Pengajian Keduapuluh delapan,
Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi wa
yuqimuunashsholata,
wa mimmaa rozaqnahum yunfiequun (QS II
: 3),
(Bagian ke VI),
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Mereka yang beriman kepada yang
Ghoib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka” (Al-Baqoroh : 3).
Ini merupakan bagian
keenam dari pembahasan eklektik dan
penggalian hikmah ayat tersebut. Cukup panjang karena memang banyak
rahasia hikmah didalamnya. Dalam empat bagian terdahulu peristiwa tsunami Aceh
diangkat sebagai latar belakang, mengingat dahsyatnya peristiwa tektonik itu
dan akibatnya yang sangat luas dalam kehidupan umat manusia. Pada bagian ini
subdukasi tektonik Aceh tidak lagi dibahas karena dianggap cukup.
Hakekat Al-Ghoib.
Seperti disinggung
dalam Pengajian Keduapuluh tujuh, Parmenides
(abad
ke-5 SM) mengemukakan, bahwa hakekat “yang ada” tidak dapat didasarkan pada
pengamatan inderawi yang bersifat semu, melainkah harus didasarkan pada akal
pikiran. Sementara Al-Qur’an menjelaskan : “Bahwa dalam penciptaan langit dan
bumi dan bererdarnya malam kepada siang, terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah
Al-Ghoib) bagi orang-orang yang berakal” (QS III : 30).
Hal ini menegaskan
bahwa sifat Al-Ghoib sebagai substansi pertama ayat didepan, terutama tidak
didasarkan pada dimensi material yang
pada dasarnya merupakan susunan molekul dan sel. Maka arti Al-Ghoib adalah
immaterial diluar susunan molekul dan sel. Al-Ghoib eksis dalam akal pikiran
yang terdiri abstraksi struktur nilai dan latar belakang organisme, dengan
kemampuan membentuk Gestalt, yaitu imajinasi yang menuntun sikap mental dan
perilaku manusia. Maka berdasarkan dimensi logika (S. Freud) : “Al-Ghoib ada
tatkala kita berpikir Dia itu ada, dan sebaliknya”. Oleh karena itu hakekat
Al-Ghoib tidak didasarkan pada pengamatan inderawi, tetapi didasarkan pada
kinerja akal-pikiran dengan menjejaki tanda-tanda makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam kaitan dengan
hal ini perlu diperhatikan proses kognitif. Menurut Jan Piaget (1896), proses
kognitif terdiri empat langkah, yaitu
skema, asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Bentuk plural skema adalah skemata
merupakan struktur mental dan kemampuan intelektual individu untuk mengetahui
dan mengorganisasikan lingkungannya. Dilihat dari fungsinya skemata merupakan
pasangan mental biologi.
Proses pengetahuan
dimulai dari masuknya stimulus kedalam skema yang disebut asimilasi. Isi-isi
skema secara plural disebut skemata yang terus berubah dan bertambah oleh
proses asimilasi. Skemata anak-anak terus tumbuh dan berkembang hingga usia
dewasa dan seterusnya. Nah, apakah stimulus Al-Ghoib pernah kita masukkan
kedalam skema anak-anak kita ? Jika tidak, maka tidak terdapat struktur nilai
Al-Ghoib dalam skemata anak-anak kita. Inilah makna penting Sabda Rasulullah :
“Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilallahdi” : “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian
hingga liang lahad”. Pandangan serupa dikemukakan sebelumnya oleh filsuf besar
Khonghucu (abad ke-5 SM) yang menempatkan pendidikan sebagai faktor dominan
dalam proses mental-development.
Setelah asimilasi,
tahap berikutnya adalah akomodasi, yaitu tahap pengenalan stimulus baru. Anak
akan menkonfrontir stimulus baru dengan indeks file skemata dari memorinya.
Jika terdapat struktur nilai yang sesuai maka stimulus baru itu akan dikenali
dan dimengerti eksistensinya dengan mudah. Tetapi jika tidak terdapat struktur
nilai dalam skemata yang sesuai, maka akan terjadi proses trial and error. Pada
tahap ini anak berusaha mengkonstruksikan stimulus baru. Belum tercapai akurasi dalam mengkopi realitas yang sebenarnya.
Setelah itu proses kognitif memasuki tahap ekuilibrasi dimana tercapai
keseimbangan struktur nilai antara stimulus dan skemata, melahirkan skema baru
yang memperkaya file indeks skemata. Tercapai pemahaman realitas yang benar.
Apakah proses
kognitif anak-anak kita sejak dini kita isi dengan struktur nilai dari realitas
Al-Ghoib ? Jika ya, maka seluruh proses skema, asimilasi, akomodasi dan
ekuilibrasi akan diwarnai dengan nilai-nilai Al-Ghoib, sehingga struktur kognitif
anak-anak kita berisi pemahaman Al-Ghoib sebagai hakekat realitas yang benar.
Jika tidak, maka jangan harap budaya Tauhid tumbuh dalam masyarakat kita.
Hingga hari ini masyarakat muslimin justru masih bertumpu pada budaya
kemusyrikan paganisme dengan ciri-ciri takhayul, perdukunan, animisme dan
panteisme yang menjadi disposisi psikologis dari zaman purbakala ribuan tahun
silam.
Hakekat Sholat.
Sholat yang merupakan substansi kedua ayat didepan,
adalah bentuk peribadatan terpenting kepada Allah Al-Ghoib. Tentang hal ini
Rasulullah SAW bersabda :
“Inna bainarrojuli wa bainasysyirki walkufri, tarokashsholah” : “Sesungguhnya
batas yang memisahkan antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran,
hanyalah sholat, maka barangsiapa yang meninggalkan sholat berarti telah
kafir”.
(Shahih Muslim).
Hadist Rasulullah
SAW tsb menunjukkan sifat kemutlakan sholat, sebagai implementasi peribadatan
kepada Al-Ghoib. Landasannya adalah Al-Ghoib. Apakah Gestalt kita ketika Sholat
? ialah menyembah dan berkomunikasi dengan Al-Ghoib. Bagaimanakah hakekat
Al-Ghoib didalam Gestalt kita ?, ialah sebagaimana struktur nilai Al-Ghoib itu
existing didalam skemata kita. Kwalitas sholat ditentukan oleh Gestalt kita
tentang Al-Ghoib. Jika existing skemata tentang Al-Ghoib benar sesuai
hakekat-Tauhid (vide, Pengajian Keduapuluh tujuh), maka sholat kita berada pada
posisi yang benar dan berfungsi optimal, menghasilkan pencerahan atau puncak
ekuilibrasi sebagai capaian kognitif yang tertinggi, dan jika sebaliknya tidak
akan tercapai ekuilibrasi dan gagal mencapai
puncak pshsycological. Jiwa tetap berada dalam kegelapan, bahkan mungkin
kegelapan arsetip yang menyimpang.(vide, Pengajian Kedua).
Demikian mutlaknya
prinsip ketauhidan, sehingga Allah menetapkannya tidak hanya berlaku bagi
Muslimin, tetapi berlaku pula bagi semua penganut agama samawi (Yahudi dan
Nasrani) dan agama bumi (Shobi’ien). Allah berfirman :
“Innalladziena amanuu, walladziena
haaduu wannashoro washhobi’iena, man amana billahi walyaomil-akhiri, wa ‘amila
shoolihan, falahum ajruhum ‘inda robbihim wa la khoufun ‘alaihim wa laahum
yakhzanuun” : “Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shobiin (penganut agama bumi), siapa saja yang
benar-benar beriman (tauhid) kepada Allah, hari akhirat dan beramal sholeh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati “, (QS II : 62).
Hakekat Zakat dan
Infaq.
Substansi ketiga
dari ayat didepan adalah zakat dan infaq dalam dimensi hablunminannaas. Bagi
setiap pertumbuhan terdapat kewajiban distribusi ekonomi yang bersifat
horizontal. Jika intensif ini akan dapat menciptakan growth-horizontal yang menjadi
landasan keadilan dan kemakmuran. Dimensi ekonomi ini jika dilaksanakan dengan
cerdas akan dapat melahirkan proses gross-capital dan gross-production yang tinggi yang
membentuk landasan pertumbuhan yang merata disemua sektor perekonomian. Suatu
pertumbuhan ekonomi yang bersendikan Tauhid dimana terdapat keseimbangan semua
variabilitas produktif. Keseimbangan antara kekuatan individu dan kolektif.
Bahkan antara profit dan moral. Maka sifatnya tidak eksploitatif melainkan
kreatif. Proses itu akan menciptakan gross-productivity dan growth-horizonal yang pada akhirnya
akan dapat menciptakan keseimbangan moneter, fiskal dan sektor riil.
Keseimbangan tiga komponen terpenting dalam struktur ekonomi modern yang belum
pernah dicapai sepanjang sejarah ekonomi Republik Indonesia hingga saat ini.
Secara psikologis
Zakat dan Infaq sekaligus membentuk faktor ekstrinsik yang seimbang terhadap
faktor intrinsik yang terbentuk dari proses kognitif Al-Ghoibi dan
implementasinya dalam Sholat. Keseimbangan hablunminallah dan hablunminannaas ini akan membentuk biosphere, yaitu kesatuan struktur
nilai yang utuh antara skemata dengan semua stimulus lingkungannya, membentuk
keseimbangan jiwa dan kognitif yang sempurna. Dari posisi itulah emansipasi
seorang Muslim naik untuk menggapai capaian Ruhaniat tertinggi yaitu keridhoan
Allah Al-Ghoib. Sekian.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 4 Februari
2005,
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar