Pengajian
Ketigapuluh Enam, Jakarta, 1/4/2005
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Wa
idza qielalahum laatufsiduu fil-ardhi; qooluu innamaa nahnu mushlihuun (11).
Alaa innahum humulomufsiduuna wa lakin llaa yasy’uruun (12)” : “Dan bila
dikatakan kepada mereka : “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.
Mereka menjawab : “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
(11). Ingatlah sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan,
tetapi mereka tidak sadar” (12). (Al-Baqoroh : 11-12).
Kedua ayat tersebut merupakan
bagian keempat dan kelima dari ke-13
ayat tentang munafikien, vide Pengajian Ketigapuluh Tiga.
Substansi kedua ayat tsb menggambarkan
perspektif autis orang-orang munafik yang tidak menyadari perubahan. Autisme
adalah proses kejiwaan yang gagal, tidak mencapai progresi, dan mengalami
fiksasi regresi pada perkembangan kejiwaan sebelumnya. Maka mereka tidak
menyadari bahwa sesungguhnya mereka membuat kerusakan. Mereka merasa berpijak
pada nilai-nilai kebenaran agama berhala nenek moyang yang telah mereka anut
selama ribuan tahun Justru mereka merasa tengah melakukan perbaikan dari
kemungkinan kerusakan yang justru ditimbulkan kalangan Islam sebagai kekuatan
pembaruan yang berkembang kuat saat itu, dan mengancam kedudukan mereka.
Sebagai bukti historiografis mari kita
simak kisah Utbah bin Rabi’ah, seorang
diplomat ulung utusan penguasa Quraisy yang
melakukan negoisasi dengan Rasulullah
SAW untuk mencari jalan terbaik bagi kepentingan bangsa Arab versi penguasa
Quraisy. Pertemuan berlangsung dikediaman Abu Thalib pamanda Nabi yang dikenal
sebagai pelindung dan pembela Nabi SAW.
Maka berkatalah Utbah bin Rabi’ah :
“Hai Muhammad apa motifmu dengan agama
barumu ? Jika engkau ingin menjadi raja, kami akan mengangkatmu menjadi raja
kami. Jika engkau menginginkan harta dan wanita, kami akan menyerahkannya
kepadamu berapapun yang kamu inginkan, asalkan kamu meninggalkan agamamu dan
kembali kepada agama kami yaitu agama nenek moyangmu yang telah memberikan
kekuatan dan kejayaan negara dan bangsa-mu”.
Rasulullah SAW menjawab :
“Aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu; telah diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan-mu adalah Allah Yang Maha Esa,
maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya, dan kecelakaan besar bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya (Qul-innamaa anaa basyarunmmitslukum,
yuu-haa ilayya : annamaa ilaahukum ilaahunwahidun fastaqiemuu ilaihi
wastaghfiruh; waelunllilmusrikien)” (Al-Fushshilat : 6) . .. (Selengkapnya
merupakan rangkaian surat
Al-Fushshilat.1-14)
Utbah bin Rabi’ah diam terpesona oleh
rangkaian kalimat jawaban Rasulullah SAW yang demikian hebat yang sesungguhnya
adalah wahyu yang sengaja diturunkan Allah untuk menjawab permasalahan yang
sudah menyangkut eksistensi bangsa dan negara itu
Selanjutnya Utbah bin Rabi’ah :
“Hai Muhammad demi persatuan bangsa
kita, marilah engkau dan pengikutmu berkompromi dengan kami, dengan cara selama
satu tahun engkau dan pengikutmu bersama kami menyembah tuhan nenek moyang kita
berhala Latta dan Uzza , dan setahun berikutnya kami semua menyembah Allah tuhan-mu.
Tuhan mana yang lebih baik setelah masa kompromi, kita teruskan untuk
menyembahnya bersama-sama”.
Tak-tik diplomasi dengan
mengangkat-angkat tema persatuan bangsa seperti kebanyakan para penguasa
duniawi, tidak menggoyahkan misi tauhid Rasulullah. Beliau SAW menjawab dengan
tegas :
“Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu-pun tidak pernah menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku”(“Lakum dienukum wa liya dien”).
(Selengkapnya adalah surat
Al-Kafiruun 1-6).
Utbah bin Rabi’ah tertegun dengan
jawaban yang begitu hebat dan memukau hatinya. Lalu katanya dengan nada rendah
: “Baiklah Muhammad, aku tidak sanggup membantah kata-katamu. Tetapi dapatkah
kau menggunakan kata-kata yang lebih lunak dari yang biasa kamu lakukan dalam syiar
agamamu, agar tidak menyinggung kehormatan kami, para pemimpin, cendekiawan dan
leluhur kami”.
Rasulullah SAW menjawab : “Aku tidak mengikuti kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku” (“inna attabi’u illa
ma yuuha ilayya”) (Jawaban selengkapnya merupakan rangkaian surat Yunus 15-16).
Utbah bin Rabi’ah dengan hati gundah
kembali kepada para pengutusnya dan dengan terus terang ia mengatakan : “Aku
tidak sanggup menaklukkan Muhammad. Bahkan membantah perkataannya saja aku
tidak sanggup”.
Bagi para penguasa Quraisy misi Utbah
bin Rabi’ah adalah dalam rangka upaya perbaikan situasi menurut versi mereka
atau rekonsolidasi dalam bahasa sekarang, yang dirasakan perlu untuk
menyelamatkan kestabilan kekuasaan Quraisy, karena meluasnya ancaman perpecahan
sebagai akibat dari semakin kuatnya pengaruh dakwah Rasulullah SAW di seantero Hejaz waktu itu. Dari sudut pandang Al-Qur’an upaya para
penguasa Quraisy itu jelas merupakan bentuk pengrusakan dan penyesatan yang
bermaksud mematikan tauhid dan mengakhiri Islam. Tentu mereka tidak berdiri
pada point of reference ini, maka
mereka tidak menyadari betapa mereka telah berupaya membuat kerusakan terhadap
prinsip ketauhidan yang transenden.
Sinkretisme-Nasionalisme
Solusi yang ditawarkan Utbah bin Rabi’ah
adalah sinkretisme sebagai dasar persatuan nasional. Nilai tertinggi adalah
persatuan nasional, yang oleh Utbah bin
Rabi’ah ditempatkan sebagai berhala baru. Pandangan ini dengan tegas ditolak
Rasulullah SAW yang menempatkan ketauhidan sebagai mainstream dan nilai
tertinggi dan tidak mengkompromikan dengan nilai-nilai spiritual yang lain.
Pola sinkretisme Utbah bin Rabi’ah
adalah pola yang sama yang ditawarkan Fir’aun kepada Musa a.s.pada abad 15 SM
yang juga ditolak mentah-mentah.
Baik Fir’aun maupun Utbah mewakili
ketidaksadaran kolektif bangsa Arab dan ras Timur Tengah pada umumnya yang
selama ribuan tahun hidup dalam kebudayaan dan peradaban mitologi agama-agama
purba yang menjadi Roh Obyektif dan sudah barangtentu mempengaruhi Roh
Subyektif masing-masing individu (vide, Pengajian Ketigapuluh Tiga dan Empat). Modal Personality Arab pada dasarnya
terbentuk oleh mite-mite berhalaisme. Demikian pula Basic Personality Strucutur Kaum Quraisy Hejaz. Inilah yang
dihadapi Rasululullah SAW. Bukan sekedar menghadapi Utbah bin Rabi’ah dan para
penguasa Quraisy, tetapi menghadapi ketidaksadaran kolekif nilai-nilai
kebudayaan dan peradaban mitologis yang telah berurat akar di bumi Arab sejak
abad ke-17 SM, yaitu zaman kebesaran berhala Enlil dengan Epos
Atrahasis-nya. (vide, Pengajian Ketigapuluh Empat). Bahkan mainstream
dewa-dewa Babel
(Babilonia) dari zaman abad ke 20 SM sudah memengaruhi kebudayaan ras Timur
Tengah termasuk Arab purba. Diantara yang terkenal adalah “Epos Gilgames”. Gilgames adalah raja kota Erekh
atau Uruk di Babel Selatan yang
berpetualang mencari kekekalan dalam arti agnostic. Ia mengunjungi seorang yang
telah mencapai kekekalan bernama Up
napistim yang seperti Atrahasis adalah padanan “Nabi Nuh” versi
berhalaisme. Up-Napistim memberitahu Gilgames bahwa ia telah diperingatkan
seorang dewa perihal akan datangnya air bah yang melanda dunia. Dewan para dewa
mengambil keputuskan melenyapkan manusia dengan air bah karena keributan mereka
dimuka bumi telah mengganggu istirahat para dewa-dewi. Seorang dewa meminta
Up-napistim untuk membangun sebuah kapal besar yang akan menyelamatkan diri dan
keluarganya serta segala binatang-binatang. Maka tatkala datang air bah, kapal
Up-napistim berlayar ditengah kegelapan yang menyelimuti dunia dan akhirnya
kandas di Gunung Nisir yang cerah. Sebelum turun dari kapal Up-napistim melepas
seekor merpati dan seekor gagak, untuk meyakinkan air telah surut. Up-napistim
kemudian mempersembahkan korban kepada para dewa, dan memperoleh anugerah
kekekalan dari mahadewa.
Mite-mite seperti ini masih hidup
dalam ketidaksadaran kolektif ras Arabia .
Tentu Rasulullah SAW seperti halnya Musa dan Isa tidak sudi berkompromi dengan
nilai-nilai peradaban takhayul yang justru merupakan arkhe dari kemusyrikan itu sendiri yang harus dilenyapkan dari
struktur nilai peradaban umat manusia.
Bahkan dengan alasan nasionalisme seperti
yang didalilkan Utbah bin Rabi’ah, Rasulullah SAW tetap tidak goyah, karena
nasionalisme hanyalah sebuah substruktur nilai ijtima’iyyah (duniawi) yang
nisbi. Ketauhidan adalah mainstream nilai-nilai transenden (ukhrowi) yang
hakiki yang menjadi sumber nilai semua bentuk kehidupan, termasuk kehidupan
negara-negara bangsa.
Spirit
perubahan
Pemimpin suku Rabi’ah yang telah masuk
Islam menghadap Rasulullah : “Ya Rasulullah, berilah kami perintah yang
menentukan yang akan kami sampaikan kepada kaum kami, yang dengan
melaksanakannya kami masuk sorga”.
Dengan tegas Rasulullah SAW menjawab :
“Al-Islamu,
an-ta’budullaha wa laa tusyriku bihi syai’a” :Laksanakanlah Islam dengan
menyembah Allah semata-mata dan tidak mensekutukanNya dengan apapun” (Shahih
Muslim).
Inilah penegasan yang pasti yang
menjadi spirit perubahan besar di dunia pada lintasan abad ke 6-7;Inilah Revolusi
Hijrah, revolusi monotheisme, yang mengeluarkan manusia dari mitos kemusyrikan
yang agnostic kepada realitas Tauhid yang transenden. Inilah revolusi yang mengeluarkan umat
manusia dari ekspresi instink-instink hewani kepada sublimasi akhlaqul-karimah.
Inilah perubahan besar kebudayaan dan peradaban dunia dari menyembah dewa-dewa
berhala yang gelap dan mati kepada kecerahan menyembah Allah Zat Tunggal Yang Kekal
dan transenden. Inilah proses perubahan “minadzzulumati ilan-nnur”, dari
kegelapan hawa nafsu kepada cahaya Iman yang terang benderang, yang
mengantarkan dunia kepada emansipasi akal pikiran dan peradaban manusia pada
puncak-puncaknya yang tertinggi.
Dimanakah letak Bangsa Indonesia dalam
gerak perubahan dunia ?. Kita ikut serta tetapi tidak di lapis yang pertama,
karena kita bahkan hingga hari ini masih terjebak dalam ketidaksadaran kolektif
mitologi Paganisme dan sinkretisme Shiwa-Buddha yang mewarnai kebudayaan dan
peradabaan Islam di tanah air. Kita belum benar-benar berada dalam spirit
perubahan yang berasaskan Tauhid sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW ketika
menghadapi sinkretisme-nasionalisme yang ditawarkan Utbah bin Rabi’ah.
Kapankah kita memulai suatu langkah
yang menentukan seperti yang diminta oleh kabilah Bani Rabi’ah ? Dan bagaimana
kita menjawab pertanyaan mendasar dari Isa Al-Masih. a.s (Yesus) : “Kapankah engkau dapat (memimpin)
menunjukkan jalan kepada orang-orang yang berjalan di malam gelap, padahal
engkau sendiri tetap tinggal bersama orang-orang yang kebingungan?” (Ihya-Al
Ghazalie).
Sekian, semoga bencana seperti yang
terjadi di Pulau Nias sekarang ini mengingatkan kita akan tugas-tugas ukhrowi
yang belum terselesaikan sebagaimana mestinya. Kita berbela sungkawa dan
berdo’a kepada Allah agar diampuni dan diselamatkan di dunia ini dan di akherat
kelak.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. WAb.
Pengasuh,
HAJI
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar