7.7.17

Pengajian Keduapuluh delapan,-TWU






Pengajian Keduapuluh delapan,
Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi wa yuqimuunashsholata,
wa mimmaa rozaqnahum yunfiequun (QS II : 3),
(Bagian ke VI),

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Mereka yang beriman kepada yang Ghoib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Al-Baqoroh : 3).
Ini merupakan bagian keenam dari pembahasan eklektik dan  penggalian hikmah ayat tersebut. Cukup panjang karena memang banyak rahasia hikmah didalamnya. Dalam empat bagian terdahulu peristiwa tsunami Aceh diangkat sebagai latar belakang, mengingat dahsyatnya peristiwa tektonik itu dan akibatnya yang sangat luas dalam kehidupan umat manusia. Pada bagian ini subdukasi tektonik Aceh tidak lagi dibahas karena dianggap cukup.

Hakekat Al-Ghoib.

Seperti disinggung dalam Pengajian Keduapuluh tujuh, Parmenides (abad ke-5 SM) mengemukakan, bahwa hakekat “yang ada” tidak dapat didasarkan pada pengamatan inderawi yang bersifat semu, melainkah harus didasarkan pada akal pikiran. Sementara Al-Qur’an menjelaskan : “Bahwa dalam penciptaan langit dan bumi dan bererdarnya malam kepada siang, terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah Al-Ghoib) bagi orang-orang yang berakal” (QS III : 30).
Hal ini menegaskan bahwa sifat Al-Ghoib sebagai substansi pertama ayat didepan, terutama tidak didasarkan pada  dimensi material yang pada dasarnya merupakan susunan molekul dan sel. Maka arti Al-Ghoib adalah immaterial diluar susunan molekul dan sel. Al-Ghoib eksis dalam akal pikiran yang terdiri abstraksi struktur nilai dan latar belakang organisme, dengan kemampuan membentuk Gestalt, yaitu imajinasi yang menuntun sikap mental dan perilaku manusia. Maka berdasarkan dimensi logika (S. Freud) : “Al-Ghoib ada tatkala kita berpikir Dia itu ada, dan sebaliknya”. Oleh karena itu hakekat Al-Ghoib tidak didasarkan pada pengamatan inderawi, tetapi didasarkan pada kinerja akal-pikiran dengan menjejaki tanda-tanda makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam kaitan dengan hal ini perlu diperhatikan proses kognitif. Menurut Jan Piaget (1896), proses kognitif  terdiri empat langkah, yaitu skema, asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Bentuk plural skema adalah skemata merupakan struktur mental dan kemampuan intelektual individu untuk mengetahui dan mengorganisasikan lingkungannya. Dilihat dari fungsinya skemata merupakan pasangan mental biologi.
Proses pengetahuan dimulai dari masuknya stimulus kedalam skema yang disebut asimilasi. Isi-isi skema secara plural disebut skemata yang terus berubah dan bertambah oleh proses asimilasi. Skemata anak-anak terus tumbuh dan berkembang hingga usia dewasa dan seterusnya. Nah, apakah stimulus Al-Ghoib pernah kita masukkan kedalam skema anak-anak kita ? Jika tidak, maka tidak terdapat struktur nilai Al-Ghoib dalam skemata anak-anak kita. Inilah makna penting Sabda Rasulullah : “Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilallahdi” : “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahad”. Pandangan serupa dikemukakan sebelumnya oleh filsuf besar Khonghucu (abad ke-5 SM) yang menempatkan pendidikan sebagai faktor dominan dalam proses mental-development.

Setelah asimilasi, tahap berikutnya adalah akomodasi, yaitu tahap pengenalan stimulus baru. Anak akan menkonfrontir stimulus baru dengan indeks file skemata dari memorinya. Jika terdapat struktur nilai yang sesuai maka stimulus baru itu akan dikenali dan dimengerti eksistensinya dengan mudah. Tetapi jika tidak terdapat struktur nilai dalam skemata yang sesuai, maka akan terjadi proses trial and error. Pada tahap ini anak berusaha mengkonstruksikan stimulus baru. Belum tercapai akurasi  dalam mengkopi realitas yang sebenarnya. Setelah itu proses kognitif memasuki tahap ekuilibrasi dimana tercapai keseimbangan struktur nilai antara stimulus dan skemata, melahirkan skema baru yang memperkaya file indeks skemata. Tercapai pemahaman realitas yang benar.

Apakah proses kognitif anak-anak kita sejak dini kita isi dengan struktur nilai dari realitas Al-Ghoib ? Jika ya, maka seluruh proses skema, asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi akan diwarnai dengan nilai-nilai Al-Ghoib, sehingga struktur kognitif anak-anak kita berisi pemahaman Al-Ghoib sebagai hakekat realitas yang benar. Jika tidak, maka jangan harap budaya Tauhid tumbuh dalam masyarakat kita. Hingga hari ini masyarakat muslimin justru masih bertumpu pada budaya kemusyrikan paganisme dengan ciri-ciri takhayul, perdukunan, animisme dan panteisme yang menjadi disposisi psikologis dari zaman purbakala ribuan tahun silam.

Hakekat Sholat.

Sholat  yang merupakan substansi kedua ayat didepan, adalah bentuk peribadatan terpenting kepada Allah Al-Ghoib. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda : “Inna bainarrojuli wa bainasysyirki walkufri, tarokashsholah” : “Sesungguhnya batas yang memisahkan antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran, hanyalah sholat, maka barangsiapa yang meninggalkan sholat berarti telah kafir”. (Shahih Muslim).

Hadist Rasulullah SAW tsb menunjukkan sifat kemutlakan sholat, sebagai implementasi peribadatan kepada Al-Ghoib. Landasannya adalah Al-Ghoib. Apakah Gestalt kita ketika Sholat ? ialah menyembah dan berkomunikasi dengan Al-Ghoib. Bagaimanakah hakekat Al-Ghoib didalam Gestalt kita ?, ialah sebagaimana struktur nilai Al-Ghoib itu existing didalam skemata kita. Kwalitas sholat ditentukan oleh Gestalt kita tentang Al-Ghoib. Jika existing skemata tentang Al-Ghoib benar sesuai hakekat-Tauhid (vide, Pengajian Keduapuluh tujuh), maka sholat kita berada pada posisi yang benar dan berfungsi optimal, menghasilkan pencerahan atau puncak ekuilibrasi sebagai capaian kognitif yang tertinggi, dan jika sebaliknya tidak akan tercapai ekuilibrasi dan gagal mencapai  puncak pshsycological. Jiwa tetap berada dalam kegelapan, bahkan mungkin kegelapan arsetip yang menyimpang.(vide, Pengajian Kedua).
Demikian mutlaknya prinsip ketauhidan, sehingga Allah menetapkannya tidak hanya berlaku bagi Muslimin, tetapi berlaku pula bagi semua penganut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) dan agama bumi (Shobi’ien). Allah berfirman :
“Innalladziena amanuu, walladziena haaduu wannashoro washhobi’iena, man amana billahi walyaomil-akhiri, wa ‘amila shoolihan, falahum ajruhum ‘inda robbihim wa la khoufun ‘alaihim wa laahum yakhzanuun” : “Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shobiin (penganut agama bumi), siapa saja yang benar-benar beriman (tauhid) kepada Allah, hari akhirat dan beramal sholeh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati “, (QS II : 62).

Hakekat Zakat dan Infaq.

Substansi ketiga dari ayat didepan adalah zakat dan infaq dalam dimensi hablunminannaas. Bagi setiap pertumbuhan terdapat kewajiban distribusi ekonomi yang bersifat horizontal. Jika intensif ini akan dapat menciptakan growth-horizontal yang menjadi landasan keadilan dan kemakmuran. Dimensi ekonomi ini jika dilaksanakan dengan cerdas akan dapat melahirkan proses gross-capital dan gross-production yang tinggi yang membentuk landasan pertumbuhan yang merata disemua sektor perekonomian. Suatu pertumbuhan ekonomi yang bersendikan Tauhid dimana terdapat keseimbangan semua variabilitas produktif. Keseimbangan antara kekuatan individu dan kolektif. Bahkan antara profit dan moral. Maka sifatnya tidak eksploitatif melainkan kreatif.  Proses itu akan menciptakan gross-productivity dan growth-horizonal yang pada akhirnya akan dapat menciptakan keseimbangan moneter, fiskal dan sektor riil. Keseimbangan tiga komponen terpenting dalam struktur ekonomi modern yang belum pernah dicapai sepanjang sejarah ekonomi Republik Indonesia hingga saat ini.
Secara psikologis Zakat dan Infaq sekaligus membentuk faktor ekstrinsik yang seimbang terhadap faktor intrinsik yang terbentuk dari proses kognitif Al-Ghoibi dan implementasinya dalam Sholat. Keseimbangan hablunminallah dan hablunminannaas ini akan membentuk biosphere, yaitu kesatuan struktur nilai yang utuh antara skemata dengan semua stimulus lingkungannya, membentuk keseimbangan jiwa dan kognitif yang sempurna. Dari posisi itulah emansipasi seorang Muslim naik untuk menggapai capaian Ruhaniat tertinggi yaitu keridhoan Allah Al-Ghoib. Sekian.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 4 Februari 2005,

Pengasuh,




HAJI AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar