Pengajian Keduapuluh tujuh, Jakarta, 28 Januari 2005,
Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi, wayuqimuunassholata
Wa mimmaa
rozaqnahum yunfiequun (QS II : 3),
(Bagian ke V),
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Mereka yang beriman kepada yang
Ghoib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka” (QS II : 3). Kita masih berada dalam pembahasan eklektik ayat 3
Al-Baqoroh tersebut, karena memang memuat substansi yang menjadi inti sendi dan
religi tauhid. Peristiwa tsunami di Aceh telah kita angkat sebagai latar
belakang dalam tiga pengajian terdahulu, dan masih kita singgung dalam materi
bahasan saat ini.
Hakekat
keberadaan.
Menurut filsuf Yunani Miletos, Parmenides
(540-475 SM), hakekat keberadaan adalah “tunggal”, tidak terbagi, tidak berawal
dan tidak berakhir, tidak muncul dari ketiadaan dan tidak akan lenyap. Tidak
ada masa lampau dan masa depan, melainkan hanya “saat sekarang” semata.
Eksistensi sumber dan hakekat keberadaan mutlak bersifat “Esa”, tidak ada
kejamakan dan tidak ada perubahan. Karena perubahan melintasi fase ketiadaan
dan munculnya keadaan baru. Hal yang tidak mungkin terjadi bagi hakekat
keberadaan yang bersifat konstan abadi.
Parmenides berpendapat bahwa hakekat
keberadaan adalah satu kesatuan yang utuh dan bulat, tanpa adanya pembedaan
antara aspek rohani dan aspek jasmani. Maka ia tidak memerlukan tambahan,
melainkan memenuhi ruang. Tidak ada ruang kosong, karena tidak ada hakekat
lain, kecuali keberadaan yang “Esa”.
Pemikiran Parmenides dari zaman abad ke-5
SM adalah genial. Merupakan perenungan yang dalam sebagai upaya manusia untuk
memahami hakekat kehidupan jasmaniah dan rohaniah seutuhnya. 11 abad setelah
masa Parmenides, Rasululullah SAW mengajarkan kepada dunia tentang Al-Ghoib,
Zat Yang Esa, Sumber Energi Yang Tunggal yang meliputi alam syahadah dan alam
malakut, yang meliputi jasmaniah dan rohaniah, yang meliputi agnostisitas dan
transcendental, Yang Tidak Berawal dan Tidak Berakhir, Yang Tidak Dilahirkan
dan Tidak Melahirkan, Yang Meliputi semua makhluk, semua sel, semmua molekul
dan semua atom, bahkan inti atom, Yang tidak terikat ruang dan waktu dan tidak
dibatasi oleh logika, Yang meliputi segalanya dalam kehidupan dan sesudah
kematian, “Inallaha ala kulli Syai’in Qodier”. Hakekat Al-Ghoib adalah
Tunggal, tidak terbagi, tidak jamak, tidak ada sekutu, “Qul Huwallaahu Ahad”
: “Katakanlah, Dia-lah Allah Yang Maha Esa” (Al-Ikhlas : 1).
Parmenides berpendapat bahwa kenyataan
yang benar bukan didasarkan pada
pengamatan inderawi (agnostic) melainkan hanya dapat diketahui dengan akal.
Bahkan Parmenides menegaskan bahwa segala pengetahuan dan gagasan-gagasan
tentang kejamakan dan perubahan adalah semata penipuan inderawi dan merupakan
keberadaan yang semu. Kaberadaan yang hakiki yang maha tunggal hanya dapat
diketahuii dengan akal bukan dengan indera. Letupan pemikiran di abad ke-5 SM
ini luar biasa, dan dapat dikatakan merupakan peletakan dasar monotheisme
diluar wahyu kitabiyah. Sekitar 10 abad sebelumnya sesungguhnya Musa a.s. telah
mendakwahkan ke-Tauhidan (Ke-Esaan Allah) kepada Bani Israil di Mesir yang berlanjut dengan eksodus Bani Israil
dari Mesir ke Yerussalem (vide, Pengajian Kesembilanbelas). 5 abad setelah
Parmenides, Yesus dari Nazareth atau yang kita kenal dengan Isa Al-Masih a.s.
menyampaikan khotbah agung di bukit Galilea yang menyerukan peribadatan
hanyalah kepada Allah Yang Esa (monotheisme) yang memiliki Kerajaan Sorga
(vide, Pengajian Kedelapan).
Jelas bahwa Al-Ghoib tidak mungkin
tertangkap dengan pengamatan inderawi (agnostic), tetapi dengan proses kognitif
akal pikiran akan mampu memahami keberadaan Al-Ghoib sebagai kenyataan terbesar
dalam hakekat keberadaan segala sesuatu. Akal dan ilmu sebagaimana dimaksud
Parmenides adalah satu kesatuan. Tentang hal ini 11 abad setelah dalil Parmenides Allah berfirman :
“Inna fie Kholqissamwaati wal-ardhi
wakhtilaafillaeli wannahaari la-ayati lie ulil-albaab” : “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi orang-orang yang berakal”, (QS III : 190).
Selanjutnya Sabda Rasulullah SAW : “Waman salaka
thorieqon yaltamisu fiehi ‘ilman sahhalallaahu thorieqon ilaljannati” : “Siapa
yang berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan
memudahkan baginya jalan ke sorga” (Shahih Muslim dari Abu Huroiroh r.a.).
Konsep akal pikiran yang dipromosikan
Islam jauh lebih sempurna dibanding konsep Parmenides, dengan kebulatan
aspek-aspek agnostic dan transcendent. Ilmu pengetahuan menurut konsep Islam
membawa akal pikiran bagi pemahaman kehidupan semesta dan kehidupan sesudah
mati yang bersifat transenden yang tak terjangkau secara utuh oleh kejeniusan Parmenides dan para filsuf besar
lainnya, seperti, Lao Tzu, Khonghucu,
Sidharta Gautama, Anaximandros dan Plato yang hidup sezaman dengan
Parmenides (abad ke-6 dan 5 SM).
Maka jelaslah bahwa tanda-tanda bagi
orang yang berakal, dia beriman, dan tanda-tanda orang beriman dia berilmu,
sehingga ia dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat keberadaan Al-Ghoib,
dan beribadah kepada-Nya dengan haqqul-yaqien,
karena dengan demikian ia menuju hakekat keberadaan dirinya sendiri pada
kesatuan Ruh yang utuh dengan Rabb-nya dalam keabadian akhirat.
Aceh dan Tsunami.
Sejak wafatnya Rasulullah SAW pada
tgl. 13 Rabi’ul Awwal 11 H (634 M), maka sesungguhnya telah berakhir satu
periode khusus dalam kehidupan ummat manusia dan semesta alam dimana Allah
Ta’alaa hadir secara khusus dan berbicara langsung kepada ummat manusia melalui
Utusan Terakhir dan Firman-firmanNya yang mutakhir untuk memberikan pelajaran
dan bimbingan terakhir bagi ummat manusia dan semesta alam. Nabi Muhammad SAW
adalah nabi sempurna yang pungkasan, artinya tidak ada lagi nabi sesudahnya,
dan secara in-concreto tidak ada lagi Firmah Allah yang disampaikan langsung
kepada manusia sesudahnya. Pada masa itu segala sesuatunya telah dianggap
cukup, seperti Firman Allah yang terakhir :
“Al-Yauma akmaltu lakum dienakum, wa atmamtu ‘alaikum
ni’matie, wa rodhietu lakumul-islaama dienan” : “Pada hari ini Aku sempurnakan
bagimu agamamu, dan Aku cukupkan bagimu ni’matKu, dan Aku Ridho Islam menjadi
agamamu”, (Al-Ma’idah 3).
Semenjak saat itu manusia telah diberikan independensi,
kebebasan penuh untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya berdasarkan
kemampuan akal pikirannya. Petunjuk agama dan jalan kebenaran telah tersedia
dengan nyata, sementara jalan kesesatan juga tersedia dengan nyata. Dalam diri
manusia terdapat organ-organ jiwa yang inheren dalam organisme dan konsitusi
jiwa yang berisi nilai-nilai psikologis yang dapat menuntun sikap mental dan
perilaku manusia. Siapa yang memilih Jalan Allah dan Rasul-Nya dia tidak akan
sesat selamanya dan tentu akan sampai pada hakekat keridhoan Allah dalam
keabadian bersama-Nya. Pada posisi ini energi psikis das Ueber Ich memenuhi das Ich, dan energi instinktif das Es membentuk obyek substitusi dan
mengalami transferabilitas progresif yang membentuk sublimasi kebudayaan Tauhid
yang menjadi sumber nilai kehidupan. Sebaliknya barangsiapa memilih jalan
kesesatan, maka ia sampai pada hakekat kesia-siaan dan kebinasaan pada
akhirnya. Pada posisi ini energi instinktif das Es memenuhi das Ich
dengan berbagai perilaku impulsive yang bertujuan mencari kenikmatan
biologis (hawa nafsu) semata dengan mengabaikan norma-norma. Atau bahkan berusaha
mengubah atau menyimpangkan norma-norma
kearah pemenuhan hawa nafsu sebagai bentuk korupsi kejiwaan atau
kemunafikan dan kemusyrikan (vide, Pengajian Pertama).
Berdasarkan hal tersebut maka tsunami
Aceh tidak dapat disejajarkan dengan peristiwa-peristiwa nubuat dizaman-zaman
kenabian seperti peristiwa lenyapnya
Sodom dan Amurah dizaman Nabi Luth a.s., atau tenggelamnya balatentara Fir’aun
di Laut Merah di zaman Nabi Musa a.s., bahkan tenggelamnya sebagian besar
permukaan bumi di zaman Nabi Nuh a.s, (vide, Pengajian Keduapuluh empat,
Keduapuluh lima dan Keduapuluhenam).
Pada masa setelah wafatnya Rasulullah
SAW dan Firman penutup tersebut, maka Sunnatullah berupa hukum-hukum alam fisik
dan metafisik berjalan sepenuhnya secara ekologis, demikian pula psikofisik
manusia diberikan kebebasan untuk berkembang dan memilih sumber nilai dalam
membentuk struktur kepribadian masing-masing, baik secara individual maupun
kolektif.
Dengan demikian maka tsunami Aceh
(26/12/2004) merupakan kasus tektonik yang terjadi diluar nubuat dan tidak
berkait dengan kondisi religiusitas masyarakat Aceh, melainkan semata-mata
destruksi subdukasi. Maka ‘ulama’ yang kebetulan didekat pantai akan mati dan
pelacur yang kebetulan diatas bukit akan selamat. Persoalan yang kita tarik
dalam tiga pengajian terdahulu ialah, apakah tsunami Aceh bersumber dari
subdukasi tektonik alamiah atau subdukasi tektonik buatan, mengingat sejumlah
indikator negatif seperti :
- tidak
adanya prolog ekologis berupa eksodus satwa dari habibat bakal bencana,
- tidak
adanya hujan deras dan angin taifun yang menunjukkan gejala pembuka
resonansi ekologis,
- langit
dan cuaca tropis yang justru cerah saat tsunami terjadi,
- Pola
letupan subdukasi tektonik yang melompat-melompat pada garis silang yang
saling berjauhan, dan kekecualian Pulau Weh yang unik.
- tidak
adanya gunung-gemunung atau gugusan kepulauan yang runtuh kedasar laut
seperti lenyapnya Krakatau, atau munculnya gunung-gemunung/gugusan
kepulauan baru dari dasar laut seperti Kepulauan Nusatenggara sebagai epilog
resonansi ekologis.
- durasi
tektonik yang sangat panjang, yaitu 10 menit yang belum pernah terjadi
didunia yang biasanya tertinggi hanya 3-5 menit.
- Travel-warning
AS dan Australia pada bulan Nopember 2004 yang menghimbau warganya untuk
tidak datang ke Indonesia, dengan alasan akan terjadi ledakan bom besar.
Korban AS dan Australia dalam gempa tsunami ini adalah yang terkecil,
- respons Armada ke-7 dan militer Sekutu yang
sangat cepat, kita berterima kasih dan heran,
- bahwa
subdukasi tektonik secara tekhnis dapat dibuat dengan penempatan mini
nuklir pada titik patahan dilengkapi pemancar elektro magnit untuk
menuntun fokus tembakan laser presisi tinggi dari satelit. Titik subdukasi
tektonik tsunami Aceh berada pada kedalaman 10 km dibawah permukaan laut,
tergolong dangkal untuk subdukasi alamiah yang biasanya terjadi pada
kedalaman 20 hingga 30 km dibawah permukaan laut,
Kita tetap berharap adanya investigasi
independen, seraya terus memulihkan Aceh dengan mainstream rehabilitasi
psikologis dengan berpijak pada struktur nilai budaya Aceh. Saya menerima
laporan adanya kemunafikan dan kemaksiyatan yang berkembang di Aceh sebelum
tsunami. Namun saya percaya mainstream psikologis orang Aceh adalah struktur
nilai budaya Tauhid yang beriman kepada Yang Ghoib, Hakekat Keberadaan Yang
Tunggal, yang memenuhi seluruh energi psikis das Ueber Ich dan mendominasi das
Ich orang Aceh, sehingga mampu keluar dari situasi trauma realistis kepada
sublimasi Aceh Baru yang lebih kuat dan lebih kreatif.
Insya Allah. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH.
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar