Pengajian
Ketigapuluh Empat,
Oleh :
KH. Agus Miftach
Yukhoodi’uunallaaha
walladziena amanuu; wa maa yakhda’uuna
Illaa
anfusahum wa maa yasy’uruun (QS 2 : 9).
Assalamu’alaikum
War. Wab.
“Yukhoodi’uunallaaha
walladziena amanuu; wa maa yakhda’uuna illa anfusahum wa maa yasy’uruun” :
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya
menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar” (Al-Baqoroh 9).
Ayat tersebut
merupakan ayat kedua dari 13 ayat tentang orang-orang munafik (QS 2 : 8-20)
sebagaimana diterangkan pada Pengajian Ketigapuluh Tiga.
Ayat tersebut
diatas menunjukkan sudut pandang tentang struktur nilai yang sangat berbeda
antara orang-orang munafiqien dan orang-orang mu’minien. Pada Pengajian
Ketigapuluh Tiga telah diungkapkan tentang dasar-dasar keyakinan spiritual
Arabia sebelum diutusnya Rasulullah SAW yang kita kaji dari perspektif
psiko-antropologi sejak abad ke-14-10 SM. Kita akan meneruskan pengkajian
psiko-antropologi itu dengan berbagai variable.
Agama
berhala
Sebagaimana
telah diungkapkan Jum’at lalu, ras Arabia sejak abad ke-14 SM menganut agama Ba’al
yang berasal dari peradaban Kana’an purba. Agama Ba’al yang berpusat
pada Dewa Badai Ba’al itu terus dianut suku-suku besar Arab purba ketika
mereka menguasai kawasan Edom pada abad ke-10 SM.
Disamping itu
terdapat pula Dewa Enlil yang dipercayai menguasai dunia yang berasal
dari peradaban berhala Mesopotamia dari abad ke-17 SM. Dewa Enlil inilah
yang dimitoskan telah membunuh dewa-dewa yang membangkang ketika diperintahkan
menggali irigasi. Mahadewa Enlil lalu menggunakan darah dan daging para
dewa yang dibunuhnya dicampur dengan tanah liat untuk membuat manusia yang lalu
diperintahkan melanjutkan kerja para dewa yang tertunda karena pembangkangan itu.
Para manusia
kemudian berkembang biak dengan pesatnya yang menciptakan berbagai kegaduhan
dan keributan yang memang menjadi ciri jenis manusia, sehingga akhirnya
mengganggu ketenangan para dewa-dewi. Populasi manusia dikurangi dengan menebar
wabah dan kekeringan. Dan karena jenis manusia tetap gaduh dan ribut diantara
mereka, maka diputuskan dibinasakan dengan air bah.
Tetapi Dewa Ea
yang menyukai seorang manusia bernama Atrahasis membocorkan rencana
tersebut. Atrahasis, keluarga beserta ternaknya selamat dengan sebuah
kapal besar. Sesudah air bah surut Atrahasis mempersembahkan korban
kepada para dewa-dewi yang diterima dengan baik (Baker & Bimson, 2004).
Inilah epos “Nabi Nuh” versi berhalaisme yang merupakan bagian penting dari
keseluruhan ketidaksadaran kolektif ras Arab sebelum masa kenabian Muhammad
SAW.
Tetapi unsur
dominan yang paling akhir adalah Dewa Ba’al dengan inti ritualitas yang
bernafaskan seksualitas dan perang. Dua unsur das Es yang menjadi identitas
konstitusi jiwa Arab Jahiliyah. Berhala-berhala turunan Ba’al yang
bersifat tuhan lokal adalah Hubal. Dibawahnya terdapat trimurti-berhala Manat, Latta dan Uzza.
Itulah rejim spirit ras Arab sebelum Rasulullah SAW yang berintikan pada
libido das Es dengan impuls sexual, impuls stomach dan impuls
agresive yang merupakan sumber kekuasaan hawa nafsu yang telah membawa ras
Arabia dalam kegelapan selama tidak kurang 2000 tahun sebelum kenabian
Rasululullah SAW atau bahkan lebih lama lagi.
Perubahan
berdasarkan firman.
Pada abad
ke-5 SM filsuf Yunani terbesar sebelum Socrates, Herakleitos (540-475
SM) mendalilkan tentang “perubahan” dimana segala sesuatu bergerak terus
menerus dalam perubahan yang abadi. Hakekat keberadaaan adalah perubahan. Yang
abadi adalah perubahan itu sendiri. Dunia adalah suatu harmoni besar dalam
ketegangan dan perlawanan untuk menuju keselarasan yang indah (vide, Pengajian
Ketujuhbelas).
Pada
kenyataannya teori monumental Herakleitos itu tidak berlaku bagi bangsa
Arab purba. Selama 2000 th sejak zaman Kana’an kuno, Edom hingga Hejaz ras Arab
tidak mengalami transferabilitas progresif dari nilai-nilai berhalaisme yang
primitif-instinktif dan rendah diferensiasinya kepada nilai-nilai baru yang
lebih tinggi diferensiasinya. Atau dengan kata lain tidak terjadi perubahan
mental development dikalangan ras Arab paling tidak selama 2000 th. Tidak ada
sublimasi yang mengantarkan Arabia kearah perubahan budaya yang lebih tinggi.
Pada masa
antara 3000-2500 th SM Allah pernah mengutus Ibrahim a.s atau Abraham dalam
versi Taurat dan puteranya Ismail a.s. atau Ismael dalam versi Taurat ke Hejaz
untuk meletakkan dasar-dasar agama Tauhid dari kawasan itu. Tapi dalam kurun
antara 1000 hingga 500 th sesudahnya ras Arabia telah meninggalkan ajaran
Ibrahim-Ismail. Kalau masih ada yang beriman, itu adalah kekecualian yang
sangat kecil. Dalam masa sesudahnya Allah mengutus Nabi Huud a.s. pada
kaum ‘Aad yang merupakan
mainstream bangsa Arab masa itu yang menguasai kawasan diantara Yaman dan Oman,
untuk mengeluarkan mereka dari kesesatan.
Tetapi kaum ‘Aad
menentang keras Nabi Huud a.s. Maka mereka dibinasakan Allah. Pada zaman
sesudah itu Allah mengutus Nabi Shaleh a.s. kepada kaum Tsamud yang
merupakan mainstream ras Arab masa itu dan penyembah berhala sebagaimana kaum
‘Aad, untuk mengeluarkan mereka dari kesesatan. Tetapi sebaimana kaum ‘Aad,
kaum Tsamud menentang keras Nabi Shaleh a.s. Merekapun
dibinasakan Allah. Setelah itu masuk agama Yahudi yang didukung kerajaan Yaman
dan agama Nasrani yang didukung Kerajaan Habsyi.
Tetapi hanya
sedikit yang mengikuti kedua agama ahlul-kitab yang selalu berselisih itu. Maka
Arab tetap tertinggal dalam kegelapan hingga masa kedatangan Rasulullah SAW
pada abad ke-6. Perubahan yang kuat dan sublimatif baru mulai pada masa
Rasulullah SAW dengan bersendikan firman-firman Allah (Al-Qur’anul-Kariem).
Inilah masa revolusi Hijrah, yaitu sublimasi budaya ditandai dengan
transferabilitas progresif dari nilai-nilai berhala yang primitif dan rendah
diferensiasinya kepada nilai-nilai Tauhid dan Akhlaqul-karimah yang
emansipatif, transenden dan tinggi diferensiasinya. Maka mulailah peradaban
Islam, yang dalam perkembangannya kemudian tumbuh menjadi salah satu kekuatan
peradaban dunia.
Residu
Namun
demikian panjangnya periode kegelapan berhalaisme menyisakan residu adanya
sekelompok orang yang tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai lama yang
terus mempengaruhi ketidaksadaran kolektif mereka, menciptakan tarik-menarik
dan ambivalency dalam kepribadian.
Sesungguhnya
ini merupakan tahap akhir yang terlemah dari bentuk perlawanan para penganut
agama berhala, yaitu dengan cara berpura-pura menerima Islam, namun
sesungguhnya mereka tetap berpegang pada berhalaisme yang memberikan kesenangan
das Es.
Dengan cara
itu mereka menganggap telah menipu Allah dan kalangan mu’minien, padahal
sesungguhnya mereka menipu diri sendiri. Tentang orang-orang munafiqien ini
Rasulullah SAW bersabda : “Ayatul munafiqi tsalatsun; idza khadatsa kadzaba,
wa idza wa’ada ahlafa, wa idza’ tumina khoona” : Tanda-tanda orang munafik itu
ada tiga : kalau berbicara ia bohong, kalau berjanji ia tidak menepati dan
kalau dipercaya ia khianat”. (HR. Bukhari).
Mereka tidak
merasakan kesesatan karena terlanjur terbenam dalam kesesatan nilai-nilai lama.
Mereka bahkan merasa selamat dengan sikap ambigue, padahal mereka tidak
selamat selamanya. Hampir semua agama berhala purba bersendikan pada das Es
dengan ciri-ciri impuls sexual, stomach dan agresive yang
sifatnya instinktif hewani. Itulah yang membuat mereka mampu bertahan
lama karena sifatnya yang “pleasure prinsciple” dimana hawa nafsu dibebaskan dan diperkuat
dalam tema-tema ritualitas ilah-ilah mereka.
Agama Islam
yang kemudian berkembang pesat telah menciptakan perubahan-perubahan mendasar
dalam struktur nilai-nilai sosial seluruh jazirah Arabia dan Kaum Muslimin
dimana nilai-nilai tauhid dan akhlaqul-karimah dijunjung tinggi,
dan sebaliknya segala perilaku akhlaqul-dzolimah pemuasan hawa nafsu
seperti berzina, berjudi, mabuk, mencuri, merampas, membunuh dan segala
perilaku jahiliyah yang dekaden serta mewarnai kehidupan sosial Arabia selama
ribuan tahun sebelum Islam diberantas dengan keras. Prinsip tauhid dan akhlaqul-karimah menjadi
sumber energi terjadinya sublimasi budaya dan peradaban Islam yang terus
menerangi dunia hingga masa sekarang. Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 18
Maret 2005,
Pengasuh,
KH
AGUS MIFTACH
Ketua Umum
Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar