Pengajian Keduapuluh Sembilan,
“Walladziena yu’minuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila
min qoblika; wabil-akhirotihum yuuqienuun” (QS II : 4).
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Walladziena yu’minuuna bimaa unzila
ilaika wa maa unzila min qoblika; wabil-akhirotihum yuqienunn” : “Dan mereka
yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu, dan
Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu; serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat” (Al-Baqoroh : 4).
Beriman menurut
konsep Al-Qur’an meliputi spectrum yang luas, menyangkut realitas masa kini,
disposisi dari masa silam dan masa depan kehidupan transcendental.Realitas masa
kini diukur dari masa kenabian Rasulullah SAW, sedangkan disposisi dari masa
silam diukur dari rentang kenabian sejak zaman Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan
Isa. Bahkan jika dirujuk dengan Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian
Keduapuluhdelapan), maka disposisi dari masa silam itu menyangkut warisan
kejiwaan seluruh jenis manusia. Majelis pengajian ini telah mendalami disposisi
psikologis tidak hanya dari jejak wahyu sejak zaman Adam hingga Muhammad, namun
juga mendalami arkhe (awal mula) peradaban homo sapiens (manusia) sejak zaman
Hun-tun, Yunani Miletos, Sigmund Freud hingga zaman NSA dan cybervision
sekarang ini. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat beriman dari ayat
didepan menyangkut pengertian pemahaman terhadap peradaban jenis manusia,
semesta alam dan kehidupan sesudah mati atau kehidupan akhirat.
Beriman sepanjang masa.
Beriman kepada Al-Qur’an artinya
membedah, mempelajarinya, menggali hikmahnya secara optimal dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan. Beriman kepada Kitab-kitab sebelum
Al-Qur’an artinya menggali hikmah yang terkandung dalam Injil, Taurat, Zabur
dan semua firman Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul-Nya, yang
sesungguhnya sudah terkandung dalam Al-Qur’an. Penyebutan Kitab terdahulu
adalah sebagai penekanan agar kita melihat keseluruhan nubuat secara utuh. Dan
jika kita merujuk pada Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian Keduapuluhdelapan),
sesungguhnya kita bukan hanya perlu menggali disposisi nubuatan, tetapi lebih
dari itu menggali sumber-sumber antropologi, psikologi dan historiografi
kebudayaan dan peradaban jenis manusia seluruhnya. Dari sanalah akar kehidupan
umat manusia berkembang hingga masa sekarang dan seterusnya. Seorang pemikir
abad 20 Symons (1991), mengungkapkan bahwa mekanisme psikologi yang
tampak pada kepribadian manusia dewasa ini tidak terjadi begitu saja pada
penggalan waktu masa kini, melainkan merupakan hasil dari sebuah proses evolusi
selama beratus, beribu bahkan berjuta tahun yang silam.
Pengertian ayat didepan tidak hanya
tekstual, tetapi menyangkut pula periodisasi waktu, yaitu segala sesuatu yang
menyangkut masa sekarang, masa silam dan hakekat masa depan yang bersifat transcendent.
Maka makna beriman pada ayat didepan, ialah memahami seluruh periodisasi
kehidupan ini dan kelanggengan kehidupan sesudah mati sebagai puncaknya.
Proses dinamik
Beriman bukan suatu yang statis,
melainkan perjuangan psikofisik yang dinamis. Mulai dari menaklukkan das Es
(hawa nafsu) dan menggantinya dengan obyek substitusi yang kreatif sebagai
derivat instink, hingga terjadinya proses sublimasi yang menjadi sumber
perubahan budaya manusia. Perubahan dari budaya mitologis dan kemusyrikan
kepada budaya akal pikiran dan ketauhidan adalah proses dinamik iman. Oleh
sebab itu makna beriman pada ayat didepan tidak dapat dipersempit pada
pengertian tekstual, tetapi lebih luas merupakan proses dinamik psikofisik
secara menyeluruh sepanjang masa.
Di daratan Tiongkok misalnya, tidak
pernah diturunkan Utusan Allah yang menyampaikan Firman-firman-Nya (Kitab
Allah) kepada Bangsa China yang besar itu. Sehingga secara tekstual Bangsa
China tidak memiliki Kitab Allah seperti Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’an.
Apakah karena itu Bangsa China dianggap kafir seluruhnya dan tidak berhak masuk
Sorga ? Sedangkan tidak diragukan di daratan besar Tiongkok terjadi proses
pembentukan kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Bahkan Rasulullah SAW
bersabda : “Uthlubul ‘ilma walao bisSyin” : “Tuntulah ilmu walau sampai ke
negeri China”. Di belahan dunia itu lahir para filsuf besar yang menerangi
kehidupan umat manusia, yang mengajar mereka (pada tataran agnostic) tentang
kebajikan, berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu dan harmonisme kehidupan.
Mereka adalah Lao-tzu, Khonghucu, Mengzi, Hsun-tzu, Mozi, Chuang-tzu,
Miao-san, dsb, semoga Allah meridhoi mereka. Dan kita ucapkan Selamat Hari
Raya IM-LEK ke 2556 (Sin-cia 551 SM - 2005 M) pada semua penganut Sam Kauw
dan tradisi Khonghucu diseluruh dunia, Gong Xi Fa Cai-Panjang
Umur dan Murah Rejeki. Semoga Allah atau Thian dalam bahasa mereka,
memasukkan mereka kedalam golongan Shobi’ien yang beriman tauhid seperti yang
tersirat dalam Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian Keduapuluh delapan).
Tahun Im-lek didasarkan pada
peredaran bulan seperti Tahun Hijriyah. Disamping Im-lek orang China
juga menggunakan penanggalan matahari yang disebut Yang-lek, mengikuti
tahun masehi. Tahun Im-lek dihitung mulai tahun lahirnya filsuf besar Khonghucu
pada tahun 551 SM yang oleh kalangan tradisionalis bahkan dianggap sebagai
Nabi-China. Lebih tua dari negeri China itu sendiri yang baru didirikan oleh
Kaisar Ch’in Shih Huang Ti pada tahun 221 SM setelah berhasil menyatukan
daratan Tiongkok dengan jalan militer yang tidak begitu disukai oleh kalangan
Khonghucuisme. Atas dasar nama Dinasti Ch’in inilah daratan Tiongkok disebut
oleh orang-orang Eropa dengan negeri Chin atau China. Kaisar Ch’in itu pula
yang membangun “Ban Li Tiang Shia” atau Tembok 10 ribu Li – The Great
Wall, Tembok Besar yang melintang di belahan Utara yang menjadi salah satu
keajaiban dunia.
Adapun nama Tiongkok menurut aksen
Hokkian, berakar pada kata “Chung-kuok” menurut bahasa Mandarin, berasal
dari ajaran Khonghucu tentang “Chung” yang bermakna kesetiaan dan kejujuran.
“Kuok” bermakna negeri. “Chung-kuok” atau Tiongkok bermakna negeri yang
didasarkan atas kesetiaan dan kejujuran. Bangsanya disebut “Chung-hoa”,
(Tionghoa-aksen Hokkian) bangsa yang bersendikan kesetiaan dan kejujuran. (Siti
Maslaha, Tesis 2005).
Dewasa ini kata “China” bermakna state system, sedangkan
“Chung-kuok” atau Tiongkok bermakna cultural. Mereka adalah bangsa yang
mengakui hakekat Tuhan berada di semua unsur semesta alam. Maka membangun
harmonisme diseluruh lingkungan mikrokosmos dan makrokosmos yang disebut Yin
dan Yang, artinya mewujudkan keselarasan dalam hubungan dengan semua
unsur kehidupan dan Thian (Allah). Sama dengan intisari khotbah agung Yesus
Al-Masih di Galilea 2000 tahun yang lalu tentang “Kasih kepada Allah dan Kasih
kepada sesama” sebagai prasyarat masuk Sorga Allah; Dan sama pula dengan ajaran
Islam tentang “Hablun minallah wa hablun-muinannaas” : “menyempurnakan hubungan
dengan Allah dan hubungan dengan sesama” sebagai kunci untuk mencapai keridhoan
Allah Azza wa Jalla.
Kita tidak ingin memperdebatkan secara subyektif
kelemahan-kelemahan dalam ajaran Konfusianisme, karena kita memandangnya
sebagai periodisasi zaman kuno (ancient-period), suatu tahapan dari
perjalana spiritual manusia. Dan berdasarkan Al-Kafirun 6 kita berpendapat
bahwa agama diperlakukan sebagaimana para pemeluknya memberlakukannya.
Bentuk akhir perjalanan spiritual manusia ialah
monotheisme zaman ini yang dipelopori
oleh Islam, Nasrani dan Yehuda, yang memiliki tiga ciri kesamaan yaitu kesamaan
Tuhan (United of God (Allah)), kesamaan Kitab (United of Books)
dan kesamaan Sejarah (United of History). Tidak ada alasan permusuhan
dalam ajaran ketiga agama itu, kecuali bagi mereka yang musyrik, fasik dan
bodoh.
Hijrah
Herakleitos 25 abad yang lampau mendalilkan
penemuannya tentang “hakekat perubahan”.
Menurutnya yang kekal adalah perubahan. Segala sesuatu berada dalam arus
perubahan tiada henti, seperti aliran air dan desir angin. Hakekat perubahan
yang didalilkan Herakleitos besifat konstansi an-organis, merupakan kondisi
obyektif yang sifatnya pasti. Makna perubahan seperti itu sesungguhnya bukan
suatu perubahan dalam arti transferabilitas progresif. 11 abad setelah
Herakleitos yang hidup di zaman Yunani Melitos, Rasulullah SAW mencerahkan dunia
dengan sebuah perubahan besar yang disebut “Hijrah”. Berbeda dengan
konsep perubahan Herakleitos yang bersifat konstansi an-organis, alami dan
obyektif. Maka “Hijrah” bersifat psikofisik, dinamik, organis, subyektif
dan sublimatif. Hijrah adalah transferabilitas progresif yang bersifat
sublimatif yang menciptakan perubahan budaya dan peradaban umat manusia. Selama
ribuan tahun Arab, khususnya lembah Bakkah atau Mekkah merupakan kawasan yang
tidak tersentuh peradaban. Mereka terisolasi dari peradaban dan terkurung dalam
budaya primitif yang bersifat arsetip (vide, Pengajian Kedua). Lebih banyak
dikuasai rejim instinktif (das Es) dengan sikap mental dan perilaku impulsive
yang hewani yang oleh Rasulullah disebut kebudayaan jahilliyah (bodoh
dan biadab). Mereka menganut agama purba gurun pasir yang menyembah aneka ragam
berhala yang bebas mereka ciptakan sendiri menurut selera dan kepentingan
masing-masing didasarkan pada mitos takhayul masing-masing. Bahkan banyak tuhan
berhala yang dibuat dari adonan, agar setelah selesai disembah dapat dimakan
be-ramai-ramai. Diantara yang tertinggi adalah berhala Ba’al, Latta dan
Uzza. Nah ditengah-tengah ancient society yang demikian itulah
Al-Qur’an diturunkan dan Rasulullah SAW diutus. Revolusi besar Hijrah telah
menciptakan transferabilitas progresif
dari budaya jahiliyah yang primitif dan rendah diferensiasinya kepada
budaya monotheis yang transenden dan tinggi diferensiasinya. Hijrah merupakan
bentuk sublimasi psikologis yang mengubah konstitusi jiwa dan psyche umat manusia
dari dominasi struktur nilai mitologis dan archeytipus kepada dominasi
struktur nilai Tauhid dan transcendent-function, yang telah
membangkitkan gestalt tertinggi dan mendorong kreativitas manusia pada
puncak-puncaknya yang tertinggi. Hijrah bukan sekedar meninggalkan Mekkah
pindah ke Medinah, tetapi lebih dari itu merupakan emansipasi peradaban Tauhid.
Maka hakekat Hijrah merupakan transferabilitas “minadzzulumati ilan-nuur”,
perubahan dari kegelapan kepada cayaha yang terbenderang, dari ketidakberdayaan
das Es kepada emansipasi das Ueber Ich dan berpuncak pada das Ich yang
tertinggi. Dari menyembah Ba’al dan berhala-berhala adonan yang nista dan mati serta menggambarkan zaman
kebodohan kepada menyembah Allah Yang Maha Esa yang meliputi segalanya, menggambarkan
zaman kebangkitan akal dan iman manusia untuk mencapai emansipasi tertinggi
dalam kehidupan dan keabadian akhirat yang transcendent. Saya ucapkan “Selamat
Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam 1426 H”.
Peringatan 1 Muharam tidak berkaitan
dengan peribadatan. Penanggalan Hijriyah ditetapkan oleh Khalifah Umar bin
Khattab r.a. berdasarkan peredaran bulan (qomariyah) dimulai dari
persitiwa Hijrah. Akibatnya peristiwa2 sebelum Hijrah tidak tercover secara
akurat dalam penanggalan Hijriyah. Seandinya saya hidup dizaman itu, akan saya
usulkan kalender Islam mulai dari saat turunnya Wahyu yang pertama, dan
dinamakan kelender Nubuat. Dengan demikian seluruh masa dan peristiwa kenabian
Rasulullah SAW tercover dengan lebih akurat. Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 11 Februari 2005,
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar