Pengajian Ketigapuluh Dua,
“Khotamallaahu ‘ala quluubihim wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala abshorihim ghisawatun-wwalahum
‘adzaabun ‘adziem”, (QS 2 : 7).
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Khotamallahu ‘ala quluubihim wa ‘ala
sam ‘ihim wa ‘ala abshorihim ghisawatun-wwalahum ‘adzaabun ‘adziem” : “Allah
telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup.
Dan bagi mereka siksa yang amat berat”,
(Al-Baqoroh : 7).
Substansi ayat
tersebut merupakan kesatuan dengan ayat sebelumnya yang menerangkan kesia-siaan
dalam memberikan peringatan kepada orang-orang kafir.Ayat diatas menggambarkan
suatu kondisi jiwa kafirin yang tertutup total dan kegagalan pada akhirnya.
Seperti biasa kita
akan mengkajinya secara eklektik dengan berbagai perspektif secara bebas dan
independen untuk memperoleh kedalaman dan hikmah yang seluas-luasnya.
Schizophrenia dan
agresitas.
Schizophrenia, golongan kejiwaan
ini masih hidup diantara orang-orang lain, tetapi seperti telah mengubur
dirinya sendiri, bersikap autis dan tidak menghiraukan apa-apa yang ada
disekitarnya. Mereka kehilangan kontak dengan dunia diluar dirinya, dan seakan
hidup untuk dan dengan dirinya sendiri (Kretschmer,
1921). Jika das Es lemah dan tidak mengontrol
kesadarannya, jenis ini bersikap autis pasif. Tetapi jika das Es menguat dan mengontrol
kesadaran (das Ich), penderita schizophrenia bisa melakukan hal-hal impulsive termasuk agresitas yang
cenderung destruktif, yang memang menjadi ciri-ciri sikap mental dan perilaku kafirin.
Destruksi pada jenis patologis ini dapat mendatangkan kegembiraan dan
kebanggaan karena dapat mereduksi tegangan jiwa atau terlampiaskan. Menurut Sigmund Freud
(1856-1939)
dalam diri manusia terdapat instink-instink mati dengan sifat destruktif.
Derivat instink-instink mati yang terpenting adalah impuls agresif . Menurut Freud sifat agresif
sesungguhnya merupakan bentuk pengrusakan diri yang diubah dengan obyek
substitusi (vide, Pengajian Pertama). Hakekatnya merupakan dorongan untuk mati.
Obyek substitusi impuls agresitas sesuai dengan instink dasarnya sudah tentu
akan menciptakan kerusakan-kerusakan dalam kehidupan sosial. Inilah sesungguhnya
keadaan kejiwaan kafirin. Destruksi adalah pengingkaran yang merupakan bentuk
dasar kekafiran (vide, Pengajian Ketigapuluh Satu).
Di zaman Islam
kekafiran yang agresif ditunjukkan oleh kaum zindiq, yaitu orang-orang yang pura-pura beriman, tetapi
sesungguhnya kafir-munafik dan bermaksud merusak agama Allah dari dalam, antara
lain dengan membuat 14.000 hadits palsu
untuk menciptakan bid’ah dan kesesatan dalam beragama. Dua orang diantara
mereka yang pantas disebut namanya atas dasar pengakuannya sendiri ialah Abdul Karim
bin Awjaa
dan Muhammad bin Said As Syami al-Mashlub, yang masing-masing mengaku telah
memalsukan atas nama Rasulullah SAW 4.000 hadits. Keduanya dihukum mati oleh
penguasa Islam pada pertengah abad kedua Hijriah. Tetapi bukan mustahil terjadi
penghukuman mati dengan fitnah zindiq terhadap musuh politik. Kalau itu yang terjadi maka
sesungguhnya yang zindiq adalah penguasanya.
Kaum zindiq secara teologis
dapat dikategorikan sebagai instrumen iblis, diperkirakan masih ada hingga masa sekarang,
yang menjadi pendorong dan pemicu pertentangan dan pertikaian antar ummat
bergama, terutama dari kalangan agama samawi, seperti pertentangan antara
Islam, Kristen dan Yahudi yang demikian latent. Padahal ketiganya memiliki tiga kesamaan mendasar, yaitu
kesamaan Tuhan (United of
God),
kesamaan sejarah (United
of History)
dan kesamaan Kitab (United
of Books)
Kaum zindiq tidak mewakili
kepentingan Nasrani dan Yahudi, melainkan mewakili kepentingan jiwa kafirin
dengan derivat instink kematian yang merusak dan destruktif (ingkar) (vide,
Pengajian Ketigapuluh Satu), antara lain dengan cara memalsukan ayat-ayat Al-Kitab
Perjanjian Lama (Taurat). Seorang teolog Kristen Dr. Berthold A. Pariera, O.
Carm mengatakan
terdapat penyisipan-penyisipan dalam Kitab Kejadian 16 : 1-16, yang menerangkan tentang hubungan Abraham, Sarai (istri pertama) dan Hagar (istri kedua), yang
mengesankan konflik, pertentangan dan penindasan oleh Sarai terhadap Hagar;
Sikap lemah Abraham dan penghinaan terhadap ras-Ismael. Penyisipan-penyisipan
itu menurut Dr. Pariera tidak sesuai dengan “tradisi Imamat” yang tidak mengungkapkan adanya cerita konflik seperti itu
(Berthold A Pariera : Abraham “Imigran Tuhan dan Bapa Bangsa-bangsa”, 2004,
hal. 90-106)
Penyisipan-penyisipan
dalam Kitab Perjanjian Lama seperti itu dapat menimbulkan penyesatan
interpretasi dan melembagakan konflik yang premanen diantara Yahudi-Nasrani
dengan Islam. Inilah kejahatan kaum zindiq dalam lingkungan
Yahudi-Nasrani, yang bekerja dengan pola yang sama dengan kaum zindiq dalam Islam, yaitu dengan memalsukan
sumber-sumer ajaran agar Ummat Allah tersesat dan saling membinasakan satu sama
lain. Destruksi yang memang sudah menjadi konstitusi-psikologis species Iblis
(vide, Pengajian Ketigapuluh Satu).
Bersatu
Ummat Islam, Yahudi
dan Nasrani harus bersatu untuk menutup semua ruang gerak kaum zindiq yang ada
dilingkungan masing-masing. Cukup mudah mengidentifikasi mereka, yaitu orang
yang bersikap munafik dan menghasut untuk mengobarkan perpecahan dan
pertentangan dikalangan mereka sendiri dan dengan kalangan diluar mereka dengan
cara menyesatkan ajaran. Itulah orang zindiq. Perilaku kafirin itu menjadi tidak efektif jika para
pemuka dilingkungan masing-masing mengajarkan agama dengan benar, dengan
memahami Rahman-Rahiem, Kasih Sayang Allah kepada ummat manusia. Mewujudkan hablun-minallah dan hablun-minannaas, membangun kasih
kepada Allah dan kasih kepada sesama, membangun harmonisme, meningkatkan
dharma-dharma dan mengikuti jalan tao, niscaya kesesatan dalam beragama yang
ditiupkan kaum zindiq tidak akan dapat berjalan. Sebaliknya kebenaran dalam beragama akan
menciptakan reaksi-reaksi cerebral yang mencerahkan hubungan antar ummat
beragama dan mencerahkan kehidupan umat manusia seluruhnya.
Dalam kaitan dengan
hal itu, saya angkat lagi Firman Allah (vide, Pengajian Keduapuluh Delapan) : “Innalladziena amanuu, walladziena
haadu wannashoroo wasshoobiiena, man amana billahi wal-yaomil-akhiri wa ‘amila
shoolihan, falahum ajruhum ‘inda robbihim wa laa khoufun ‘alaihim wa laahum
yahzanuun” : “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang yahudi, orang-orang
nasrani dan orang-orang shobiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari akhirat dan beramal saleh, mereka akan menerima
pahala dari Tuhan mereka (Allah), tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati” (Al-Baqoroh 62).
Asbabun-nuzul ayat tersebut
berkaitan dengan pertanyaan Salman Farisi kepada Rasulullah SAW tentang
berbagai agama yang pernah dijumpainya dalam pengalaman hidupnya. Salman
menerangkan tentang perilaku dan ritualitas peribadatan agama-agama tersebut.
Diantaranya agama Kristen, Yehuda dan Zoroaster.
Adalah kenyataan
bahwa populasi mayoritas agama-agama bersumber dari keturunan, bersifat
endogen, mewakili mainstream kebudayaan dan peradaban manusia di suatu kawasan
pada zamannya masing-masing. Maka kebenaran menebar di berbagai agama. Jika
direntangkan seluruhnya akan tampak Hakekat Transendental Yang Tunggal. Dalam
berbagai istilah pada hakekatnya mengacu kepada Allah Ta’aala Tuhan Yang Maha
Esa. Pengertian Yang Maha Esa disini bukanlah sosok melainkan Zat Yang Esa.
Potensi kekafiran
Berdasarkan kisah Kitab
Perjanjian Lama (Taurat) tentang tragedi buah kuldi dan kajian psikoanalitis,
maka sesungguhnya potensi kekafiran ada pada setiap diri manusia. Yang dari
luar sifatnya hanya stimulus. Tragedi buah kuldi atau dosa pertama memberikan
disposisi psikologis dalam konstitusi-jiwa seluruh jenis manusia tentang
pengingkaran yang merupakan inti kekafiran. Artinya potensi kekafiran inheren
dalam konstitusi-jiwa manusia dan bersifat endogen.
Tokoh Psikoanalitis Carl Gustav
Jung (1875-1959) mengemukakan, bahwa dalam diri manusia terdapat organ jiwa
yang disebut “bayang-bayang archeytipus”, yaitu bagian gelap dari kepribadian manusia, merupakan
pecahan kepribadian yang tidak terikat pada individu, yang terbentuk dari
fungsi dan sikap jiwa yang inferior. Karena pertimbangan moral dan tidak serasi
dengan kehidupan alam sadar dimasukkan kedalam alam ketidaksadaran.
Bayang-bayang arsetip berada dalam ketidaksadaran individu dan kolektif berupa
dorongan kegelapan yang ada pada diri setiap orang. Inilah hakekat iblis, potensi
kekafiran yang sifatnya intra-organis, ada dalam diri setiap orang. Yang dari luar
(ekstra organis) sifatnya hanya stimulus, seperti hasutan iblis dalam tragedi
buah kuldi, tetapi sesungguhnya lebih intens yang berasal dari dalam. Karena
sifatnya maka bayang-bayang arsetip merupakan unsur das Es. Kembali pada
Pengajian Pertama dan Kedua, maka yang menyelamatkan manusia dari kekafiran dan
adzab akherat adalah Jihad Akbar yakni perang melawan hawa nafsu, melawan bayang-bayang
archeytipus sekaligus mengendalikan seluruh cathexis das Es dengan anti
cathexis das Uber Ich dan optimasi transenden-function yang berisi struktur nilai moralitas
dan religiusitas ajaran Allah. Dari tahap ini manusia menuju proses individuasi
yaitu penemuan idealitas diri yang seimbang yang mampu memusatkan libido pada
das Ich (eksekutif kepribadian) yang terkontrol oleh struktur nilai Tauhid yang
hidup dan menjadi azas “reality principle”. Maka selamatlah kita dari kekafiran.
Sekian, terimakasih.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar