Pengajian Keduapuluh lima,
“Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi, wa yuqiemunassholata
Wa mimmaa rozaqnahum yunfiequun”,
(Bagian Ke III)
Assalamu’alaikum War. Wab.
Pada Pengajian Keduapuluh empat yang
lalu kita telah mengkaji hikmah ayat ke 3 surah Al-Baqoroh tersebut, untuk
membedah perkembangan di Aceh, dengan berbagai pendekatan secara eklektik, a.l.
dengan pendekatan psikologi Gestalt Kurt Goldstein (1878). Kita masih akan
melanjutkan kajian hikmah ayat tersebut diatas dalam analisa pembedahan perkembangan Aceh dan arah
perubahannya, dengan berbagai perspektif antara lain perspektif psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939).
Traumatis.
Sigmund Freud berpendapat hidup
diawali dengan traumatis, yaitu saat neonatus lahir, dimana baby dipaksa keluar
dari alam rahim yang kokoh dan stabil, dengan berbagai perangsang yang belum
dikenalnya. Neonatus demikian ketakutan dan traumatis ketika lahir di alam
dunia dengan berbagai perangsang dari lingkungan yang belum dimengertinya.
Seandainya manusia tidak amnesia pada tiga tahun pertama kehidupan, belum tentu
mampu melepaskan diri dari trauma kelahiran dan dapat melanjutkan kehidupan
selanjutnya. Kehidupan adalah perkembangan reduksi tegangan traumatis dan
pembentukan obyek substitusi pasca traumatis dari waktu ke waktu. Ketika balita
belajar menegakkan kepala, merangkak dan berjalan, sesungguhnya ia melakukan
perjuangan dengan sejumlah kecemasan akan jatuh, terbentur dsb. Ketika tumbuh
menjadi kanak-kanak kecemasan dimulai ketika masuk sekolah, menghadapi teman yang
nakal, guru dan lingkungan baru yang menakutkannya. Ketika besar ia menghadapi
kecemasan menghadapi ujian, masalah dengan teman wanita, persaingan, permusuhan
dsb. Ketika dewasa ia menghadapi kecemasan harus berpisah dengan orang tua,
mandiri dan berkeluarga. Dalam semua proses traumatis dan pembentukan obyek
substitusi pasca traumatis yang membawa manusia menemukan bentuk-bentuk reduksi
tegangan sebagai progresi psikologis, manusia tumbuh mengembangkan
kepribadian dan kebudayaan.
Terdapat 3 bentuk traumatis, yaitu :
- trauma
realistis,
- trauma
neurosis, dan
- trauma
moralistis
Akar ketiga trauma itu ialah trauma
realistis. Baik trauma neurosis maupun trauma moralistis memiliki dasar pada
trauma realistis.
Trauma realistis, bersumber pada dunia
nyata, sifatnya ekstra organis seperti ketakutan terhadap bencana alam, wabah,
musuh dsb. Trauma neurosis bersumber pada dunia batin sendiri, sifatnya intra
organis, seperti ketakutan adanya hukuman terhadap impuls-instinktif yang tak
terkendali. Trauma moralistis juga bersumber pada dunia batin sendiri, sifatnya
intra organis, seperti ketakutan berbuat dan berpikir melanggar norma-norma.
Menurut Freud jika “ego” atau “das
Ich” tidak dapat menguasai kecemasan dengan jalan rasional, maka akan
menghadapinya dengan jalan tidak realistis.
Itulah yang disebut mekanisme
pertahanan, seperti represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi.
Jika trumatis dapat ditanggulangi “ego” dengan proses derivat instink dan
pembentukan obyek substitusi akan lahir sublimasi yang justru menjadi sumber
kreativitas tinggi dan berkembangnya budaya manusia.
Tsunami Aceh
Seperti
telah diungkapkan dalam Pengajian Keduapuluh empat, tsunami Aceh (26/12/04)
terjadi akibat subdukasi tektonik si Samudera Hindia pada posisi selatan
Meulaboh, dekat Kepulauan Andemen Thailand dan Kepuluan Nicobar sebelah utara
Banda Aceh, dengan kekuatan masing-masing
8,9 SM, 5,8 SM dan 6,0 SM, berlangsung
pertama jam 07.58,50, kedua jam 09.15,57 dan ketiga jam 09.22,01. Gempa
tsunami pertama (2,9° LU/95,6° BT) menghantam Meulaboh, tsunami
kedua (12,37° LU/92,15° BT) menghantam Thailand , India , Maladewa , Bangladesh
hingga Somalia ,
dan tsunami ketiga (2,9° LU/95,6° BT) menghantam Banda Aceh, Sri Langka
dan Malaysia .
Anehnya,
subdukasi tektonik ini tidak diawali dengan gejala-gejala alam seperti eksodus
satwa dari habitat bakal bencana, mendung dan hujan deras disertai angin
taifun. Dan sesudahnya juga tidak tampak gejala alam baru seperti munculnya
kepulauan dan gunung gemunung, atau lenyapnya pulau atau sebuah gunung. Ketika
terjadi gempa tsunami langit dan alam pada umumnya cerah, matahari bersinar
terang dan langit bersih. Tiba-tiba gelombang naik setinggi 10 m menghantam
pantai dan daratan, membunuh dan menghancurkan semuanya. Di Banda Aceh gempa
berlangsung selama 10 menit. Durasi waktu yang sangat panjang untuk sebuah
gempa tektonik yang biasanya hanya berlangsung 3-5 menit.
Seperti telah disinggung pada
Pengajian Keduapuluh-empat secara tekhnis tsunami bisa dibuat dengan subdukasi
tektonik buatan, dengan penempatan mini nuklir tepat pada titik patahan
dilengkapi dengan pancaran gelombang elektromagnit untuk menuntun tembakan
laser dari satelit. Ini perlu penyelidikan mendalam. Ini sangat penting dan
mendasar, karena hampir semua orang menganggap bencana tsunami ini kemurkaan
Allah. Sehingga hampir semua orang, dan terutama orang Aceh melantunkan doa dan
pertobatan kepada Allah, menggapkan diri berdosa dan layak dibinasakan Allah
dengan tsunami. Bagaimana kalau ternyata ini karena rekayasa manusia belaka ? Benarkah
Allah merasa perlu membinasakan orang-orang Aceh yang beriman, yang tatkala
datang badai tsunami meneriakkan nama Allah dan bershalawat kepada Rasulullah ?
Pernahkah dalam sejarah kitabiyah Allah membinasakan orang-orang yang beriman
kepada-Nya dan berjuang menegakkan syari’at-Nya ? Kaum Sodom dan Amurah
(Gomorah) mereka dibinasakan Allah karena mendustakan ayat-ayat Allah dan
menentang Utusan Allah Nabi Luth a.s. Demikian pula Fir’aun dan balatentaranya
dibinasakan Allah karena mendustakan ayat-ayat Allah dan menentang Utusan Allah
Nabi Musa a.s. Sebaliknya orang-orang Aceh adalah ummat yang taat kepada
ayat-ayat Allah. Kepada mereka tidak pernah datang Utusan Allah, bagaimana
mendustakannya, sedangkan mereka taat kepada ajaran Rasulullah SAW. Mengapa
Allah perlu membinasakan mereka ? Jawabannya menjadi rumit dan fatalistik. Maka
perlu investigasi, apakah tsunami ini murni peristiwa alam atau rekayasa
manusia. ? Ini akan menentukan sikap dan penilaian kita terhadap masalah ini,
termasuk kaitannya dengan religiusitas Kaum Muslimin.
Restrukturisasi
Aceh
Orang
Aceh menderita trauma yang hebat. Sumbernya adalah kecemasan realistis, yaitu
badai tsunami, kemudian berkembang menjadi kecemasan neurosis dan moralistis
sekaligus. Orang Aceh yang menganggap badai tsunami ini hukuman Allah, menjadi
fatalisme mencari-cari kesalahan dan dosa diri supaya pantas menerima musibah
ini. Jika orang Aceh tidak dapat menghadapi masalah traumatis ini dengan
rasional, maka dia akan lari kepada hal-hal yang tidak realistis yang oleh
Freud disebut mekanisme pertahanan, yaitu bentuk-bentuk represi, proyeksi,
pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi, seperti telah diuraikan didepan.
Akibatnya akan mengalami kemunduran psikologis atau regresi. Ras yang berada dalam kondisi demikian akan lemah dan
bisa punah. Maka orang Aceh harus keluar dari situasi traumatis kepada
mekanisme sublimasi, melalui ekualisasi energi pada “ego” dengan proses regresi
bermotif kepada spirit dan nilai-nilai Tauhid “Alladziena yu’minuuna
bil-Ghoibi” agar dapat menemukan keseimbangan psyche pada fungsi transenden
serta pemusatan energi pada ego atau “das Ich”. Dari posisi itu akan
berlangsung proses derivat instink dan pembentukan obyek substitusi sehingga
orang Aceh akan dapat mencapai sublimasi. Terbentuk Gestalt yang mendorong
pikiran-pikiran baru yang membawa tindakan-tindakan baru dengan kreativitas
tinggi untuk survive, yang pada waktunya akan menjadi sumber nilai lahirnya
budaya baru orang Aceh yang justru merupakan progresitas dari budaya Aceh sebelum
tsunami. Untuk itu orang Aceh harus dibebaskan dari rasa dosa individu dan
kolektif, dibebaskan dari rasa dosa diri dan bagian dari ras yang terkutuk.
Untuk itu orang Aceh harus bisa memandang badai tsunami semata-mata sebagai
environment-interference, yang memerlukan reaksi-reaksi psikofisik agar
tercapai ekuilibrium baru yang kreatif yang dapat mengeluarkan orang Aceh dari
inkubasi traumatis kepada sublimasi kreatif. Spirit religiusitas harus lebih
substantif kepada nilai-nilai tertinggi dari “Alladziena yu’minuuna bil-Ghoibi”
yang berpuncak pada visi transcendental, dengan pancaran kasih kepada Allah dan
kasih kepada sesama manusia (Hablun-minallah dan Hablun-minannaas). Inilah
yang harus menjadi sumber kreativitas
Aceh Baru.
Tewasnya sebagian besar anggota GAM
dan para pendukung Maphilindo (vide, Pengajian Keduapuluh-empat), justru
memungkinkan restrukturisasi Aceh yang lebih sublimatif. Hadirnya pengaruh
Barat dalam proses bantuan bencana dan seterusnya, akan menjadi stimulus yang
penting dalam proses restrukturisasi dan reformasi sosial. Dan yang terlebih
penting adalah sekularisasi Aceh, yang memungkinkan daerah itu mengalami
akselerasi pembangunan ekonomi, bahkan menjadi lokomotip pertumbuhan ekonomi
kawasan ini diwaktu mendatang. Kualitas religius orang Aceh bahkan mungkin
menjadi lebih jernih, lebih transenden, dan tidak terpaku pada bentuk-bentuk
struktural yang mengundang banyak konflik, seperti yang sudah berlangsung
selama puluhan tahun sebelum bencana tsunami.
Sabang mungkin akan berkembang menjadi
kawasan zona perdagangan bebas yang akan menjadi lokomitip bergeraknya kemajuan
ekonomi dikawasan itu dengan pertumbuhan yang cukup tinggi yang kita harapkan
kelak berdampak besar bagi geliat ekonomi di kawasan Nusantara dan Asia
Tenggara pada umumnya. Jika kearah itu perkembangan perubahan Aceh, maka
artinya faktor pemurnian spirit Al-Ghoibi telah menempatkan konstitusi jiwa
Aceh pada progresitas sublimatif yang
berpengharapan tinggi. Insya Allah.
Sekian, kita lanjutkan pada bagian ke
IV Jum’at yang akan datang.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Pengasuh,
HAJI
AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar