7.7.17

Pengajian Ketigapuluh Tiga-TWU





Pengajian Ketigapuluh Tiga




Assalamu’alaikum War. Wab.

“Waminannasi manyyaquulu aamannaa billaahi wabil-yaumil aakhiri wa maahum bimu’minien” : “Diantara manusia ada yang mengatakan : “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhirat”; padahal sesungguhnya mereka itu bukan orang-orang yang beriman”.(Al-Baqoroh : 8)

Bersumber dari riwayat al-Faryabi dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Mujahid, asbabun-nuzul ayat ayat tersebut  (QS 2 : 8-20) berkaitan dengan sifat dan kelakuan kaum munafiqin.

Indikator terpenting dari perilaku kaum munafiqien ialah sifat mendua diantara adat-istiadat lama dengan ajaran Rasulullah SAW. Proses psikologis yang terjadi pada diri mereka tidak berhasil mencapai ekualitas. Akibatnya mereka gagal melakukan sublimasi, yaitu transferabilitas progresif dari adat-istiadat lama yang bersifat mitologis kepada nilai-nilai baru ajaran Tauhid yang transenden. Maka terjadilah ketidakstabilan dalam mekanisme psikologis yang mencerminkan Self yang terombang-ambing, yang menjadi sumber sikap mental dan perilaku yang ambivalence . Ini agak berbeda dengan sikap mental dan perilaku kaum kafirin yang destruktif (vide, Pengajian Ketigapuluh Dua).

Perlu dipahami selama ratusan bahkan ribuah tahun sebelum masa Rasulullah SAW, suku-suku Arab menganut agama purba yang menyembah dewa-dewa mitologis yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk berhala-berhala. Diantara yang tertinggi adalah “Ba’al” (Dewa Badai) yang berasal dari kepercayaan Kana’an atau Yahudi-kuno dari abad ke-14 SM . Diperkirakan suku-suku Arab kuno yang berdiam di daerah Edom, yaitu wilayah di sebelah selatan Laut Mati yang terbentang pada kedua sisi Lembah Arabia, pada abad ke-10 SM telah memeluk agama Ba’al ini. Kepercayaan itu telah berlangsung demikian lama dan telah membentuk ketidaksadaran kolektif suku-suku Arab, dan terefleksi dalam bentuk adat-istiadat dan social system yang  menjadi dasar modal personality (kepribadian umum) orang Arab selama berabad-abad. Meskipun Muhammad SAW dalah Utusan Allah dengan modalitas yang sangat kuat berupa Firman-firman Allah yang langsung turun kepada-Nya ditunjang berbagai mu’jizat, ternyata tidak mudah mengubah sikap mental dan perilaku yang berakar pada adat istiadat (custom) yang telah berlangsung selama sekitar 1400 tahun sebelumnya, terbukti dengan masih adanya sikap ambivalence terhadap Islam atau kemunafikan.Dalam kaitan dengan hal ini perlu disimak Al-Baqoroh 14 :
“Wa-idzaa laqulladziena aamanuu qooluu aamannaa; wa-idzaa kholau ilaa syayathinihim; qooluu innaa ma’akum; innamaa nahnu mustahzi-uun” : “ Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan : “Kami telah beriman”; Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”, (QS 2 : 14).

Asbabun-nuzul ayat tersebut berkaitan dengan perilaku munafik Abdullah bin Ubay yang bersikap menyanjung terhadap Abu Bakar, Umar dan Ali r.anhum, tetapi mengolok-olok dibelakang punggung mereka, terutama ketika Abdullah bin Ubay kembali berada ditengah-tengah kaum munafiqin. (Diriwayatkan dengan sanad dla’if oleh al-Wahidi dan at-Tsa’labi dari Muhammad bin Marwan dan as-Suddi as-Shaghir dari al-Kalbi dan Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abas :// as-Suddi as-Shaghir, al-Kalbi dan Abi Shaleh adalah rangkaian yang dla’if).

Kemunafikan dan Kemusyrikan

Kemunafikan bersumber dari kegagalan proses psikologi kognitif dalam mencapai ekuilibrium. Dalam hal ini proses psiko-kognitif hanya berlangsung pada tahap skema, asimilasi dan akomodasi dimana pada akhirnya stimulus tidak terdeteksi dengan benar, karena tidak terdapat padanannya dalam file index schemata (vide, Jan Piaget, 1896-1980). Maknanya ajaran Muhammad SAW tidak dapat dimengerti dengan sungguh-sungguh oleh sekelompok orang yang tidak mampu mengembangkan kesadaran dan ketidaksadaran kolektif-nya kearah nilai-nilai baru dengan tingkat diferensiasi yang lebih tinggi. Psyche mereka mengalami regresi terus-menerus, selalu terdorong mundur ke batas-batas pengalaman psikologis masa lalu dengan diferensiasi yang lebih rendah dengan latar belakang adat istiadat lama dari ajaran ajaran agama purba penyembah berhala (vide, Ernt Kris, 1900-1957). Inilah yang membuat mereka mengalami ambigue dalam mencerna ajaran Rasulullah SAW yang pada gilirannya merefleksikan sikap mental dan perilaku yang diidentifikasi oleh Al-Qur’an sebagai sifat-sifat orang munafik.
Kemunafikan yang tak terselesaikan menjadi dasar kemusyrikan (vide, Pengajian Kesembilanbelas-Keduapuluh Tiga). Regresi yang intens membuat orang-orang munafik terus-menerus terjebak dalam nilai-nilai lama, sementara proses kognitif hanya mampu menyerap nilai-nilai baru secara tidak utuh. Akibatnya terjadilah proses asimilasi dan akomodasi yang tidak sempurna, menghasilkan satu skema ekuilibrasi yang tidak utuh. Dalam proses ini sebagian dari kesadaran mencoba memahami ajaran Tauhid sementara ketidaksadaran kolektif tetap terikat kuat pada struktur nilai masa lalu yang telah membentuk konstitusi jiwa dan mempengaruhi kepribadian dasar (basic personality structure). Inilah sumber percampuran budaya monotheis-polytheis yang menjadi akar budaya kemusyrikan yang pernah tumbuh subur di Mesir pada abad ke-15 SM yang menjadi alasan utama diutusnya Musa a.s. ke Mesir (vide, Pengajian Kesembilanbelas-Keduapuluh Tiga).

Latar belakang psiko-antropologis

Pada abad ke-14 SM di Kana’an (Yerussalem) berkembang agama purba penyembah berhala yang dianut oleh pribumi Kana’an (campuran Yahudi-Arab) dan sebagian Yahudi eksodusan Mesir. Kota yang menjadi pusat agama purba ini ialah Ugarit yang berhasil ditemukan oleh para arkeolog pada penggalian th. 1929.  Dewa mitologis yang paling banyak disembah adalah Ba’al-Dewa Badai dan pasangannya Anat-adik yang sekaligus istri. Anat menurut kisah mitologis pernah membebaskan Ba’al dari Mot-Dewa Kematian.
Diatas Ba’al terdapat Dewa yang lebih berkuasa tetapi kurang popular dengan fungsi yang agak samar yang disebut El merupakan kepala dari Dewa-dewi Kana’an. El memiliki istri-istri, yang terpenting adalah Astarte dan Asyera yang disebut-sebut dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat). Orang-orang Kana’an memuja kedua Dewi itu sebagai lambang Kesuburan.  Bahkan orang Yahudi masih menyebut Tuhan Allah dengan sebutan Eli dalam bahasa Ibrani, mirip dengan El dalam bahasa Ugarit yang memang sangat mirip dengan bahasa Ibrani.

Pada dasarnya pemujaan terhadap ilah-ilah Kana’an itu bertemakan seks dan perang, yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat yang sangat dikecam oleh Kitab Perjanjian Lama. Ketika permusuhan dengan suku-suku Bani Ismail meningkat di Kana’an, terutama setelah datangnya eksodusan Yahudi Mesir, sebagian suku-suku besar Bani Ismail meninggalkan Kana’an. Mereka kemudian menguasai wilayah Edom seperti tersebut diatas.  Pada abad ke-10 SM Raja Israel Daud menaklukkan wilayah itu dan memperbudak seluruh Edom dengan kejam termasuk suku-suku Bani Ismail, yang dalam pandangan Daud adalah orang-orang kafir dan fasiq penyembah berhala. Artinya hingga pada abad 10 SM itu agama purba penyembah berhala tetap hidup dikalangan suku-suku Arab di wilayah Lembah Arabia. Agama berhala yang kemudian berkembang luas di jazirah Arab menciptakan kegelapan diseluruh Arabia selama tidak kurang 1400 tahun hingga datangnya Rasululullah SAW pada abad ke-6 M. Selama 23 th masa kenabiannya, tidak seluruh orang Arab mengikuti dan beriman kepada ajaran Rasulullah SAW. Terdapat pula kelompok kelompok yang tetap kafir, atau menerima sebagian yang menjadikannya munafik dan musyrik disebabkan karena ketidaksadaran kolektif mereka yang tidak dapat lepas dari nilai-nilai masa silam. Tetapi arus utama yang berkembang di jazirah Arab adalah menerima ajaran Rasulullah SAW hingga perkembangannya di zaman ini dimana agama Islam telah berkembang luas didunia sebagai salah satu agama terbesar dengan penganut tidak kurang dari 1,1 milyar umat manusia diseluruh dunia.

Semoga bangsa kita terbebas dari kemunafikan dan kemusyrikan yang tidak diampuni Allah Azza wa Jalla. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 11 Maret 2005,
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar