Tokoh Melimpah Ruah
Rencana awal Dialog Kebangsaan hanya
mengundang 75 orang tokoh dan kalangan aktivis. Nyatanya yang hadir Manggala
Wanabakti - tempat diskusi, melebihi 300 orang. Jadi, sambutan basa-basi
standar tetap harus diucapkan oleh Gus Miftach setelah melihat melimpahnya
kehadiran dan perhatian pengunjung. Berikut kronologis dan insert petikan
sambutan Ketua Umum Front Persatuan Nasional tersebut.
Assalamu’alaikum
War. Wab. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamien…..dst, Amm Ba’du,
Yang
terhormat Bapak Jenderal (Purn) Agum Gumelar, Yang terhormat Bapak Akbar
Tanjung, Para pimpinan dan anggota Front Persatuan Nasional, Pak Edwin
Sukowati, Ketua Umum Persatuan Nasional Demokrat; Para penghayat Pengajian
Tauhid Wahdatul Ummah, Para pimpinan partai politik, ormas, LSM dan para tokoh,
serta para pakar yang hadir dalam kesempatan ini. Pak Syamsudin Haris dari
LIPI; Hadirin dan hadirat sekalian, ……..
Jika
Tanpa Keadilan,Humanitas, Motralitas dan Keimanan
Demokrasi Bisa Menjadi
Malateka Bangsa
Kita berkumpul
disini pagi ini bukan untuk menentang atau mendukung Pemerintah. Bukan juga untuk mendukung atau
menentang partai politik tertentu. Tetapi untuk berdialog tentang nilai-nilai
kebangsaan yang belakangan ini terus merosot, berganti dengan nilai-nilai
pragmatisme dan hedonisme tanpa tujuan yang mewarnai pelaksanaan system politik
dan mempengaruhi seluruh behaviour politik.
Reformasi tanpa kematangan berpikir
pada kenyataannya hanya melahirkan kebebasan tanpa tujuan. Jika demokrasi hanya
dimaksudkan untuk menggalang kekuatan dan kekuasaan belaka, untuk memenuhi
kebutuhan nafsu kekuasaan belaka, tanpa rasa keadilan, tanpa humanitas, bahkan
tanpa moralitas dan iman, sehingga kita
menemukan kasus ratusan ribu Jemaah Haji Indonesia “kaliren”-kelaparan di Arab
Saudi saat musim Haji tahun 2007. Jika alur yang kita jalani tetap seperti
ini, maka akan tiba waktunya Demokrasi
akan menjadi malapetaka bangsa.
Saya ingin
mengingatkan bahwa, Adolf
Hitler dengan Partai Nazi-nya yang menimbulkan malapetaka dunia pada
pertengahan abad 20 adalah produk demokrasi. Sayangnya, Demokrasi yang tengah
kita jalankan, di Indonesia, sekarang lebih buruk daripada demokrasinya Adolf
Hitler yang memiliki cita-cita chauvinisme ras Aria.
Departemen Tidak Beragama
Demokrasi kita adalah demokrasi uang. Siapa punya uang bisa berkuasa, semua
perangkat system bisa di beli, suara bisa di beli, mass-media bisa di beli,
harga diri bahkan iman juga bisa di beli. Diperparah dengan korupsi massif
disemua sektor kehidupan, bahkan di sekolah-sekolah dan kegiatan peribadatan.
Ada
dua Departemen yang paling korup di Negeri ini, ujar Gus Miftach dalam selingan
tanpa teks. Satu, Departemen Pendidikan, dan Dua, Departemen Agama! Sehingga
ketika saya telpon Pak M.Basyuni,Menteri Agama 2004-2007, saya usulkan agar
Departemen itu diganti namanya menjadi “Departemen Tidak Beragama! Kembali,
hadirin memberi aplaus.
Maka jangan menyesal, jika cara
berdemokrasi kita masih seperti ini, maka nanti, atau jangan-jangan malah
sudah, kita menyetujui di Negara kita yang berkuasa kemudian adalah para bandit.
Sebab yang bisa mengumpulkan uang trilyunan hanya para bandit. Negarawan seperti Akbar Tanjung, Agum Gumelar dan lain-lain
mana bisa mengumpulkan milyaran , trilyunan. Yang bisa begitu, ya para bandit.
Bagaimana jadinya jika lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga keagamaan
dipimpin para bandit juga. Habislah sudah sumber nilai kehidupan bangsa kita.
Khonghucu 2500 th yang lalu
mengatakan, bahwa martabat dan kedudukan yang sebenarnya ada didalam
pengetahuan. Socrates 2400 th yang lalu mengatakan, bahwa tujuan hidup adalah
eaudominia (kebahagiaan jiwa) dan alat untuk mencapainya adalah arĂȘte
(pengetahuan). Injil Yudas 1800 th yang lalu mengungkapkan bahwa kunci
keselamatan adalah pengetahuan. Sementara Rasulullah saw 1500 th yang lalu
bersabda, bahwa kunci pencapaian urusan dunia dan akhirat adalah ilmu.
“Ahli Sunah wal Jima’ah”
Jadi
tanpa pengetahuan yang benar kita tidak akan mencapai apa-apa. Kita telah salah
memahami dan melaksanakan reformasi. Kita tidak mencermati agregat reformasi
dan implementasinya yang justru berakibat meng-erosi nilai-nilai kebangsaan dan
memperlemah ketahanan negara di segala bidang.
Dan
yang lebih berbahaya semakin tidak dimengertinya nasionalisme NKRI dikalangan
para praktisi politik yang kebanyakan telah terjerumus kedalam
pragmatisme-hedonisme tanpa tujuan, dibarengi demoralisasi dan degradasi secara
simultan. Kebebasan berkembang menjadi
anarkhisme dan vandalisme yang mengancam integritas bangsa.
Sehingga
di Negara kita kemudian muncul kelompok elit, yang bernama Ahli Sunah wal
Jima’ah. Saingannya Gus Dur. Kalau Gus Dur kan Ahli Sunah wal Jama’ah.
Celetukan Gus Miftach tanpa teks ini
kembali mengundang tawa meriah dari
hadirin......
Maklum
, menjelang Dialog Kebangsaan itu dilangsungkan, di berbagai Media Cetak dan
Elektronik tengah berkembang isu tentang berbagai kasus “perselingkuhan” para elit politik. Mulai kasus Video porno
anggota DPR RI Yahya Zaini dan Maria Eva, Poligami A’a Gim, Perkawinan Yusril
Mensesneg dengan Gadis muda Philipina, bahkan cerita lama Hamsah Haz yang konon
istrinya tidak Cuma dua. Walaupun mungkin tidak ngumpul, tapi mereka ini dalam
guyon para aktivis sering dikelompokan elite Ahli Sunah wal Jima’ah.
Rakyat Independen
Tanpa Partai Politik
Saya
perlu mengingatkan bahwa system politik dan konstitusi bukan tujuan, tetapi hanya
alat untuk mencapai tujuan nasional dan cita-cita bangsa, yaitu kemakmuran dan
keadilan sosial. Jika faktanya tujuan tidak
tercapai, maka alatnya boleh diganti. Jadi system kekuasaan partai politik yang
terbukti membuat rakyat semakin melarat, korupsi semakin dahsyat, kerusakan
moral elit yang semakin hebat; jika faktanya system kekuasan partai poltik
mengarah kepada kehancuran kehidupan bangsa, maka mari kita bangkit untuk
mengganti system itu dengan sistem Rakyat Independen.
Sebuah
system yang harus kita buat,dimana rakyat dapat mengajukan dan memilih
Presiden, para Gubernur, Bupati/Walikota, para Anggota DPR/DPRD secara langsung
dan independen tanpa melalui partai politik........ Sampai di kalimat ini Gus Miftach terpaksa berhenti sejenak, untuk memberi
kesempatan kepada tepuk tangan hadirin
yang tiba-tiba membahana di ruang diskusi.
Apa
yang terjadi di Aceh adalah fenomena politik yang konstruktif sebagai jalan
keluar dari resistensi publik terhadap partai politik. Kita tidak mau
seluruh nasib bangsa ini dijadikan sandera dan permainan kekuasaan partai
politik. Stakeholder tunggal negara ini
adalah Rakyat. Jika Rakyat menginginkan independensi kedaulatan melalui
calon-calon independen dalam Pemilu, maka hal itu harus diwujudkan dengan
mengubah konstitusi. Ini juga merupakan proses peningkatan system demokrasi
yang harus melayani aspirasi dan hak-hak politik Rakyat.
Jika UUD 1945 sudah pernah kita
amandemen, maka kitapun bisa “mengamandemen lagi” UUD yang sudah diamandemen itu. Ditambah lagi
saja, apa susahnya?!
Saya tidak ingin
mengatakan kita harus kembali ke UUD 1945 secara tekstual, tetapi saya ingin
menegaskan bahwa apapun reformasi yang ingin kita lakukan, maka harus berpijak
sepenuhnya pada nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 yang asli
sepenuhnya.
Pemimpin Kurang Selamat
Demi Rakyat
Maka reformasi
yang sudah hancur ini harus kita kobarkan kembali, namun bukan sembarang
reformasi yang malah memelaratkan bangsa ini. Melainkan Reformasi Kebangsaan
dengan tujuan utama untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh
Rakyat yang diimplementasikan dengan agenda yang managable dan kepemimpinan
yang efektif.
Cabut mandat saya tidak setuju. Tapi
menyerukan : Jadlah Pemimpin yang Efektip saya setuju. Pemimpin dipilih
langsung Rakyat dengan dukungan besar kok savety player. Pemimpin yang cuma
cari aman itu kan kalau dari dukungan minoritas. Tapi Pemimpin dengan dukungan
mayoritas jangan Cuma cari selamat!
Sekali- kali kurang selamat demi Rakyat
harus dilakukan!?
Kebebasan Beragama
dan Beribadah
Tak cukup hanya
dengan pemilu-pemiluan yang sarat dengan tindak penyuapan dan kejahatan
politik. Tetapi dengan pelaksanaan demokrasi yang berasaskan nasionalisme,
liberalisme dan spiritualisme. Yaitu kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan yang
bersendikan pada nilai-nilai budaya bangsa dan keyakinan batin bangsa
Indonesia, tanpa eksploitasi dan penindasan serta perlindungan terhadap hak-hak
minoritas.
Kita menjadikan nilai-nilai kebangsaan sebagai fundamen
untuk mewujudkan kebebasan segenap warganegara termasuk untuk beragama dan
beribadah. Kita tidak ingin mendengar tempat ibadah atau sekolah agama yang
dihancurkan karena alasan-alasan sektarian.
Kita tidak ingin
melihat adanya diskriminasi dengan alasan dan dalam bentuk apapun. Kita ingin
mewujudkan multikulturisme dalam persatuan bangsa, kita adalah unity in
diversity, berbeda-beda dalam kesatuan harmonis.
Demikianlah, hari
ini dimeja depan kita ada Pak Akbar Tanjung, Pak Agum Gumelar, Pak Samsudin
Haris dari LIPI, dan ada Pembanding Pak Edwin Sukowati. Tapi yang hadir disini
semua Pembicara. Ada Dr. Hudaefah, Pak Nardi dari PNI yang pakai ikat kepala
seperti Dukun Klenik.
Doktor Teroris
Mahagurunya Nurdin Moh Top
Sejak menjelang akhir pidato Pembukaan
itu, hadirin makin terpingkal –pingkal ketawa dengan berbagai celetukan Gus
Miftach tanpa teks , yang khas gaya Kyai NU.
Karena dengan enteng saja Gus Miftach menyebut Akbar
Tanjung yang digelarinya sebagai The Living
Lazarus. Orang biasanya Cuma mati
sekali. Tapi kalau Politikus itu bisa mati dan hidup berkali-kali. Akbar Tanjung ini Politikus yang kalau
diinjak sekali, mati, muncul lagi, diinjak lagi muncul lagi…….
Nah dipojok depan juga ada Dien Hasanudin,
tokoh Betawi yang belum jelas apa Partainya. Sebentar di Demokrat, sebentar di
Hanura………
Ditengah hadirin juga ada Edi
Hartawan, Ketua Partai Bela Negara yang baru berdiri. Tapi kalau kita mau
bicara soal TERORIS, dideret depan ada
Doktor Lukman Samra Mahaguru Teroris, gurunya Doktor Nurdin Muhamad Top…..
Ketika hadirin makin tertawa gemuruh,
Dr.Lukman yang disebut belakangan justru tersipu malu. Pasalnya Lulusan Umul Qura dan Alumni Libya itu memang
salah satu arsitek Pembajakan Pesawat Garuda- Woyla di Don Muang - Bangkok tahun 1980an. Peristiwa pembajakan itu
melambungkan nama Jendral Beny Murdani dan Sintong Panjaitan – petinggi ABRI pada masa Orde Baru.
Sekian, dan dengan ucapan “Bismillahirrahmanirrahiem”,
saya buka Dialog Kebangsaan 2007. Semoga Allah SWT meridhoi.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih, Wassalamu’alaikum War. Wab,
KH.
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar