7.7.17

Pengajian Ketigapuluh Empat,-TWU

Pengajian Ketigapuluh Empat,
Oleh : KH. Agus Miftach
Yukhoodi’uunallaaha walladziena amanuu; wa maa yakhda’uuna
Illaa anfusahum wa maa yasy’uruun (QS 2 : 9).

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Yukhoodi’uunallaaha walladziena amanuu; wa maa yakhda’uuna illa anfusahum wa maa yasy’uruun” : “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar” (Al-Baqoroh 9).

Ayat tersebut merupakan ayat kedua dari 13 ayat tentang orang-orang munafik (QS 2 : 8-20) sebagaimana diterangkan pada Pengajian Ketigapuluh Tiga.

Ayat tersebut diatas menunjukkan sudut pandang tentang struktur nilai yang sangat berbeda antara orang-orang munafiqien dan orang-orang mu’minien. Pada Pengajian Ketigapuluh Tiga telah diungkapkan tentang dasar-dasar keyakinan spiritual Arabia sebelum diutusnya Rasulullah SAW yang kita kaji dari perspektif psiko-antropologi sejak abad ke-14-10 SM. Kita akan meneruskan pengkajian psiko-antropologi itu dengan berbagai variable.

Agama berhala

Sebagaimana telah diungkapkan Jum’at lalu, ras Arabia sejak abad ke-14 SM menganut agama Ba’al yang berasal dari peradaban Kana’an purba. Agama Ba’al yang berpusat pada Dewa Badai Ba’al itu terus dianut suku-suku besar Arab purba ketika mereka menguasai kawasan Edom pada abad ke-10 SM.

Disamping itu terdapat pula Dewa Enlil yang dipercayai menguasai dunia yang berasal dari peradaban berhala Mesopotamia dari abad ke-17 SM. Dewa Enlil inilah yang dimitoskan telah membunuh dewa-dewa yang membangkang ketika diperintahkan menggali irigasi. Mahadewa Enlil lalu menggunakan darah dan daging para dewa yang dibunuhnya dicampur dengan tanah liat untuk membuat manusia yang lalu diperintahkan melanjutkan kerja para dewa yang tertunda karena pembangkangan itu.

Para manusia kemudian berkembang biak dengan pesatnya yang menciptakan berbagai kegaduhan dan keributan yang memang menjadi ciri jenis manusia, sehingga akhirnya mengganggu ketenangan para dewa-dewi. Populasi manusia dikurangi dengan menebar wabah dan kekeringan. Dan karena jenis manusia tetap gaduh dan ribut diantara mereka, maka diputuskan dibinasakan dengan air bah.

Tetapi Dewa Ea yang menyukai seorang manusia bernama Atrahasis membocorkan rencana tersebut. Atrahasis, keluarga beserta ternaknya selamat dengan sebuah kapal besar. Sesudah air bah surut Atrahasis mempersembahkan korban kepada para dewa-dewi yang diterima dengan baik (Baker & Bimson, 2004). Inilah epos “Nabi Nuh” versi berhalaisme yang merupakan bagian penting dari keseluruhan ketidaksadaran kolektif ras Arab sebelum masa kenabian Muhammad SAW.

Tetapi unsur dominan yang paling akhir adalah Dewa Ba’al dengan inti ritualitas yang bernafaskan seksualitas dan perang. Dua unsur das Es yang menjadi identitas konstitusi jiwa Arab Jahiliyah. Berhala-berhala turunan Ba’al yang bersifat tuhan lokal adalah Hubal. Dibawahnya terdapat  trimurti-berhala Manat, Latta dan Uzza. Itulah rejim spirit ras Arab sebelum Rasulullah SAW yang berintikan pada libido das Es dengan impuls sexual, impuls stomach dan impuls agresive yang merupakan sumber kekuasaan hawa nafsu yang telah membawa ras Arabia dalam kegelapan selama tidak kurang 2000 tahun sebelum kenabian Rasululullah SAW atau bahkan lebih lama lagi.

Perubahan berdasarkan firman.

Pada abad ke-5 SM filsuf Yunani terbesar sebelum Socrates, Herakleitos (540-475 SM) mendalilkan tentang “perubahan” dimana segala sesuatu bergerak terus menerus dalam perubahan yang abadi. Hakekat keberadaaan adalah perubahan. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Dunia adalah suatu harmoni besar dalam ketegangan dan perlawanan untuk menuju keselarasan yang indah (vide, Pengajian Ketujuhbelas).

Pada kenyataannya teori monumental Herakleitos itu tidak berlaku bagi bangsa Arab purba. Selama 2000 th sejak zaman Kana’an kuno, Edom hingga Hejaz ras Arab tidak mengalami transferabilitas progresif dari nilai-nilai berhalaisme yang primitif-instinktif dan rendah diferensiasinya kepada nilai-nilai baru yang lebih tinggi diferensiasinya. Atau dengan kata lain tidak terjadi perubahan mental development dikalangan ras Arab paling tidak selama 2000 th. Tidak ada sublimasi yang mengantarkan Arabia kearah perubahan budaya yang lebih tinggi.

Pada masa antara 3000-2500 th SM Allah pernah mengutus Ibrahim a.s atau Abraham dalam versi Taurat dan puteranya Ismail a.s. atau Ismael dalam versi Taurat ke Hejaz untuk meletakkan dasar-dasar agama Tauhid dari kawasan itu. Tapi dalam kurun antara 1000 hingga 500 th sesudahnya ras Arabia telah meninggalkan ajaran Ibrahim-Ismail. Kalau masih ada yang beriman, itu adalah kekecualian yang sangat kecil. Dalam masa sesudahnya Allah mengutus Nabi Huud a.s. pada kaum ‘Aad  yang merupakan mainstream bangsa Arab masa itu yang menguasai kawasan diantara Yaman dan Oman, untuk mengeluarkan mereka dari kesesatan.

Tetapi kaum ‘Aad menentang keras Nabi Huud a.s. Maka mereka dibinasakan Allah. Pada zaman sesudah itu Allah mengutus Nabi Shaleh a.s. kepada kaum Tsamud yang merupakan mainstream ras Arab masa itu dan penyembah berhala sebagaimana kaum ‘Aad, untuk mengeluarkan mereka dari kesesatan. Tetapi sebaimana kaum ‘Aad, kaum Tsamud menentang keras Nabi Shaleh a.s. Merekapun dibinasakan Allah. Setelah itu masuk agama Yahudi yang didukung kerajaan Yaman dan agama Nasrani yang didukung Kerajaan Habsyi.

Tetapi hanya sedikit yang mengikuti kedua agama ahlul-kitab yang selalu berselisih itu. Maka Arab tetap tertinggal dalam kegelapan hingga masa kedatangan Rasulullah SAW pada abad ke-6. Perubahan yang kuat dan sublimatif baru mulai pada masa Rasulullah SAW dengan bersendikan firman-firman Allah (Al-Qur’anul-Kariem). Inilah masa revolusi Hijrah, yaitu sublimasi budaya ditandai dengan transferabilitas progresif dari nilai-nilai berhala yang primitif dan rendah diferensiasinya kepada nilai-nilai Tauhid dan Akhlaqul-karimah yang emansipatif, transenden dan tinggi diferensiasinya. Maka mulailah peradaban Islam, yang dalam perkembangannya kemudian tumbuh menjadi salah satu kekuatan peradaban dunia.

Residu


Namun demikian panjangnya periode kegelapan berhalaisme menyisakan residu adanya sekelompok orang yang tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai lama yang terus mempengaruhi ketidaksadaran kolektif mereka, menciptakan tarik-menarik dan ambivalency dalam kepribadian.

Sesungguhnya ini merupakan tahap akhir yang terlemah dari bentuk perlawanan para penganut agama berhala, yaitu dengan cara berpura-pura menerima Islam, namun sesungguhnya mereka tetap berpegang pada berhalaisme yang memberikan kesenangan das Es.

Dengan cara itu mereka menganggap telah menipu Allah dan kalangan mu’minien, padahal sesungguhnya mereka menipu diri sendiri. Tentang orang-orang munafiqien ini Rasulullah SAW bersabda : “Ayatul munafiqi tsalatsun; idza khadatsa kadzaba, wa idza wa’ada ahlafa, wa idza’ tumina khoona” : Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : kalau berbicara ia bohong, kalau berjanji ia tidak menepati dan kalau dipercaya ia khianat”. (HR. Bukhari).

Mereka tidak merasakan kesesatan karena terlanjur terbenam dalam kesesatan nilai-nilai lama. Mereka bahkan merasa selamat dengan sikap ambigue, padahal mereka tidak selamat selamanya. Hampir semua agama berhala purba bersendikan pada das Es dengan ciri-ciri impuls sexual, stomach dan agresive yang sifatnya instinktif hewani. Itulah yang membuat mereka mampu bertahan lama karena sifatnya yang “pleasure prinsciple”  dimana hawa nafsu dibebaskan dan diperkuat dalam tema-tema ritualitas ilah-ilah mereka.

Agama Islam yang kemudian berkembang pesat telah menciptakan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur nilai-nilai sosial seluruh jazirah Arabia dan Kaum Muslimin dimana nilai-nilai tauhid dan akhlaqul-karimah dijunjung tinggi, dan sebaliknya segala perilaku akhlaqul-dzolimah pemuasan hawa nafsu seperti berzina, berjudi, mabuk, mencuri, merampas, membunuh dan segala perilaku jahiliyah yang dekaden serta mewarnai kehidupan sosial Arabia selama ribuan tahun sebelum Islam diberantas dengan keras.  Prinsip tauhid dan akhlaqul-karimah menjadi sumber energi terjadinya sublimasi budaya dan peradaban Islam yang terus menerangi dunia hingga masa sekarang. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 18 Maret 2005,

Pengasuh,

KH AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar