7.7.17

Pengajian Keduapuluh lima,




Pengajian Keduapuluh lima,
“Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi, wa yuqiemunassholata
Wa mimmaa rozaqnahum yunfiequun”,
(Bagian Ke III)

Assalamu’alaikum War. Wab.

Pada Pengajian Keduapuluh empat yang lalu kita telah mengkaji hikmah ayat ke 3 surah Al-Baqoroh tersebut, untuk membedah perkembangan di Aceh, dengan berbagai pendekatan secara eklektik, a.l. dengan pendekatan psikologi Gestalt Kurt Goldstein (1878). Kita masih akan melanjutkan kajian hikmah ayat tersebut diatas dalam  analisa pembedahan perkembangan Aceh dan arah perubahannya, dengan berbagai perspektif antara lain perspektif  psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939).

Traumatis.

Sigmund Freud berpendapat hidup diawali dengan traumatis, yaitu saat neonatus lahir, dimana baby dipaksa keluar dari alam rahim yang kokoh dan stabil, dengan berbagai perangsang yang belum dikenalnya. Neonatus demikian ketakutan dan traumatis ketika lahir di alam dunia dengan berbagai perangsang dari lingkungan yang belum dimengertinya. Seandainya manusia tidak amnesia pada tiga tahun pertama kehidupan, belum tentu mampu melepaskan diri dari trauma kelahiran dan dapat melanjutkan kehidupan selanjutnya. Kehidupan adalah perkembangan reduksi tegangan traumatis dan pembentukan obyek substitusi pasca traumatis dari waktu ke waktu. Ketika balita belajar menegakkan kepala, merangkak dan berjalan, sesungguhnya ia melakukan perjuangan dengan sejumlah kecemasan akan jatuh, terbentur dsb. Ketika tumbuh menjadi kanak-kanak kecemasan dimulai ketika masuk sekolah, menghadapi teman yang nakal, guru dan lingkungan baru yang menakutkannya. Ketika besar ia menghadapi kecemasan menghadapi ujian, masalah dengan teman wanita, persaingan, permusuhan dsb. Ketika dewasa ia menghadapi kecemasan harus berpisah dengan orang tua, mandiri dan berkeluarga. Dalam semua proses traumatis dan pembentukan obyek substitusi pasca traumatis yang membawa manusia menemukan bentuk-bentuk reduksi tegangan sebagai progresi psikologis, manusia tumbuh mengembangkan kepribadian  dan kebudayaan.
Terdapat 3 bentuk traumatis, yaitu :
  1. trauma realistis,
  2. trauma neurosis, dan
  3. trauma moralistis

Akar ketiga trauma itu ialah trauma realistis. Baik trauma neurosis maupun trauma moralistis memiliki dasar pada trauma realistis.
Trauma realistis, bersumber pada dunia nyata, sifatnya ekstra organis seperti ketakutan terhadap bencana alam, wabah, musuh dsb. Trauma neurosis bersumber pada dunia batin sendiri, sifatnya intra organis, seperti ketakutan adanya hukuman terhadap impuls-instinktif yang tak terkendali. Trauma moralistis juga bersumber pada dunia batin sendiri, sifatnya intra organis, seperti ketakutan berbuat dan berpikir melanggar norma-norma.

Menurut Freud jika “ego” atau “das Ich” tidak dapat menguasai kecemasan dengan jalan rasional, maka akan menghadapinya dengan jalan tidak realistis.
Itulah yang disebut mekanisme pertahanan, seperti represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi. Jika trumatis dapat ditanggulangi “ego” dengan proses derivat instink dan pembentukan obyek substitusi akan lahir sublimasi yang justru menjadi sumber kreativitas tinggi dan berkembangnya budaya manusia.

Tsunami Aceh


Seperti telah diungkapkan dalam Pengajian Keduapuluh empat, tsunami Aceh (26/12/04) terjadi akibat subdukasi tektonik si Samudera Hindia pada posisi selatan Meulaboh, dekat Kepulauan Andemen Thailand dan Kepuluan Nicobar sebelah utara Banda Aceh, dengan kekuatan masing-masing  8,9 SM, 5,8 SM dan 6,0 SM, berlangsung  pertama jam 07.58,50, kedua jam 09.15,57 dan ketiga jam 09.22,01. Gempa tsunami pertama (2,9° LU/95,6° BT) menghantam Meulaboh, tsunami kedua (12,37° LU/92,15° BT) menghantam Thailand, India, Maladewa, Bangladesh hingga Somalia, dan tsunami ketiga (2,9° LU/95,6° BT) menghantam Banda Aceh, Sri Langka dan Malaysia.
Anehnya, subdukasi tektonik ini tidak diawali dengan gejala-gejala alam seperti eksodus satwa dari habitat bakal bencana, mendung dan hujan deras disertai angin taifun. Dan sesudahnya juga tidak tampak gejala alam baru seperti munculnya kepulauan dan gunung gemunung, atau lenyapnya pulau atau sebuah gunung. Ketika terjadi gempa tsunami langit dan alam pada umumnya cerah, matahari bersinar terang dan langit bersih. Tiba-tiba gelombang naik setinggi 10 m menghantam pantai dan daratan, membunuh dan menghancurkan semuanya. Di Banda Aceh gempa berlangsung selama 10 menit. Durasi waktu yang sangat panjang untuk sebuah gempa tektonik yang biasanya hanya berlangsung 3-5 menit.

Seperti telah disinggung pada Pengajian Keduapuluh-empat secara tekhnis tsunami bisa dibuat dengan subdukasi tektonik buatan, dengan penempatan mini nuklir tepat pada titik patahan dilengkapi dengan pancaran gelombang elektromagnit untuk menuntun tembakan laser dari satelit. Ini perlu penyelidikan mendalam. Ini sangat penting dan mendasar, karena hampir semua orang menganggap bencana tsunami ini kemurkaan Allah. Sehingga hampir semua orang, dan terutama orang Aceh melantunkan doa dan pertobatan kepada Allah, menggapkan diri berdosa dan layak dibinasakan Allah dengan tsunami. Bagaimana kalau ternyata ini karena rekayasa manusia belaka ? Benarkah Allah merasa perlu membinasakan orang-orang Aceh yang beriman, yang tatkala datang badai tsunami meneriakkan nama Allah dan bershalawat kepada Rasulullah ? Pernahkah dalam sejarah kitabiyah Allah membinasakan orang-orang yang beriman kepada-Nya dan berjuang menegakkan syari’at-Nya ? Kaum Sodom dan Amurah (Gomorah) mereka dibinasakan Allah karena mendustakan ayat-ayat Allah dan menentang Utusan Allah Nabi Luth a.s. Demikian pula Fir’aun dan balatentaranya dibinasakan Allah karena mendustakan ayat-ayat Allah dan menentang Utusan Allah Nabi Musa a.s. Sebaliknya orang-orang Aceh adalah ummat yang taat kepada ayat-ayat Allah. Kepada mereka tidak pernah datang Utusan Allah, bagaimana mendustakannya, sedangkan mereka taat kepada ajaran Rasulullah SAW. Mengapa Allah perlu membinasakan mereka ? Jawabannya menjadi rumit dan fatalistik. Maka perlu investigasi, apakah tsunami ini murni peristiwa alam atau rekayasa manusia. ? Ini akan menentukan sikap dan penilaian kita terhadap masalah ini, termasuk kaitannya dengan religiusitas Kaum Muslimin.

Restrukturisasi Aceh


Orang Aceh menderita trauma yang hebat. Sumbernya adalah kecemasan realistis, yaitu badai tsunami, kemudian berkembang menjadi kecemasan neurosis dan moralistis sekaligus. Orang Aceh yang menganggap badai tsunami ini hukuman Allah, menjadi fatalisme mencari-cari kesalahan dan dosa diri supaya pantas menerima musibah ini. Jika orang Aceh tidak dapat menghadapi masalah traumatis ini dengan rasional, maka dia akan lari kepada hal-hal yang tidak realistis yang oleh Freud disebut mekanisme pertahanan, yaitu bentuk-bentuk represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi, seperti telah diuraikan didepan. Akibatnya akan mengalami kemunduran psikologis atau regresi. Ras yang  berada dalam kondisi demikian akan lemah dan bisa punah. Maka orang Aceh harus keluar dari situasi traumatis kepada mekanisme sublimasi, melalui ekualisasi energi pada “ego” dengan proses regresi bermotif kepada spirit dan nilai-nilai Tauhid “Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi” agar dapat menemukan keseimbangan psyche pada fungsi transenden serta pemusatan energi pada ego atau “das Ich”. Dari posisi itu akan berlangsung proses derivat instink dan pembentukan obyek substitusi sehingga orang Aceh akan dapat mencapai sublimasi. Terbentuk Gestalt yang mendorong pikiran-pikiran baru yang membawa tindakan-tindakan baru dengan kreativitas tinggi untuk survive, yang pada waktunya akan menjadi sumber nilai lahirnya budaya baru orang Aceh yang justru merupakan progresitas dari budaya Aceh sebelum tsunami. Untuk itu orang Aceh harus dibebaskan dari rasa dosa individu dan kolektif, dibebaskan dari rasa dosa diri dan bagian dari ras yang terkutuk. Untuk itu orang Aceh harus bisa memandang badai tsunami semata-mata sebagai environment-interference, yang memerlukan reaksi-reaksi psikofisik agar tercapai ekuilibrium baru yang kreatif yang dapat mengeluarkan orang Aceh dari inkubasi traumatis kepada sublimasi kreatif. Spirit religiusitas harus lebih substantif kepada nilai-nilai tertinggi dari “Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi” yang berpuncak pada visi transcendental, dengan pancaran kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia (Hablun-minallah dan Hablun-minannaas). Inilah yang  harus menjadi sumber kreativitas Aceh Baru.

Tewasnya sebagian besar anggota GAM dan para pendukung Maphilindo (vide, Pengajian Keduapuluh-empat), justru memungkinkan restrukturisasi Aceh yang lebih sublimatif. Hadirnya pengaruh Barat dalam proses bantuan bencana dan seterusnya, akan menjadi stimulus yang penting dalam proses restrukturisasi dan reformasi sosial. Dan yang terlebih penting adalah sekularisasi Aceh, yang memungkinkan daerah itu mengalami akselerasi pembangunan ekonomi, bahkan menjadi lokomotip pertumbuhan ekonomi kawasan ini diwaktu mendatang. Kualitas religius orang Aceh bahkan mungkin menjadi lebih jernih, lebih transenden, dan tidak terpaku pada bentuk-bentuk struktural yang mengundang banyak konflik, seperti yang sudah berlangsung selama puluhan tahun sebelum bencana tsunami.
Sabang mungkin akan berkembang menjadi kawasan zona perdagangan bebas yang akan menjadi lokomitip bergeraknya kemajuan ekonomi dikawasan itu dengan pertumbuhan yang cukup tinggi yang kita harapkan kelak berdampak besar bagi geliat ekonomi di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Jika kearah itu perkembangan perubahan Aceh, maka artinya faktor pemurnian spirit Al-Ghoibi telah menempatkan konstitusi jiwa Aceh pada progresitas sublimatif  yang berpengharapan tinggi. Insya Allah.
Sekian, kita lanjutkan pada bagian ke IV Jum’at yang akan datang.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 7 Januari 2005

Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional









Tidak ada komentar:

Posting Komentar