Pengajian
Ketigapuluh Tujuh,
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Waidza
qielalahum aaminuu kamaa aamanannaasu; qooluu anu’minu kamaa aamanassufahaa’;
alaa innahum humumssufahaa’u walakinllaaya’lamuun” : “Apabila dikatakan kepada
mereka : “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang telah beriman”; mereka
menjawab : “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah
beriman?”; Ingatlah sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi
mereka tidak tahu”. (Al-Baqoroh 13).
Ayat tersebut diatas masih dalam rangkaian
ke 13 ayat tentang munafikien (QS 2 : 8-20), dan merupakan bagian ke-5, vide
Pengajian Ketigapuluh Tiga.
Pada masa ini mayoritas kaum Muslimin
terdiri orang-orang dari lapis bawah, bahkan diantaranya ialah para bekas budak
belian, petani, penggembala kambing, orang-orang dusun sahara seperti : Abu
Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abu Darda, Zaid bin Haritsah, Khabbab bin Ali
Arat, Shuhaib ar-Rumi, Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir dan lain –lain,
merupakan Assabiqunal Awwaluun, yang dibelakang hari mereka semua itu merupakan
sahabat-sahabat besar yang memainkan peranan penting dalam perkembangan awal Islam.
Para pembesar Quraisy yang pada umumnya kaya
raya dengan kekuasaan besar, memandang rendah dan bodoh para pengikut
Rasulullah itu. Mereka tidak ingin disamakan derajat sosialnya dengan
orang-orang yang berasal dari strata lapis bawah, yang dianggap lebih pantas
menjadi hamba sahaya dan budak belian mereka itu. Maka mereka menolak beriman.
Kata para pembesar Quraisy itu : “Akan berimankah kami seperti orang-orang
bodoh itu beriman ?”. Padahal melarang dan mencegah orang-orang mendengar
Al-Qur’an yang di baca kaum Muslimin, karena menyadari hebatnya pengaruh
psikologis Al-Qur’an terhadap jiwa bangsa Arab, adalah perbuatan yang
benar-benar bodoh. Artinya mereka sudah melihat betapa benarnya Al-Qur’an,
namun dengan sengaja mereka mengingkarinya.
Setelah gagal misi Utbah bin Rabi’ah
untuk menciptakan kompromi-sinkretis dengan Rasulullah SAW, pada dasarnya
kondisi kejiwaan para penguasa Quraisy kembali kepada keyakinan lama atau
fiksasi regresi sebagaimana telah disebut pada Pengajian Ketigapuluh Enam.
Gestalt dari fiksasi regresi ialah ingin mempertahankan kenikmatan yang sudah
pernah dicapai pada masa penyembahan berhala, yang dirasa terancam dengan
datangnya ajaran agama Islam. Aspek traumatis dalam mekanisme kejiwaan ini
melahirkan mekanisme pertahanan das Ich dengan menolak stimulus baru berupa
ajaran Islam kedalam indeks skemata, karena tidak seseuai dengan ekuilibrium
psiko-kognitif yang sudah terbentuk sebelumnya. Ini melahirkan gestalt yang
tidak wajar yang sifatnya tidak kreatif dan kontra-produktif dengan mendorong
perilaku yang absurd seperti dicontohkan diatas.
Prinsip agnostic
Seperti pada umumnya kaum penyembah
berhala, para penguasa Quraisy lebih mengedepankan nilai-nilai agnostik yang
sifatnya kenikmatan inderawi daripada nilai-nilai yang lain. Apalagi
nilai-nilai transenden yang sifatnya kenikmatan ukhrowi yang memang tidak
dikenal dalam ajaran-ajaran agama berhala. Perhatikan Epos Gilgames pada Pengajian Ketigapuluh Enam yang mencari
keabadian dalam kehidupan di bumi, karena memang tidak mengenal adanya keabadian
di alam akherat. Kekuasaan dan kekayaan dalam apersepsi Abu Jahal dkk merupakan
pencapaian kenikmatan inderawi yang sangat penting artinya bagi prinsip prinsip
kejiwaan mereka yang lebih didominasi das Es, yaitu hawa nafsu mengejar
kenikmatan yang bersumber dari instink-instink hewani, vide Pengajian Pertama.
Itulah sebabnya mereka merasa tidak berguna
beriman kepada ajaran Muhammad SAW yang meletakkan tujuan akhirnya pada kebahagiaan
akherat yang transenden yang sungguh tidak dapat dimengerti oleh psiko-kognitif
mereka (vide, Pengajian Ketigapuluh Tiga, Empat, Lima dan Enam). Itulah sebabnya Allah
mengatakan dalam firman tersebut diatas, bahwa sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang tidak tahu kebodohan diri sendiri”. Sesungguhnya karakter yang
ditunjukkan Umar bin Hisyam atau yang terkenal dengan sebutan Abu Jahal dkk itu
tetap hidup dikalangan jenis manusia, bahkan hingga masa sekarang, yaitu
orang-orang yang hidup dengan dominasi impuls-stomach,
dengan perangai tamak dan rakus, tanpa kenal etika dan rasa malu. Seperti
misalnya minta imbalan uang untuk datang ke pengajian, dsb.
Dalam kaitannya dengan sikap para
penguasa dan bangsawa Quraisy itu, Allah berfirman : “Wa maa arsalnaa fi qoryatin-minnadzirin illa qoola murofuuhaa innaa
bimaa ursiltum bihi kafiruun (34). Wa qooluu nahnu aktsaruu amwaalan wa
aolaadan wa maa nahnu bimu’adzabien (35).: “Dan Kami tidak mengutus kepada
suatu negeri seorang pemberi peringatan-pun, melainkan orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu berkata : “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu
diutus untuk menyampaikannya (34). Dan mereka berkata : “kami lebih banyak
mempunya harta dan anak-anak (daripada kamu), dan kami sekali-kali tidak akan
di adzab” (35). (Saba : 34-35).
Pandangan hedonisme yang bertumpu pada
prinsip agnostik itu jelas kekeliruan yang mendasar, karena hanya
mempertahankan kefanaan yang sia-sia. Itu perbuatan menipu diri sendiri. Keabadian
inderawi seperti dalam Epos Gilgames
adalah kesesatan, karena muskil dan tetap akan sirna, karena dunia ini akan
sirna kembali pada totalitas konstansi an-organis. Keabadian yang hakiki dan
transcendental hanya ada pada kehidupan sesudah mati di alam akhirat
Reaksi Romawi
Kaisar Romawi Timur Heraclius (610-630 M) berkirim surat meminta kedatangan
pemimpin Quraisy Abu Sufyan bin Harb ke Baitul Maqdis atau Yerussalem. Abu
Sufyan yang waktu itu belum masuk Islam, bahkan merupakan pemegang tampuk
kekuasaan tertinggi Quraisy. Itulah sebabnya ia diundang Heraclius. Diiringi sejumlah pengikutnya dari kalangan bangsawan Quraisy,
Abu Sufyan menghadap Heraclius penguasa Romawi Timur didepan majelis para
pembesar Kekaisaran Romawi di Yerussalem.
Kaisar Heraclius berkata : “Siapakah
diantara kalian yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan laki-laki
yang mengaku dirinya nabi itu ?”.
“Sayalah keluarga terdekat dengannya”,
jawab Abu Sufyan.
“Apakah ia seorang bangsawan
dilingkunganmu ?”, tanya Heraclius.
“Benar, ia seorang bangsawan
dilingkungan kami”, jawab Abu Sufyan.
“Pernahkah orang lain sebelumnya
berdakwah tentang ajaran agama seperti dirinya ?” tanya Heraclius.
“Tidak pernah”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah diantara nenek moyangnya ada
yang menjadi raja ?” tanya Heraclius.
“Tidak ada”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah pengikutnya terdiri
orang-orang mulia atau orang-orang biasa ?’, tanya Heraclius.
“Pengikutnya hanya terdiri orang-orang
biasa”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah pengikutnya selalu bertambah
atau berkurang ?”, tanya Heraclius.
“Pengikutnya selalu bertambah”, jawab
Abu Sufyan.
“Apakah ada yang murtad ?”, tanya
Heraclius.
“Tidak ada”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah kamu menaruh curiga sebelumnya,
ia berdusta ?”, tanya Heraclius.
“Tidak”, jawab Abu Sufyan.
“Pernahkah ia melanggar janji ?”,
tanya Heraclius.
“Ia selalu menepati janji. Sekarang
kami sedang dalam perjanjian damai (gencatan senjata) dengannya”, jawab Abu
Sufyan.
“Bagaimanakah peperanganmu dengannya
?”, tanya Haraclius.
“Kalah dan menang, silih berganti”,
jawab Abu Sufyan.
“Apa yang diperintahkannya kepada kamu semua ?”, tanya Heraclius.
“Kami diperintahkan menyembah Allah
semata-mata dan tidak mempersekutukanNya, meninggalkan ajaran nenek moyang
kami, menegakkan sholat, berlaku jujur, sopan dan mempererat persaudaraan
Heraclius :
“Hai Abu Sufyan, Rasul-rasul yang
terdahulu adalah orang-orang bangsawan. Dan seorang Rasul tidaklah meniru-niru
ucapan orang sebelumnya. Dan tidak menuntut tahta kerajaan warisan nenek
moyangnya. Tidak berdusta kepada manusia dan Allah. Pengikut para Rasul adalah
dari kalangan rakyat biasa, dan terus bertambah banyak karena iman yang semakin
sempurna. Tidak ada yang murtad diantara mereka karena imannya yang semakin
merasuk kedalam hati. Para Rasul tidak pernah melanggar janji. Dan laki-laki
yang mengaku nabi itu menyuruhmu menyembah Allah semata tanpa
mempersekutukannya, melarang kalian menyembah berhala, menyuruh menegakkan
sholat, berlaku jujur dan sopan. Jika benar semua kata-katamu itu hai Abu
Sofyan, maka dia akan memerintah sampai di kedua telapak kakiku berpijak saat
ini. Sesungguhnya aku sudah tahu bahwa ia akan lahir. Tetapi aku tidak mengira
ia lahir diantara kalian. Sekiranya aku yakin akan dapat bertemu dengannya,
walaupun sukar aku akan menemuinya dan akan kucuci kedua telapak kakinya”. (HR.
Bukhari dari Ibnu Abas r.a).
Sungguh luar biasa tanggapan Kaisar
Haraclius penguasa Romawi Timur yang besar itu, yang bahkan menyentuh hati Abu
Sufyan, menyadarkan kebodohannya dan para pemimpin Quraisy, dan ia merasakan
dirinya bakal masuk Islam (HR. Bukhari).
Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Pengasuh,
HAJI
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar