bayang-bayang archeytipus sekaligus mengendalikan seluruh cathexis das Es dengan anti cathexis das Uber Ich dan optimasi transenden-function yang berisi struktur nilai moralitas dan religiusitas ajaran Allah. Dari tahap ini manusia menuju proses individuasi yaitu penemuan idealitas diri yang seimbang yang mampu memusatkan libido pada das Ich (eksekutif kepribadian) yang terkontrol oleh struktur nilai Tauhid yang hidup dan menjadi azas “reality principle”. Maka selamatlah kita dari kekafiran. Sekian, terimakasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 4 Maret 2005,
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar