7.7.17

Pengajian Keduapuluh tujuh, Jakarta, 28 Januari 2005,-TWU




Pengajian Keduapuluh tujuh, Jakarta, 28 Januari 2005,
Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi, wayuqimuunassholata
Wa  mimmaa rozaqnahum yunfiequun (QS II : 3),
(Bagian ke V),

Assalamu’alaikum War. Wab.
“Mereka yang beriman kepada yang Ghoib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (QS II : 3). Kita masih berada dalam pembahasan eklektik ayat 3 Al-Baqoroh tersebut, karena memang memuat substansi yang menjadi inti sendi dan religi tauhid. Peristiwa tsunami di Aceh telah kita angkat sebagai latar belakang dalam tiga pengajian terdahulu, dan masih kita singgung dalam materi bahasan saat ini.

 

Hakekat keberadaan.

Menurut filsuf Yunani Miletos, Parmenides (540-475 SM), hakekat keberadaan adalah “tunggal”, tidak terbagi, tidak berawal dan tidak berakhir, tidak muncul dari ketiadaan dan tidak akan lenyap. Tidak ada masa lampau dan masa depan, melainkan hanya “saat sekarang” semata. Eksistensi sumber dan hakekat keberadaan mutlak bersifat “Esa”, tidak ada kejamakan dan tidak ada perubahan. Karena perubahan melintasi fase ketiadaan dan munculnya keadaan baru. Hal yang tidak mungkin terjadi bagi hakekat keberadaan yang bersifat konstan abadi.
Parmenides berpendapat bahwa hakekat keberadaan adalah satu kesatuan yang utuh dan bulat, tanpa adanya pembedaan antara aspek rohani dan aspek jasmani. Maka ia tidak memerlukan tambahan, melainkan memenuhi ruang. Tidak ada ruang kosong, karena tidak ada hakekat lain, kecuali keberadaan yang “Esa”.
Pemikiran Parmenides dari zaman abad ke-5 SM adalah genial. Merupakan perenungan yang dalam sebagai upaya manusia untuk memahami hakekat kehidupan jasmaniah dan rohaniah seutuhnya. 11 abad setelah masa Parmenides, Rasululullah SAW mengajarkan kepada dunia tentang Al-Ghoib, Zat Yang Esa, Sumber Energi Yang Tunggal yang meliputi alam syahadah dan alam malakut, yang meliputi jasmaniah dan rohaniah, yang meliputi agnostisitas dan transcendental, Yang Tidak Berawal dan Tidak Berakhir, Yang Tidak Dilahirkan dan Tidak Melahirkan, Yang Meliputi semua makhluk, semua sel, semmua molekul dan semua atom, bahkan inti atom, Yang tidak terikat ruang dan waktu dan tidak dibatasi oleh logika, Yang meliputi segalanya dalam kehidupan dan sesudah kematian, “Inallaha ala kulli Syai’in Qodier”. Hakekat Al-Ghoib adalah Tunggal, tidak terbagi, tidak jamak, tidak ada sekutu, “Qul Huwallaahu Ahad” : “Katakanlah, Dia-lah Allah Yang Maha Esa” (Al-Ikhlas : 1).
Parmenides berpendapat bahwa kenyataan yang benar  bukan didasarkan pada pengamatan inderawi (agnostic) melainkan hanya dapat diketahui dengan akal. Bahkan Parmenides menegaskan bahwa segala pengetahuan dan gagasan-gagasan tentang kejamakan dan perubahan adalah semata penipuan inderawi dan merupakan keberadaan yang semu. Kaberadaan yang hakiki yang maha tunggal hanya dapat diketahuii dengan akal bukan dengan indera. Letupan pemikiran di abad ke-5 SM ini luar biasa, dan dapat dikatakan merupakan peletakan dasar monotheisme diluar wahyu kitabiyah. Sekitar 10 abad sebelumnya sesungguhnya Musa a.s. telah mendakwahkan ke-Tauhidan (Ke-Esaan Allah) kepada Bani Israil di Mesir  yang berlanjut dengan eksodus Bani Israil dari Mesir ke Yerussalem (vide, Pengajian Kesembilanbelas). 5 abad setelah Parmenides, Yesus dari Nazareth atau yang kita kenal dengan Isa Al-Masih a.s. menyampaikan khotbah agung di bukit Galilea yang menyerukan peribadatan hanyalah kepada Allah Yang Esa (monotheisme) yang memiliki Kerajaan Sorga (vide, Pengajian Kedelapan).

Jelas bahwa Al-Ghoib tidak mungkin tertangkap dengan pengamatan inderawi (agnostic), tetapi dengan proses kognitif akal pikiran akan mampu memahami keberadaan Al-Ghoib sebagai kenyataan terbesar dalam hakekat keberadaan segala sesuatu. Akal dan ilmu sebagaimana dimaksud Parmenides adalah satu kesatuan. Tentang hal ini 11 abad  setelah dalil Parmenides Allah berfirman :
“Inna fie Kholqissamwaati wal-ardhi wakhtilaafillaeli wannahaari la-ayati lie ulil-albaab” : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi orang-orang yang berakal”, (QS III : 190).
Selanjutnya  Sabda Rasulullah SAW : “Waman salaka thorieqon yaltamisu fiehi ‘ilman sahhalallaahu thorieqon ilaljannati” : “Siapa yang berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan ke sorga” (Shahih Muslim dari Abu Huroiroh r.a.).
Konsep akal pikiran yang dipromosikan Islam jauh lebih sempurna dibanding konsep Parmenides, dengan kebulatan aspek-aspek agnostic dan transcendent. Ilmu pengetahuan menurut konsep Islam membawa akal pikiran bagi pemahaman kehidupan semesta dan kehidupan sesudah mati yang bersifat transenden yang tak terjangkau secara utuh oleh kejeniusan Parmenides dan para filsuf besar lainnya, seperti, Lao Tzu, Khonghucu, Sidharta Gautama, Anaximandros dan Plato yang hidup sezaman dengan Parmenides (abad ke-6 dan 5 SM).
Maka jelaslah bahwa tanda-tanda bagi orang yang berakal, dia beriman, dan tanda-tanda orang beriman dia berilmu, sehingga ia dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat keberadaan Al-Ghoib, dan beribadah kepada-Nya dengan haqqul-yaqien, karena dengan demikian ia menuju hakekat keberadaan dirinya sendiri pada kesatuan Ruh yang utuh dengan Rabb-nya dalam keabadian akhirat.

Aceh dan Tsunami.
Sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tgl. 13 Rabi’ul Awwal 11 H (634 M), maka sesungguhnya telah berakhir satu periode khusus dalam kehidupan ummat manusia dan semesta alam dimana Allah Ta’alaa hadir secara khusus dan berbicara langsung kepada ummat manusia melalui Utusan Terakhir dan Firman-firmanNya yang mutakhir untuk memberikan pelajaran dan bimbingan terakhir bagi ummat manusia dan semesta alam. Nabi Muhammad SAW adalah nabi sempurna yang pungkasan, artinya tidak ada lagi nabi sesudahnya, dan secara in-concreto tidak ada lagi Firmah Allah yang disampaikan langsung kepada manusia sesudahnya. Pada masa itu segala sesuatunya telah dianggap cukup, seperti Firman Allah yang terakhir :
“Al-Yauma  akmaltu lakum dienakum, wa atmamtu ‘alaikum ni’matie, wa rodhietu lakumul-islaama dienan” : “Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku cukupkan bagimu ni’matKu, dan Aku Ridho Islam menjadi agamamu”, (Al-Ma’idah 3).  
Semenjak saat itu manusia telah diberikan independensi, kebebasan penuh untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya berdasarkan kemampuan akal pikirannya. Petunjuk agama dan jalan kebenaran telah tersedia dengan nyata, sementara jalan kesesatan juga tersedia dengan nyata. Dalam diri manusia terdapat organ-organ jiwa yang inheren dalam organisme dan konsitusi jiwa yang berisi nilai-nilai psikologis yang dapat menuntun sikap mental dan perilaku manusia. Siapa yang memilih Jalan Allah dan Rasul-Nya dia tidak akan sesat selamanya dan tentu akan sampai pada hakekat keridhoan Allah dalam keabadian bersama-Nya. Pada posisi ini energi psikis das Ueber Ich memenuhi  das Ich, dan energi instinktif  das Es membentuk obyek substitusi dan mengalami transferabilitas progresif yang membentuk sublimasi kebudayaan Tauhid yang menjadi sumber nilai kehidupan. Sebaliknya barangsiapa memilih jalan kesesatan, maka ia sampai pada hakekat kesia-siaan dan kebinasaan pada akhirnya. Pada posisi ini energi instinktif das Es memenuhi das Ich dengan berbagai perilaku impulsive yang bertujuan mencari kenikmatan biologis (hawa nafsu) semata dengan mengabaikan norma-norma. Atau bahkan berusaha mengubah atau menyimpangkan norma-norma  kearah pemenuhan hawa nafsu sebagai bentuk korupsi kejiwaan atau kemunafikan dan kemusyrikan (vide, Pengajian Pertama).
Berdasarkan hal tersebut maka tsunami Aceh tidak dapat disejajarkan dengan peristiwa-peristiwa nubuat dizaman-zaman kenabian seperti peristiwa  lenyapnya Sodom dan Amurah dizaman Nabi Luth a.s., atau tenggelamnya balatentara Fir’aun di Laut Merah di zaman Nabi Musa a.s., bahkan tenggelamnya sebagian besar permukaan bumi di zaman Nabi Nuh a.s, (vide, Pengajian Keduapuluh empat, Keduapuluh lima dan Keduapuluhenam).
Pada masa setelah wafatnya Rasulullah SAW dan Firman penutup tersebut, maka Sunnatullah berupa hukum-hukum alam fisik dan metafisik berjalan sepenuhnya secara ekologis, demikian pula psikofisik manusia diberikan kebebasan untuk berkembang dan memilih sumber nilai dalam membentuk struktur kepribadian masing-masing, baik secara individual maupun kolektif.
Dengan demikian maka tsunami Aceh (26/12/2004) merupakan kasus tektonik yang terjadi diluar nubuat dan tidak berkait dengan kondisi religiusitas masyarakat Aceh, melainkan semata-mata destruksi subdukasi. Maka ‘ulama’ yang kebetulan didekat pantai akan mati dan pelacur yang kebetulan diatas bukit akan selamat. Persoalan yang kita tarik dalam tiga pengajian terdahulu ialah, apakah tsunami Aceh bersumber dari subdukasi tektonik alamiah atau subdukasi tektonik buatan, mengingat sejumlah indikator negatif seperti :
  1. tidak adanya prolog ekologis berupa eksodus satwa dari habibat bakal bencana,
  2. tidak adanya hujan deras dan angin taifun yang menunjukkan gejala pembuka resonansi ekologis,
  3. langit dan cuaca tropis yang justru cerah saat tsunami terjadi,
  4. Pola letupan subdukasi tektonik yang melompat-melompat pada garis silang yang saling berjauhan, dan kekecualian Pulau Weh yang unik.
  5. tidak adanya gunung-gemunung atau gugusan kepulauan yang runtuh kedasar laut seperti lenyapnya Krakatau, atau munculnya gunung-gemunung/gugusan kepulauan baru dari dasar laut seperti Kepulauan Nusatenggara sebagai epilog resonansi ekologis.
  6. durasi tektonik yang sangat panjang, yaitu 10 menit yang belum pernah terjadi didunia yang biasanya tertinggi hanya 3-5 menit.
  7. Travel-warning AS dan Australia pada bulan Nopember 2004 yang menghimbau warganya untuk tidak datang ke Indonesia, dengan alasan akan terjadi ledakan bom besar. Korban AS dan Australia dalam gempa tsunami ini adalah yang terkecil,
  8. respons  Armada ke-7 dan militer Sekutu yang sangat cepat, kita berterima kasih dan heran,
  9. bahwa subdukasi tektonik secara tekhnis dapat dibuat dengan penempatan mini nuklir pada titik patahan dilengkapi pemancar elektro magnit untuk menuntun fokus tembakan laser presisi tinggi dari satelit. Titik subdukasi tektonik tsunami Aceh berada pada kedalaman 10 km dibawah permukaan laut, tergolong dangkal untuk subdukasi alamiah yang biasanya terjadi pada kedalaman 20 hingga 30 km dibawah permukaan laut,
Kita tetap berharap adanya investigasi independen, seraya terus memulihkan Aceh dengan mainstream rehabilitasi psikologis dengan berpijak pada struktur nilai budaya Aceh. Saya menerima laporan adanya kemunafikan dan kemaksiyatan yang berkembang di Aceh sebelum tsunami. Namun saya percaya mainstream psikologis orang Aceh adalah struktur nilai budaya Tauhid yang beriman kepada Yang Ghoib, Hakekat Keberadaan Yang Tunggal, yang memenuhi seluruh energi psikis das Ueber Ich dan mendominasi das Ich orang Aceh, sehingga mampu keluar dari situasi trauma realistis kepada sublimasi Aceh Baru yang lebih kuat dan lebih kreatif.
 Insya Allah. Sekian.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH.
Ketua Umum Front Persatuan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar