Pengajian
Keduapuluh Enam
Alladziena
yu’minuuna bil-Ghoibi, wa yuqiemunassholata,
wa
mimmaa rozaqnahum yunfieguun.
(Bagian
ke IV)
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Kita
melanjutkan pembahasan eklektik dalam penggalian hikmah ayat ke-3 surah
Al-Baqoroh tersebut. Jika pada dua pengajian terdahulu pembahasan
menitikberatkan pada “Allaedziena yu’minuuna bil-Ghoibi” dengan latar
belakang tsunami Aceh, maka pada bagian
keempat ini kita membahas sambungannya, yaitu “wa yuqiemunassholata”
(dan mereka yang mendirikan sholat). Masih dengan latar belakang tsunami Aceh.
Enam
nilai kebudayaan
Menurut Eduard
Spranger, kebudayaan dipandang sebagai kumpulan nilai-nilai yang tersusun menurut struktur
nilai tertentu, yang digolong-golongkan menjadi enam lapangan nilai atau
lapangan hidup, yaitu :
a. lapangan ilmu pengetahuan,
b. lapangan ekonomi,
c. lapangan kesenian,
d. lapangan keagamaan,
e. lapangan kemasyarakatan,
f. lapangan politik.
Selanjutnya Spranger
membagi pskologi manusia dalam dua Roh, yaitu Roh Subyektif dan Roh Obyektif.
Roh Subyektif merupakan roh individual yang bertujuan menjelmakan nilai-nilai
tertentu dari struktur nilai kebudayaan. Roh Obyektif adalah roh kolektif semua
individu yang membentuk kebudayaan. Walaupun Roh Subyektif mengandung keenam
nilai kebudayaan tersebut, namun dalam kenyataan hanya salah satu nilai yang
menonjol.
Dalam hal
masyarakat Aceh yang menonjol adalah “nilai keagamaan” terutama dalam pelaksanaan
Syariat Islam. Inti dari Syariat Islam ialah Sholat seperti disebut dalam ayat
3 Al-Baqoroh tersebut diatas. Ayat tersebut diperkuat dengan Adz-Dzariyat : 56
: “Wa maa kholaqtul jinna wal-insa illaa liya’buduuni” : “Aku
menciptakan jin dan manusia tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada-Ku”.
Bencana
dan Perubahan
Terdapat
indikator bahwa subdukasi tektonik yang terjadi 26/12/2004 yang menimbulkan
badai tsunami yang menghancurkan Aceh dan Srilangka, menghantam Malaysia,
Thailand, India, Maladewa hingga Somalia adalah rekayasa teknologi (vide,
Pengajian Keduapuluh empat dan Keduapuluh lima). Tetapi sejauh ini tidak ada
investigasi kearah itu, atau tidak ada kemampuan dan keberanian pihak lain
untuk melakukan investigasi yang membutuhkan skill, teknologi, biaya tinggi dan
keberanian itu. Sehingga masalah ini akan tinggal mengambang hingga akhir
zaman.
Sekarang kita
memfokus dampak pasca tsunami yang didominasi solidaritas nasional dan bantuan
asing dengan pengerahan Armada ke-7 serta relawan asing yang berbondong-bondong
ke Aceh. Kini bahkan telah berdiri Kantor Pusat Pengawasan Bantuan PBB di Banda
Aceh. Kita mengucapkan terima kasih seraya waspada. Apalagi ditengah
pemerintahan yang lemah dan tidak efektif kita harus semakin waspada. Tsunami
adalah peristiwa besar, tentu akan membawa dampak perubahan yang besar, bukan
hanya dari segi fisik, tetapi juga psiko-politik, geo-politik dan geo-ekonomi
kawasan ini.
Solidaritas
yang diterima Aceh bukan solidaritas keagamaan yang primordial, tetapi
solidaritas kemanusiaan yang universal dan berciri sekularistik. Dari gelombang
solidaritas dan bantuan internasional, yang paling lambat justru datang dari
negara-negara Islam Arab. Ini agak mengecewakan.
Faktor
ekstrinsik orang Aceh mengalami perubahan hebat dan mendasar. Mereka yang
selama ini dimitoskan sebagai musuh seperti Barat dan Kristen, justru “paling
responsive”. Mereka datang membanjir ke Aceh mempelopori dan mendominasi
program bantuan dan penanggulangan bencana. Setelah program darurat usai, akan
berlanjut dengan program rehabilitasi dan restrukturisasi Aceh yang tetap
didominasi Barat. Sulit untuk tidak membayangkan terjadinya proses
sekularisasi.
Terhadap hal
itu mungkin kita tidak berkeberatan, karena sekularisasi ajaran agama justru
bagian dari capaian keberhasilan suatu agama. Tetapi yang mungkin kita sangat
keberatan ialah pelebaran pengaruh politik Barat kedalam masalah GAM., bukan
mustahil akan terjadi referendum di Aceh dan lepas, seperti Timor Timur. Jika
itu terjadi, RI akan menjadi sangat lemah dan bukan mustahil akan menimbulkan
efek lanjutan kearah bubarnya NKRI. Degradasi ekonomi dan demoralisasi
penyelenggara negara dapat menimbulkan pemicu yang mendorong terjadinya
pembubaran negara, seperti yang terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia.
Kekuatan
masyarakat.
Jelas Aceh
tidak dapat bersandar hanya pada pemerintah saja. Kekuatan dasar Aceh terletak
pada spirit orang Aceh sendiri. Faktor intrinsik orang Aceh seperti disebut
didepan adalah nilai keagamaan. Spirit Islam kokoh dalam konstitusi jiwa dan
psyche orang Aceh. Menghadapi
interferensi lingkungan dan trauma realistis sekarang ini (vide,
Pengajian Keduapuluh empat dan Keduapuluh lima) orang Aceh harus melakukan
regresi bermotif, yaitu memijakkan diri pada nilai-nilai Islam dalam kesadaran
dan ketidaksadaran kolektif orang Aceh untuk menemukan energi survival.
Jika itu yang
terjadi maka orang Aceh akan dapat melakukan proses psikologis dan kognitif,
yaitu individuasi dan ekualisasi yang akan menghasilkan pemusatan energi pada
“das Ich”. Hal itu akan memberikan kemampuan orang Aceh untuk melakukan proses
instink-derrivative, menemukan Gestalt, membentuk obyek substitusi dan
melakukan sublimasi. Maka akan terjadi resultante antara faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik yang akan melahirkan
kreativitas baru yang pada waktunya akan membentuk budaya Aceh Baru. Merupakan
sublimasi dari nilai-nilai tradisional Aceh dan modernisasi sekuler Barat. Aceh
tidak perlu mengalami tragedy seperti “the Last Samurai”, tetapi juga tidak
perlu hilang seperti Timor Leste.
Hal yang
paling membantu bagi masyarakat Aceh sekarang ini ialah memulihkan kepercayaan
diri dan harga diri Aceh, agar mereka dapat menemukan kembali inti Roh
Subyektif dan Roh Obyektif Aceh tradisional yang menyinari psyche orang Aceh
sepanjang sejarah “Serambi Mekah” itu. Membangunkan Gestalt, yaitu imaginasi
dari balik ketidaksadaran kolektif orang Aceh adalah hal yang terpenting,
karena dari proses psikologis itulah Aceh Baru yang tetap nasionalis-religius
akan lahir.
Berikan
makanan, pakaian dan rumah bagi orang Aceh, tetapi yang terlebih penting
berikan kembali kebanggaan subyektif entitas Aceh yang tidak pernah kalah sejak
zaman Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Daud Beureuh hingga Badai Tsunami sekarang
ini. Aceh tidak akan binasa oleh Tsunami apalagi tsunami buatan, Aceh tidak
dikutuk dan dimurkai Allah yang tidak pernah membinasakan orang beriman. Aceh
juga tidak musnah oleh bala bantuan dan recovery Barat.
Aceh
berterima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia, dan Aceh menjadikan
semua itu sebagai stimulus baru yang memperkaya nilai-nilai Roh Obyektif Aceh,
dan Aceh Baru akan lahir dari semua perpaduan nilai-nilai tradisional yang transenden,
realitas nilai-nilai sekuler universal dan solidaritas nasional.
Untuk
mewujudkan mimpi indah itu tak cukup dengan proses psikologis, diperlukan pula
proses politik, yaitu bangkitnya kekuatan independen dalam masyarakat yang
menyatakan keteguhan eksistensi NKRI yang mencakup kedaulatan di Aceh. Perlu
sikap kritis terhadap situasi di Aceh terutama terhadap kekuatan asing disana.
Bangsa
Indonesia berterima kasih terhadap segala simpati dan bantuan asing, tetapi
menolak segala campur tangan asing dan apalagi dominasi asing dalam proses
restrukturisasi dan rehabilitasi Aceh yang sepenuhnya harus berada dalam domain
kedaulatan NKRI. Inisiatif ini harus lahir dari Rakyat, dan tidak harus
menunggu inisiatif pemerintah. Keinginan pemerintah untuk berkonsultasi dengan
lima negara untuk menyelesaikan masalah GAM adalah salah satu bentuk kelemahan.
Masalah GAM
menyangkut kedaulatan negara, akan kita selesaikan dengan menegakkan kedaulatan
NKRI diseluruh wilayah Aceh, dan tidak perlu dikonsultasikan dengan negara
lain. Sejak semula Aceh adalah bagian dari NKRI dan akan tetap demikian
sepanjang masa.
Meski
demikian, kita menyambut baik keputusan pemerintah yang membatasi kehadiran
militer asing di NAD selama 3 bulan, dan 1 tahun bagi relawan asing non-militer.
Dalam masa itu kita akan bekerjasama bagi kemanusiaan seraya tetap waspada
untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. “Hubbul-wathon minal-iman” : “Cinta
Negara adalah bagian dari iman”. Sekian.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi Fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 14
Januari 2004,
Pengasuh,
KH
AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar