5.7.17

Dialog Kebangsaan

Tokoh Melimpah Ruah
Rencana awal Dialog Kebangsaan  hanya mengundang 75 orang tokoh dan kalangan aktivis. Nyatanya yang hadir Manggala Wanabakti - tempat diskusi, melebihi 300 orang. Jadi, sambutan basa-basi standar tetap harus diucapkan oleh Gus Miftach setelah melihat melimpahnya kehadiran dan perhatian pengunjung. Berikut kronologis dan insert petikan sambutan Ketua Umum Front Persatuan Nasional tersebut.
Assalamu’alaikum War. Wab. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamien…..dst, Amm Ba’du,
Yang terhormat Bapak Jenderal (Purn) Agum Gumelar, Yang terhormat Bapak Akbar Tanjung, Para pimpinan dan anggota Front Persatuan Nasional, Pak Edwin Sukowati, Ketua Umum Persatuan Nasional Demokrat; Para penghayat Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah, Para pimpinan partai politik, ormas, LSM dan para tokoh, serta para pakar yang hadir dalam kesempatan ini. Pak Syamsudin Haris dari LIPI; Hadirin dan hadirat sekalian, ……..



Jika Tanpa Keadilan,Humanitas, Motralitas dan Keimanan
Demokrasi Bisa Menjadi  
Malateka Bangsa
Kita berkumpul disini pagi ini bukan untuk menentang atau mendukung Pemerintah. Bukan juga untuk mendukung atau menentang partai politik tertentu. Tetapi untuk berdialog tentang nilai-nilai kebangsaan yang belakangan ini terus merosot, berganti dengan nilai-nilai pragmatisme dan hedonisme tanpa tujuan yang mewarnai pelaksanaan system politik dan mempengaruhi seluruh behaviour politik.
Reformasi tanpa kematangan berpikir pada kenyataannya hanya melahirkan kebebasan tanpa tujuan. Jika demokrasi hanya dimaksudkan untuk menggalang kekuatan dan kekuasaan belaka, untuk memenuhi kebutuhan nafsu kekuasaan belaka, tanpa rasa keadilan, tanpa humanitas, bahkan tanpa moralitas dan iman, sehingga kita menemukan kasus ratusan ribu Jemaah Haji Indonesia “kaliren”-kelaparan di Arab Saudi saat musim Haji tahun 2007. Jika alur yang kita jalani tetap seperti ini,  maka akan tiba waktunya Demokrasi akan menjadi malapetaka bangsa.
Saya ingin mengingatkan bahwa, Adolf Hitler dengan Partai Nazi-nya yang menimbulkan malapetaka dunia pada pertengahan abad 20 adalah produk demokrasi. Sayangnya, Demokrasi yang tengah kita jalankan, di Indonesia, sekarang lebih buruk daripada demokrasinya Adolf Hitler yang memiliki cita-cita chauvinisme ras Aria.



Departemen Tidak Beragama
Demokrasi kita adalah demokrasi uang. Siapa punya uang bisa berkuasa, semua perangkat system bisa di beli, suara bisa di beli, mass-media bisa di beli, harga diri bahkan iman juga bisa di beli. Diperparah dengan korupsi massif disemua sektor kehidupan, bahkan di sekolah-sekolah dan kegiatan peribadatan.
Ada dua Departemen yang paling korup di Negeri ini, ujar Gus Miftach dalam selingan tanpa teks. Satu, Departemen Pendidikan, dan Dua, Departemen Agama! Sehingga ketika saya telpon Pak M.Basyuni,Menteri Agama 2004-2007, saya usulkan agar Departemen itu diganti namanya menjadi “Departemen Tidak Beragama! Kembali, hadirin memberi aplaus.
Maka jangan menyesal, jika cara berdemokrasi kita masih seperti ini, maka nanti, atau jangan-jangan malah sudah, kita menyetujui di Negara kita  yang berkuasa kemudian adalah para bandit. Sebab yang bisa mengumpulkan uang trilyunan hanya para bandit. Negarawan seperti Akbar Tanjung, Agum Gumelar dan lain-lain mana bisa mengumpulkan milyaran , trilyunan. Yang bisa begitu, ya para bandit. Bagaimana jadinya jika lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga keagamaan dipimpin para bandit juga. Habislah sudah sumber nilai kehidupan bangsa kita.
Khonghucu 2500 th yang lalu mengatakan, bahwa martabat dan kedudukan yang sebenarnya ada didalam pengetahuan. Socrates 2400 th yang lalu mengatakan, bahwa tujuan hidup adalah eaudominia (kebahagiaan jiwa) dan alat untuk mencapainya adalah arĂȘte (pengetahuan). Injil Yudas 1800 th yang lalu mengungkapkan bahwa kunci keselamatan adalah pengetahuan. Sementara Rasulullah saw 1500 th yang lalu bersabda, bahwa kunci pencapaian urusan dunia dan akhirat adalah ilmu.

“Ahli Sunah wal Jima’ah”
Jadi tanpa pengetahuan yang benar kita tidak akan mencapai apa-apa. Kita telah salah memahami dan melaksanakan reformasi. Kita tidak mencermati agregat reformasi dan implementasinya yang justru berakibat meng-erosi nilai-nilai kebangsaan dan memperlemah ketahanan negara di segala bidang.
Dan yang lebih berbahaya semakin tidak dimengertinya nasionalisme NKRI dikalangan para praktisi politik yang kebanyakan telah terjerumus kedalam pragmatisme-hedonisme tanpa tujuan, dibarengi demoralisasi dan degradasi secara simultan. Kebebasan berkembang menjadi anarkhisme dan vandalisme yang mengancam integritas bangsa.
Sehingga di Negara kita kemudian muncul kelompok elit, yang bernama Ahli Sunah wal Jima’ah. Saingannya Gus Dur. Kalau Gus Dur kan Ahli Sunah wal Jama’ah. Celetukan Gus Miftach  tanpa teks ini kembali mengundang tawa meriah dari  hadirin......
Maklum , menjelang Dialog Kebangsaan itu dilangsungkan, di berbagai Media Cetak dan Elektronik tengah berkembang isu tentang berbagai kasus “perselingkuhan”  para elit politik. Mulai kasus Video porno anggota DPR RI Yahya Zaini dan Maria Eva, Poligami A’a Gim, Perkawinan Yusril Mensesneg dengan Gadis muda Philipina, bahkan cerita lama Hamsah Haz yang konon istrinya tidak Cuma dua. Walaupun mungkin tidak ngumpul, tapi mereka ini dalam guyon para aktivis sering dikelompokan elite Ahli Sunah wal Jima’ah.

Rakyat Independen
Tanpa Partai Politik 
Saya perlu mengingatkan bahwa system politik dan konstitusi bukan tujuan, tetapi hanya alat untuk mencapai tujuan nasional dan cita-cita bangsa, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial. Jika faktanya tujuan tidak tercapai, maka alatnya boleh diganti. Jadi system kekuasaan partai politik yang terbukti membuat rakyat semakin melarat, korupsi semakin dahsyat, kerusakan moral elit yang semakin hebat; jika faktanya system kekuasan partai poltik mengarah kepada kehancuran kehidupan bangsa, maka mari kita bangkit untuk mengganti system itu dengan sistem Rakyat Independen.
Sebuah system yang harus kita buat,dimana rakyat dapat mengajukan dan memilih Presiden, para Gubernur, Bupati/Walikota, para Anggota DPR/DPRD secara langsung dan independen tanpa melalui partai politik........ Sampai di kalimat ini Gus Miftach terpaksa berhenti sejenak, untuk memberi kesempatan kepada  tepuk tangan hadirin yang tiba-tiba membahana di ruang diskusi.
Apa yang terjadi di Aceh adalah fenomena politik yang konstruktif sebagai jalan keluar dari resistensi publik terhadap partai politik. Kita tidak mau seluruh nasib bangsa ini dijadikan sandera dan permainan kekuasaan partai politik.  Stakeholder tunggal negara ini adalah Rakyat. Jika Rakyat menginginkan independensi kedaulatan melalui calon-calon independen dalam Pemilu, maka hal itu harus diwujudkan dengan mengubah konstitusi. Ini juga merupakan proses peningkatan system demokrasi yang harus melayani aspirasi dan hak-hak politik Rakyat.
            Jika UUD 1945 sudah pernah kita amandemen, maka kitapun bisa “mengamandemen lagi”  UUD yang sudah diamandemen itu. Ditambah lagi saja, apa susahnya?!
Saya tidak ingin mengatakan kita harus kembali ke UUD 1945 secara tekstual, tetapi saya ingin menegaskan bahwa apapun reformasi yang ingin kita lakukan, maka harus berpijak sepenuhnya pada nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 yang asli sepenuhnya.

Pemimpin Kurang Selamat
Demi Rakyat
Maka reformasi yang sudah hancur ini harus kita kobarkan kembali, namun bukan sembarang reformasi yang malah memelaratkan bangsa ini. Melainkan Reformasi Kebangsaan dengan tujuan utama untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh Rakyat yang diimplementasikan dengan agenda yang managable dan kepemimpinan yang efektif.
Cabut mandat saya tidak setuju. Tapi menyerukan : Jadlah Pemimpin yang Efektip saya setuju. Pemimpin dipilih langsung Rakyat dengan dukungan besar kok savety player. Pemimpin yang cuma cari aman itu kan kalau dari dukungan minoritas. Tapi Pemimpin dengan dukungan mayoritas  jangan Cuma cari selamat! Sekali- kali kurang selamat demi Rakyat  harus dilakukan!?

Kebebasan Beragama
dan Beribadah
Tak cukup hanya dengan pemilu-pemiluan yang sarat dengan tindak penyuapan dan kejahatan politik. Tetapi dengan pelaksanaan demokrasi yang berasaskan nasionalisme, liberalisme dan spiritualisme. Yaitu kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan yang bersendikan pada nilai-nilai budaya bangsa dan keyakinan batin bangsa Indonesia, tanpa eksploitasi dan penindasan serta perlindungan terhadap hak-hak minoritas.
Kita menjadikan nilai-nilai kebangsaan sebagai fundamen untuk mewujudkan kebebasan segenap warganegara termasuk untuk beragama dan beribadah. Kita tidak ingin mendengar tempat ibadah atau sekolah agama yang dihancurkan karena alasan-alasan sektarian.
Kita tidak ingin melihat adanya diskriminasi dengan alasan dan dalam bentuk apapun. Kita ingin mewujudkan multikulturisme dalam persatuan bangsa, kita adalah unity in diversity, berbeda-beda dalam kesatuan harmonis.
Demikianlah, hari ini dimeja depan kita ada Pak Akbar Tanjung, Pak Agum Gumelar, Pak Samsudin Haris dari LIPI, dan ada Pembanding Pak Edwin Sukowati. Tapi yang hadir disini semua Pembicara. Ada Dr. Hudaefah, Pak Nardi dari PNI yang pakai ikat kepala seperti Dukun Klenik.

Doktor Teroris
Mahagurunya Nurdin Moh Top
Sejak menjelang akhir pidato Pembukaan itu, hadirin makin terpingkal –pingkal ketawa dengan berbagai celetukan Gus Miftach tanpa teks , yang khas gaya  Kyai NU.
Karena dengan enteng saja Gus Miftach menyebut Akbar Tanjung yang digelarinya sebagai The Living  Lazarus. Orang  biasanya Cuma mati sekali. Tapi kalau Politikus itu bisa mati dan hidup berkali-kali. Akbar Tanjung ini Politikus yang kalau diinjak sekali, mati, muncul lagi, diinjak lagi muncul lagi…….
Nah dipojok depan juga ada Dien Hasanudin, tokoh Betawi yang belum jelas apa Partainya. Sebentar di Demokrat, sebentar di Hanura………
Ditengah hadirin juga ada Edi Hartawan, Ketua Partai Bela Negara yang baru berdiri. Tapi kalau kita mau bicara  soal TERORIS, dideret depan ada Doktor Lukman Samra Mahaguru Teroris, gurunya Doktor Nurdin Muhamad Top…..
Ketika hadirin makin tertawa gemuruh, Dr.Lukman yang disebut belakangan justru tersipu malu. Pasalnya  Lulusan Umul Qura dan Alumni Libya itu memang salah satu arsitek Pembajakan Pesawat Garuda- Woyla di Don Muang - Bangkok  tahun 1980an. Peristiwa pembajakan itu melambungkan nama Jendral Beny Murdani dan Sintong Panjaitan – petinggi ABRI pada masa Orde Baru.

Sekian, dan dengan ucapan “Bismillahirrahmanirrahiem”, saya buka Dialog Kebangsaan 2007. Semoga Allah SWT meridhoi.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih, Wassalamu’alaikum War. Wab,
Jakarta, 18 Januari 2007,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar