7.7.17

Pengajian Ketigapuluh Tujuh,-TWU






Pengajian Ketigapuluh Tujuh,





Assalamu’alaikum War. Wab.

“Waidza qielalahum aaminuu kamaa aamanannaasu; qooluu anu’minu kamaa aamanassufahaa’; alaa innahum humumssufahaa’u walakinllaaya’lamuun” : “Apabila dikatakan kepada mereka : “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang telah beriman”; mereka menjawab : “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?”; Ingatlah sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu”. (Al-Baqoroh 13).

Ayat tersebut diatas masih dalam rangkaian ke 13 ayat tentang munafikien (QS 2 : 8-20), dan merupakan bagian ke-5, vide Pengajian Ketigapuluh Tiga.

Para pembesar Quraisy memerintahkan agar orang banyak yang belum menjadi pengikut Rasululullah SAW dilarang dan dicegah untuk mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Sementara itu dilakukan aksi-aksi untuk mencemooh ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dibaca Rasulullah SAW. Tujuannya untuk membuat ragu-ragu orang-orang yang membacanya, sehingga dapat dikalahkan. Hal itu mereka lakukan, karena mereka menyadari, jika orang-orang mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dibaca kaum Muslimin, akan tertariklah hati mereka (Al-Fushilat : 26).

Pada masa ini mayoritas kaum Muslimin terdiri orang-orang dari lapis bawah, bahkan diantaranya ialah para bekas budak belian, petani, penggembala kambing, orang-orang dusun sahara seperti : Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abu Darda, Zaid bin Haritsah, Khabbab bin Ali Arat, Shuhaib ar-Rumi, Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir dan lain –lain, merupakan Assabiqunal Awwaluun, yang dibelakang hari mereka semua itu merupakan sahabat-sahabat besar yang memainkan peranan penting dalam perkembangan awal Islam. Para pembesar Quraisy yang pada umumnya kaya raya dengan kekuasaan besar, memandang rendah dan bodoh para pengikut Rasulullah itu. Mereka tidak ingin disamakan derajat sosialnya dengan orang-orang yang berasal dari strata lapis bawah, yang dianggap lebih pantas menjadi hamba sahaya dan budak belian mereka itu. Maka mereka menolak beriman. Kata para pembesar Quraisy itu : “Akan berimankah kami seperti orang-orang bodoh itu beriman ?”. Padahal melarang dan mencegah orang-orang mendengar Al-Qur’an yang di baca kaum Muslimin, karena menyadari hebatnya pengaruh psikologis Al-Qur’an terhadap jiwa bangsa Arab, adalah perbuatan yang benar-benar bodoh. Artinya mereka sudah melihat betapa benarnya Al-Qur’an, namun dengan sengaja mereka mengingkarinya.

Setelah gagal misi Utbah bin Rabi’ah untuk menciptakan kompromi-sinkretis dengan Rasulullah SAW, pada dasarnya kondisi kejiwaan para penguasa Quraisy kembali kepada keyakinan lama atau fiksasi regresi sebagaimana telah disebut pada Pengajian Ketigapuluh Enam. Gestalt dari fiksasi regresi ialah ingin mempertahankan kenikmatan yang sudah pernah dicapai pada masa penyembahan berhala, yang dirasa terancam dengan datangnya ajaran agama Islam. Aspek traumatis dalam mekanisme kejiwaan ini melahirkan mekanisme pertahanan das Ich dengan menolak stimulus baru berupa ajaran Islam kedalam indeks skemata, karena tidak seseuai dengan ekuilibrium psiko-kognitif yang sudah terbentuk sebelumnya. Ini melahirkan gestalt yang tidak wajar yang sifatnya tidak kreatif dan kontra-produktif dengan mendorong perilaku yang absurd seperti dicontohkan diatas.

Prinsip agnostic

Seperti pada umumnya kaum penyembah berhala, para penguasa Quraisy lebih mengedepankan nilai-nilai agnostik yang sifatnya kenikmatan inderawi daripada nilai-nilai yang lain. Apalagi nilai-nilai transenden yang sifatnya kenikmatan ukhrowi yang memang tidak dikenal dalam ajaran-ajaran agama berhala. Perhatikan Epos Gilgames pada Pengajian Ketigapuluh Enam yang mencari keabadian dalam kehidupan di bumi, karena memang tidak mengenal adanya keabadian di alam akherat. Kekuasaan dan kekayaan dalam apersepsi Abu Jahal dkk merupakan pencapaian kenikmatan inderawi yang sangat penting artinya bagi prinsip prinsip kejiwaan mereka yang lebih didominasi das Es, yaitu hawa nafsu mengejar kenikmatan yang bersumber dari instink-instink hewani, vide  Pengajian Pertama.
Itulah sebabnya mereka merasa tidak berguna beriman kepada ajaran Muhammad SAW yang meletakkan tujuan akhirnya pada kebahagiaan akherat yang transenden yang sungguh tidak dapat dimengerti oleh psiko-kognitif mereka (vide, Pengajian Ketigapuluh Tiga, Empat, Lima dan Enam). Itulah sebabnya Allah mengatakan dalam firman tersebut diatas, bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak tahu kebodohan diri sendiri”. Sesungguhnya karakter yang ditunjukkan Umar bin Hisyam atau yang terkenal dengan sebutan Abu Jahal dkk itu tetap hidup dikalangan jenis manusia, bahkan hingga masa sekarang, yaitu orang-orang yang hidup dengan dominasi impuls-stomach, dengan perangai tamak dan rakus, tanpa kenal etika dan rasa malu. Seperti misalnya minta imbalan uang untuk datang ke pengajian, dsb.

Dalam kaitannya dengan sikap para penguasa dan bangsawa Quraisy itu, Allah berfirman : “Wa maa arsalnaa fi qoryatin-minnadzirin illa qoola murofuuhaa innaa bimaa ursiltum bihi kafiruun (34). Wa qooluu nahnu aktsaruu amwaalan wa aolaadan wa maa nahnu bimu’adzabien (35).: “Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan-pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata : “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya (34). Dan mereka berkata : “kami lebih banyak mempunya harta dan anak-anak (daripada kamu), dan kami sekali-kali tidak akan di adzab” (35). (Saba : 34-35).

Pandangan hedonisme yang bertumpu pada prinsip agnostik itu jelas kekeliruan yang mendasar, karena hanya mempertahankan kefanaan yang sia-sia. Itu perbuatan menipu diri sendiri. Keabadian inderawi seperti dalam Epos Gilgames adalah kesesatan, karena muskil dan tetap akan sirna, karena dunia ini akan sirna kembali pada totalitas konstansi an-organis. Keabadian yang hakiki dan transcendental hanya ada pada kehidupan sesudah mati di alam akhirat

Reaksi Romawi

Kaisar Romawi Timur Heraclius (610-630 M) berkirim surat meminta kedatangan pemimpin Quraisy Abu Sufyan bin Harb ke Baitul Maqdis atau Yerussalem. Abu Sufyan yang waktu itu belum masuk Islam, bahkan merupakan pemegang tampuk kekuasaan tertinggi Quraisy. Itulah sebabnya ia diundang Heraclius. Diiringi sejumlah pengikutnya dari kalangan bangsawan Quraisy, Abu Sufyan menghadap Heraclius penguasa Romawi Timur didepan majelis para pembesar Kekaisaran Romawi di Yerussalem.
Kaisar Heraclius berkata : “Siapakah diantara kalian yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan laki-laki yang mengaku dirinya nabi itu ?”.
“Sayalah keluarga terdekat dengannya”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah ia seorang bangsawan dilingkunganmu ?”, tanya Heraclius.
“Benar, ia seorang bangsawan dilingkungan kami”, jawab Abu Sufyan.
“Pernahkah orang lain sebelumnya berdakwah tentang ajaran agama seperti dirinya ?” tanya Heraclius.
“Tidak pernah”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah diantara nenek moyangnya ada yang menjadi raja ?” tanya Heraclius.
“Tidak ada”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah pengikutnya terdiri orang-orang mulia atau orang-orang biasa ?’, tanya Heraclius.
“Pengikutnya hanya terdiri orang-orang biasa”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah pengikutnya selalu bertambah atau berkurang ?”, tanya Heraclius.
“Pengikutnya selalu bertambah”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah ada yang murtad ?”, tanya Heraclius.
“Tidak ada”, jawab Abu Sufyan.
“Apakah kamu menaruh curiga sebelumnya, ia berdusta ?”, tanya Heraclius.
“Tidak”, jawab Abu Sufyan.
“Pernahkah ia melanggar janji ?”, tanya Heraclius.
“Ia selalu menepati janji. Sekarang kami sedang dalam perjanjian damai (gencatan senjata) dengannya”, jawab Abu Sufyan.
“Bagaimanakah peperanganmu dengannya ?”, tanya Haraclius.
“Kalah dan menang, silih berganti”, jawab Abu Sufyan.
“Apa yang diperintahkannya kepada  kamu semua ?”, tanya Heraclius.
“Kami diperintahkan menyembah Allah semata-mata dan tidak mempersekutukanNya, meninggalkan ajaran nenek moyang kami, menegakkan sholat, berlaku jujur, sopan dan mempererat persaudaraan

Heraclius :
“Hai Abu Sufyan, Rasul-rasul yang terdahulu adalah orang-orang bangsawan. Dan seorang Rasul tidaklah meniru-niru ucapan orang sebelumnya. Dan tidak menuntut tahta kerajaan warisan nenek moyangnya. Tidak berdusta kepada manusia dan Allah. Pengikut para Rasul adalah dari kalangan rakyat biasa, dan terus bertambah banyak karena iman yang semakin sempurna. Tidak ada yang murtad diantara mereka karena imannya yang semakin merasuk kedalam hati. Para Rasul tidak pernah melanggar janji. Dan laki-laki yang mengaku nabi itu menyuruhmu menyembah Allah semata tanpa mempersekutukannya, melarang kalian menyembah berhala, menyuruh menegakkan sholat, berlaku jujur dan sopan. Jika benar semua kata-katamu itu hai Abu Sofyan, maka dia akan memerintah sampai di kedua telapak kakiku berpijak saat ini. Sesungguhnya aku sudah tahu bahwa ia akan lahir. Tetapi aku tidak mengira ia lahir diantara kalian. Sekiranya aku yakin akan dapat bertemu dengannya, walaupun sukar aku akan menemuinya dan akan kucuci kedua telapak kakinya”. (HR. Bukhari dari Ibnu Abas r.a).

Sungguh luar biasa tanggapan Kaisar Haraclius penguasa Romawi Timur yang besar itu, yang bahkan menyentuh hati Abu Sufyan, menyadarkan kebodohannya dan para pemimpin Quraisy, dan ia merasakan dirinya bakal masuk Islam (HR. Bukhari).
Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 7 April 2005,
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional



Tidak ada komentar:

Posting Komentar