7.7.17

Pengajian Ketigapuluh Enam, Jakarta, 1/4/2005






Pengajian Ketigapuluh Enam, Jakarta, 1/4/2005



Assalamu’alaikum War. Wab.

“Wa idza qielalahum laatufsiduu fil-ardhi; qooluu innamaa nahnu mushlihuun (11). Alaa innahum humulomufsiduuna wa lakin llaa yasy’uruun (12)” : “Dan bila dikatakan kepada mereka : “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab : “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (11). Ingatlah sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (12). (Al-Baqoroh : 11-12).
Kedua ayat tersebut merupakan bagian  keempat dan kelima dari ke-13 ayat tentang munafikien, vide Pengajian Ketigapuluh Tiga.
Substansi kedua ayat tsb menggambarkan perspektif autis orang-orang munafik yang tidak menyadari perubahan. Autisme adalah proses kejiwaan yang gagal, tidak mencapai progresi, dan mengalami fiksasi regresi pada perkembangan kejiwaan sebelumnya. Maka mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka membuat kerusakan. Mereka merasa berpijak pada nilai-nilai kebenaran agama berhala nenek moyang yang telah mereka anut selama ribuan tahun Justru mereka merasa tengah melakukan perbaikan dari kemungkinan kerusakan yang justru ditimbulkan kalangan Islam sebagai kekuatan pembaruan yang berkembang kuat saat itu, dan mengancam kedudukan mereka.
Sebagai bukti historiografis mari kita simak kisah Utbah bin Rabi’ah, seorang diplomat ulung utusan penguasa Quraisy yang melakukan negoisasi dengan Rasulullah SAW untuk mencari jalan terbaik bagi kepentingan bangsa Arab versi penguasa Quraisy. Pertemuan berlangsung dikediaman Abu Thalib pamanda Nabi yang dikenal sebagai pelindung dan pembela Nabi SAW.
Maka berkatalah Utbah bin Rabi’ah :
“Hai Muhammad apa motifmu dengan agama barumu ? Jika engkau ingin menjadi raja, kami akan mengangkatmu menjadi raja kami. Jika engkau menginginkan harta dan wanita, kami akan menyerahkannya kepadamu berapapun yang kamu inginkan, asalkan kamu meninggalkan agamamu dan kembali kepada agama kami yaitu agama nenek moyangmu yang telah memberikan kekuatan dan kejayaan negara dan bangsa-mu”.
Rasulullah SAW menjawab :
“Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu; telah diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan-mu adalah Allah Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya, dan kecelakaan besar bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya (Qul-innamaa anaa basyarunmmitslukum, yuu-haa ilayya : annamaa ilaahukum ilaahunwahidun fastaqiemuu ilaihi wastaghfiruh; waelunllilmusrikien)” (Al-Fushshilat : 6) . .. (Selengkapnya merupakan rangkaian surat Al-Fushshilat.1-14)
Utbah bin Rabi’ah diam terpesona oleh rangkaian kalimat jawaban Rasulullah SAW yang demikian hebat yang sesungguhnya adalah wahyu yang sengaja diturunkan Allah untuk menjawab permasalahan yang sudah menyangkut eksistensi bangsa dan negara itu
 Selanjutnya Utbah bin Rabi’ah :
“Hai Muhammad demi persatuan bangsa kita, marilah engkau dan pengikutmu berkompromi dengan kami, dengan cara selama satu tahun engkau dan pengikutmu bersama kami menyembah tuhan nenek moyang kita berhala Latta dan Uzza , dan setahun berikutnya kami semua menyembah Allah tuhan-mu. Tuhan mana yang lebih baik setelah masa kompromi, kita teruskan untuk menyembahnya bersama-sama”.

Tak-tik diplomasi dengan mengangkat-angkat tema persatuan bangsa seperti kebanyakan para penguasa duniawi, tidak menggoyahkan misi tauhid Rasulullah. Beliau SAW menjawab dengan tegas :
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu-pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku”(“Lakum dienukum wa liya dien”). (Selengkapnya adalah surat Al-Kafiruun 1-6).
Utbah bin Rabi’ah tertegun dengan jawaban yang begitu hebat dan memukau hatinya. Lalu katanya dengan nada rendah : “Baiklah Muhammad, aku tidak sanggup membantah kata-katamu. Tetapi dapatkah kau menggunakan kata-kata yang lebih lunak dari yang biasa kamu lakukan dalam syiar agamamu, agar tidak menyinggung kehormatan kami, para pemimpin, cendekiawan dan leluhur kami”.
Rasulullah SAW menjawab :  “Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” (“inna attabi’u illa ma yuuha ilayya”) (Jawaban selengkapnya merupakan rangkaian surat Yunus 15-16).
Utbah bin Rabi’ah dengan hati gundah kembali kepada para pengutusnya dan dengan terus terang ia mengatakan : “Aku tidak sanggup menaklukkan Muhammad. Bahkan membantah perkataannya saja aku tidak sanggup”.
Bagi para penguasa Quraisy misi Utbah bin Rabi’ah adalah dalam rangka upaya perbaikan situasi menurut versi mereka atau rekonsolidasi dalam bahasa sekarang, yang dirasakan perlu untuk menyelamatkan kestabilan kekuasaan Quraisy, karena meluasnya ancaman perpecahan sebagai akibat dari semakin kuatnya pengaruh dakwah Rasulullah SAW di seantero Hejaz waktu itu. Dari sudut pandang Al-Qur’an upaya para penguasa Quraisy itu jelas merupakan bentuk pengrusakan dan penyesatan yang bermaksud mematikan tauhid dan mengakhiri Islam. Tentu mereka tidak berdiri pada point of reference ini, maka mereka tidak menyadari betapa mereka telah berupaya membuat kerusakan terhadap prinsip ketauhidan yang transenden.


Sinkretisme-Nasionalisme
Solusi yang ditawarkan Utbah bin Rabi’ah adalah sinkretisme sebagai dasar persatuan nasional. Nilai tertinggi adalah persatuan nasional,  yang oleh Utbah bin Rabi’ah ditempatkan sebagai berhala baru. Pandangan ini dengan tegas ditolak Rasulullah SAW yang menempatkan ketauhidan sebagai mainstream dan nilai tertinggi dan tidak mengkompromikan dengan nilai-nilai spiritual yang lain.
Pola sinkretisme Utbah bin Rabi’ah adalah pola yang sama yang ditawarkan Fir’aun kepada Musa a.s.pada abad 15 SM yang juga ditolak mentah-mentah.
Baik Fir’aun maupun Utbah mewakili ketidaksadaran kolektif bangsa Arab dan ras Timur Tengah pada umumnya yang selama ribuan tahun hidup dalam kebudayaan dan peradaban mitologi agama-agama purba yang menjadi Roh Obyektif dan sudah barangtentu mempengaruhi Roh Subyektif masing-masing individu (vide, Pengajian Ketigapuluh Tiga dan Empat). Modal Personality Arab pada dasarnya terbentuk oleh mite-mite berhalaisme. Demikian pula Basic Personality Strucutur Kaum Quraisy Hejaz. Inilah yang dihadapi Rasululullah SAW. Bukan sekedar menghadapi Utbah bin Rabi’ah dan para penguasa Quraisy, tetapi menghadapi ketidaksadaran kolekif nilai-nilai kebudayaan dan peradaban mitologis yang telah berurat akar di bumi Arab sejak abad ke-17 SM, yaitu zaman kebesaran berhala Enlil dengan Epos Atrahasis-nya. (vide, Pengajian Ketigapuluh Empat). Bahkan mainstream dewa-dewa Babel (Babilonia) dari zaman abad ke 20 SM sudah memengaruhi kebudayaan ras Timur Tengah termasuk Arab purba. Diantara yang terkenal adalah “Epos Gilgames”. Gilgames adalah raja kota Erekh atau Uruk di Babel Selatan yang berpetualang mencari kekekalan dalam arti agnostic. Ia mengunjungi seorang yang telah mencapai kekekalan bernama Up napistim yang seperti Atrahasis adalah padanan “Nabi Nuh” versi berhalaisme. Up-Napistim memberitahu Gilgames bahwa ia telah diperingatkan seorang dewa perihal akan datangnya air bah yang melanda dunia. Dewan para dewa mengambil keputuskan melenyapkan manusia dengan air bah karena keributan mereka dimuka bumi telah mengganggu istirahat para dewa-dewi. Seorang dewa meminta Up-napistim untuk membangun sebuah kapal besar yang akan menyelamatkan diri dan keluarganya serta segala binatang-binatang. Maka tatkala datang air bah, kapal Up-napistim berlayar ditengah kegelapan yang menyelimuti dunia dan akhirnya kandas di Gunung Nisir yang cerah. Sebelum turun dari kapal Up-napistim melepas seekor merpati dan seekor gagak, untuk meyakinkan air telah surut. Up-napistim kemudian mempersembahkan korban kepada para dewa, dan memperoleh anugerah kekekalan dari mahadewa.
Mite-mite seperti ini masih hidup dalam ketidaksadaran kolektif ras Arabia. Tentu Rasulullah SAW seperti halnya Musa dan Isa tidak sudi berkompromi dengan nilai-nilai peradaban takhayul yang justru merupakan arkhe dari kemusyrikan itu sendiri yang harus dilenyapkan dari struktur nilai peradaban umat manusia.
Bahkan dengan alasan nasionalisme seperti yang didalilkan Utbah bin Rabi’ah, Rasulullah SAW tetap tidak goyah, karena nasionalisme hanyalah sebuah substruktur nilai ijtima’iyyah (duniawi) yang nisbi. Ketauhidan adalah mainstream nilai-nilai transenden (ukhrowi) yang hakiki yang menjadi sumber nilai semua bentuk kehidupan, termasuk kehidupan negara-negara bangsa.
Spirit perubahan
Pemimpin suku Rabi’ah yang telah masuk Islam menghadap Rasulullah : “Ya Rasulullah, berilah kami perintah yang menentukan yang akan kami sampaikan kepada kaum kami, yang dengan melaksanakannya kami masuk sorga”.
Dengan tegas Rasulullah SAW menjawab :
“Al-Islamu, an-ta’budullaha wa laa tusyriku bihi syai’a” :Laksanakanlah Islam dengan menyembah Allah semata-mata dan tidak mensekutukanNya dengan apapun” (Shahih Muslim).
Inilah penegasan yang pasti yang menjadi spirit perubahan besar di dunia pada lintasan abad ke 6-7;Inilah Revolusi Hijrah, revolusi monotheisme, yang mengeluarkan manusia dari mitos kemusyrikan yang agnostic kepada realitas Tauhid yang transenden.  Inilah revolusi yang mengeluarkan umat manusia dari ekspresi instink-instink hewani kepada sublimasi akhlaqul-karimah. Inilah perubahan besar kebudayaan dan peradaban dunia dari menyembah dewa-dewa berhala yang gelap dan mati kepada kecerahan menyembah Allah Zat Tunggal Yang Kekal dan transenden. Inilah proses perubahan “minadzzulumati ilan-nnur”, dari kegelapan hawa nafsu kepada cahaya Iman yang terang benderang, yang mengantarkan dunia kepada emansipasi akal pikiran dan peradaban manusia pada puncak-puncaknya yang tertinggi.
Dimanakah letak Bangsa Indonesia dalam gerak perubahan dunia ?. Kita ikut serta tetapi tidak di lapis yang pertama, karena kita bahkan hingga hari ini masih terjebak dalam ketidaksadaran kolektif mitologi Paganisme dan sinkretisme Shiwa-Buddha yang mewarnai kebudayaan dan peradabaan Islam di tanah air. Kita belum benar-benar berada dalam spirit perubahan yang berasaskan Tauhid sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW ketika menghadapi sinkretisme-nasionalisme yang ditawarkan Utbah bin Rabi’ah.
Kapankah kita memulai suatu langkah yang menentukan seperti yang diminta oleh kabilah Bani Rabi’ah ? Dan bagaimana kita menjawab pertanyaan mendasar dari Isa Al-Masih. a.s (Yesus) : “Kapankah engkau dapat (memimpin) menunjukkan jalan kepada orang-orang yang berjalan di malam gelap, padahal engkau sendiri tetap tinggal bersama orang-orang yang kebingungan?” (Ihya-Al Ghazalie).
Sekian, semoga bencana seperti yang terjadi di Pulau Nias sekarang ini mengingatkan kita akan tugas-tugas ukhrowi yang belum terselesaikan sebagaimana mestinya. Kita berbela sungkawa dan berdo’a kepada Allah agar diampuni dan diselamatkan di dunia ini dan di akherat kelak.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,

Wassalamu’alaikum War. WAb.
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar