7.7.17

Pengajian Keduapuluh Enam

Pengajian Keduapuluh Enam

Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi, wa yuqiemunassholata,
wa mimmaa rozaqnahum yunfieguun.
(Bagian ke IV)

Assalamu’alaikum War. Wab.

Kita melanjutkan pembahasan eklektik dalam penggalian hikmah ayat ke-3 surah Al-Baqoroh tersebut. Jika pada dua pengajian terdahulu pembahasan menitikberatkan pada “Allaedziena yu’minuuna bil-Ghoibi” dengan latar belakang tsunami Aceh, maka pada  bagian keempat ini kita membahas sambungannya, yaitu “wa yuqiemunassholata” (dan mereka yang mendirikan sholat). Masih dengan latar belakang tsunami Aceh.

Enam nilai kebudayaan


Menurut Eduard Spranger, kebudayaan dipandang sebagai kumpulan  nilai-nilai yang tersusun menurut struktur nilai tertentu, yang digolong-golongkan menjadi enam lapangan nilai atau lapangan hidup, yaitu :
a.     lapangan ilmu pengetahuan,
b.    lapangan ekonomi,
c.     lapangan kesenian,
d.    lapangan keagamaan,
e.     lapangan kemasyarakatan,
f.     lapangan politik.

Selanjutnya Spranger membagi pskologi manusia dalam dua Roh, yaitu Roh Subyektif dan Roh Obyektif. Roh Subyektif merupakan roh individual yang bertujuan menjelmakan nilai-nilai tertentu dari struktur nilai kebudayaan. Roh Obyektif adalah roh kolektif semua individu yang membentuk kebudayaan. Walaupun Roh Subyektif mengandung keenam nilai kebudayaan tersebut, namun dalam kenyataan hanya salah satu nilai yang menonjol.

Dalam hal masyarakat Aceh yang menonjol adalah “nilai keagamaan” terutama dalam pelaksanaan Syariat Islam. Inti dari Syariat Islam ialah Sholat seperti disebut dalam ayat 3 Al-Baqoroh tersebut diatas. Ayat tersebut diperkuat dengan Adz-Dzariyat : 56 : “Wa maa kholaqtul jinna wal-insa illaa liya’buduuni” : “Aku menciptakan jin dan manusia tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada-Ku”.

Bencana dan Perubahan


Terdapat indikator bahwa subdukasi tektonik yang terjadi 26/12/2004 yang menimbulkan badai tsunami yang menghancurkan Aceh dan Srilangka, menghantam Malaysia, Thailand, India, Maladewa hingga Somalia adalah rekayasa teknologi (vide, Pengajian Keduapuluh empat dan Keduapuluh lima). Tetapi sejauh ini tidak ada investigasi kearah itu, atau tidak ada kemampuan dan keberanian pihak lain untuk melakukan investigasi yang membutuhkan skill, teknologi, biaya tinggi dan keberanian itu. Sehingga masalah ini akan tinggal mengambang hingga akhir zaman.

Sekarang kita memfokus dampak pasca tsunami yang didominasi solidaritas nasional dan bantuan asing dengan pengerahan Armada ke-7 serta relawan asing yang berbondong-bondong ke Aceh. Kini bahkan telah berdiri Kantor Pusat Pengawasan Bantuan PBB di Banda Aceh. Kita mengucapkan terima kasih seraya waspada. Apalagi ditengah pemerintahan yang lemah dan tidak efektif kita harus semakin waspada. Tsunami adalah peristiwa besar, tentu akan membawa dampak perubahan yang besar, bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga psiko-politik, geo-politik dan geo-ekonomi kawasan ini.

Solidaritas yang diterima Aceh bukan solidaritas keagamaan yang primordial, tetapi solidaritas kemanusiaan yang universal dan berciri sekularistik. Dari gelombang solidaritas dan bantuan internasional, yang paling lambat justru datang dari negara-negara Islam Arab. Ini agak mengecewakan.

Faktor ekstrinsik orang Aceh mengalami perubahan hebat dan mendasar. Mereka yang selama ini dimitoskan sebagai musuh seperti Barat dan Kristen, justru “paling responsive”. Mereka datang membanjir ke Aceh mempelopori dan mendominasi program bantuan dan penanggulangan bencana. Setelah program darurat usai, akan berlanjut dengan program rehabilitasi dan restrukturisasi Aceh yang tetap didominasi Barat. Sulit untuk tidak membayangkan terjadinya proses sekularisasi.

Terhadap hal itu mungkin kita tidak berkeberatan, karena sekularisasi ajaran agama justru bagian dari capaian keberhasilan suatu agama. Tetapi yang mungkin kita sangat keberatan ialah pelebaran pengaruh politik Barat kedalam masalah GAM., bukan mustahil akan terjadi referendum di Aceh dan lepas, seperti Timor Timur. Jika itu terjadi, RI akan menjadi sangat lemah dan bukan mustahil akan menimbulkan efek lanjutan kearah bubarnya NKRI. Degradasi ekonomi dan demoralisasi penyelenggara negara dapat menimbulkan pemicu yang mendorong terjadinya pembubaran negara, seperti yang terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia.

Kekuatan masyarakat.

Jelas Aceh tidak dapat bersandar hanya pada pemerintah saja. Kekuatan dasar Aceh terletak pada spirit orang Aceh sendiri. Faktor intrinsik orang Aceh seperti disebut didepan adalah nilai keagamaan. Spirit Islam kokoh dalam konstitusi jiwa dan psyche orang Aceh. Menghadapi  interferensi lingkungan dan trauma realistis sekarang ini (vide, Pengajian Keduapuluh empat dan Keduapuluh lima) orang Aceh harus melakukan regresi bermotif, yaitu memijakkan diri pada nilai-nilai Islam dalam kesadaran dan ketidaksadaran kolektif orang Aceh untuk menemukan energi survival.

Jika itu yang terjadi maka orang Aceh akan dapat melakukan proses psikologis dan kognitif, yaitu individuasi dan ekualisasi yang akan menghasilkan pemusatan energi pada “das Ich”. Hal itu akan memberikan kemampuan orang Aceh untuk melakukan proses instink-derrivative, menemukan Gestalt, membentuk obyek substitusi dan melakukan sublimasi. Maka akan terjadi resultante antara faktor-faktor  intrinsik dan ekstrinsik yang akan melahirkan kreativitas baru yang pada waktunya akan membentuk budaya Aceh Baru. Merupakan sublimasi dari nilai-nilai tradisional Aceh dan modernisasi sekuler Barat. Aceh tidak perlu mengalami tragedy seperti “the Last Samurai”, tetapi juga tidak perlu hilang seperti Timor Leste.

Hal yang paling membantu bagi masyarakat Aceh sekarang ini ialah memulihkan kepercayaan diri dan harga diri Aceh, agar mereka dapat menemukan kembali inti Roh Subyektif dan Roh Obyektif Aceh tradisional yang menyinari psyche orang Aceh sepanjang sejarah “Serambi Mekah” itu. Membangunkan Gestalt, yaitu imaginasi dari balik ketidaksadaran kolektif orang Aceh adalah hal yang terpenting, karena dari proses psikologis itulah Aceh Baru yang tetap nasionalis-religius akan lahir.

Berikan makanan, pakaian dan rumah bagi orang Aceh, tetapi yang terlebih penting berikan kembali kebanggaan subyektif entitas Aceh yang tidak pernah kalah sejak zaman Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Daud Beureuh hingga Badai Tsunami sekarang ini. Aceh tidak akan binasa oleh Tsunami apalagi tsunami buatan, Aceh tidak dikutuk dan dimurkai Allah yang tidak pernah membinasakan orang beriman. Aceh juga tidak musnah oleh bala bantuan dan recovery Barat.

Aceh berterima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia, dan Aceh menjadikan semua itu sebagai stimulus baru yang memperkaya nilai-nilai Roh Obyektif Aceh, dan Aceh Baru akan lahir dari semua perpaduan nilai-nilai tradisional yang transenden, realitas nilai-nilai sekuler universal dan solidaritas nasional.

Untuk mewujudkan mimpi indah itu tak cukup dengan proses psikologis, diperlukan pula proses politik, yaitu bangkitnya kekuatan independen dalam masyarakat yang menyatakan keteguhan eksistensi NKRI yang mencakup kedaulatan di Aceh. Perlu sikap kritis terhadap situasi di Aceh terutama terhadap kekuatan asing disana.

Bangsa Indonesia berterima kasih terhadap segala simpati dan bantuan asing, tetapi menolak segala campur tangan asing dan apalagi dominasi asing dalam proses restrukturisasi dan rehabilitasi Aceh yang sepenuhnya harus berada dalam domain kedaulatan NKRI. Inisiatif ini harus lahir dari Rakyat, dan tidak harus menunggu inisiatif pemerintah. Keinginan pemerintah untuk berkonsultasi dengan lima negara untuk menyelesaikan masalah GAM adalah salah satu bentuk kelemahan.

Masalah GAM menyangkut kedaulatan negara, akan kita selesaikan dengan menegakkan kedaulatan NKRI diseluruh wilayah Aceh, dan tidak perlu dikonsultasikan dengan negara lain. Sejak semula Aceh adalah bagian dari NKRI dan akan tetap demikian sepanjang masa.

Meski demikian, kita menyambut baik keputusan pemerintah yang membatasi kehadiran militer asing di NAD selama 3 bulan, dan 1 tahun bagi relawan asing non-militer. Dalam masa itu kita akan bekerjasama bagi kemanusiaan seraya tetap waspada untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. “Hubbul-wathon minal-iman” : “Cinta Negara adalah bagian dari iman”.  Sekian.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi Fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 14 Januari 2004,
Pengasuh,

KH AGUS MIFTACH


Ketua Umum Front Persatuan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar