4.7.17

Runtuhnya Kerajaan Sulaiman

Runtuhnya Kerajaan Sulaiman

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,













“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, serta janganlah kamu menukarkan ayat-ayatKu dengan harga yang rendah, dan hanya kepadaKu-lah kamu harus bertaqwa” ; (Al-Baqoroh : 41).
Setelah libur selama satu bulan sejak medio Romadhon hingga laste syawal sekarang ini, maka inilah pengajian pertama kita, yaitu Pengajian ke-66. Seperti tradisi pengajian ini, kita akan melakukan kajian dan pembahasan secara eklektik-multiperspektif dari aspek teologi, antropologi, historiografi dan psikologi untuk menggali hikmah yang setinggi-tingginya dari setiap ayat Al-Qur’an.




Sekjen Gereja Kristen Indonesia Pdt. Yahya Sunarya, tengah menyampaikan penjelasannya seputar teologi Kristiani dalam majelis Pengajian yang senantiasa dihadiri berbagai kalangan.
Pokok Bahasan.
Dalam ayat tsb diatas terdapat empat perintah Allah kepada Bani Israil, yaitu :
Agar Bani Israil (Kaum Yahudi) beriman kepada Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasul terakhir Muhammad SAW yang diutus kepada semua ummat manusia.
Agar mereka tidak tergesa-gesa menyangkal dan menjadi orang pertama yang mengingkari Al-Qur’an, karena sesungguhnya mereka telah mengetahui kebenaran Al-Qur’an sebagaimana tersirat dalam Taurat, dan seharusnya mereka menjadi kaum yang pertama beriman kepada Al-Qur’an.
Agar mereka tidak berpaling dari Al-Qur’an, hanya karena mengejar keuntungan duniawi seperti harta dan pangkat yang kecil artinya jika dibandingkan dengan ridho Allah dan kebahagiaan akhirat. Bahkan dengan demikian mereka telah menggali azab dunia dan akhirat.
Agar mereka semata-mata beriman dan bertaqwa kepada Allah dan mengutamakan keridhoan Allah SWT dan kebahagiaan akhirat.
Ulasan
Asbabunnuzul ayat tsb diatas berkaitan dengan sikap orang-orang Yahudi Madinah yang mendustakan Rasulullah SAW. Menurut Tafsir Jalalain sikap itu kemudian diperkuat dengan sikap Kaum Yahudi dari Bani Quraizah dan Bani Nadzir yang merupakan dua suku Yahudi yang besar yang pada akhirnya mempengaruhi sikap sebagian besar Bani Israil di Madinah.
Tentang “yang pertama ingkar” terhadap Al-Qur’an Tafsir Ibnu Katsir menerangkan memang bukan dilakukan oleh Yahudi Madinah, melainkan Quraisy Mekah.
Terhadap Bani Israil sesungguhnya ayat tsb mengandung harapan akan keimanan mereka, berkaitan dengan pertalian yang ada dalam ajaran Al-Qur’an dan ajaran Taurat terutama tentang ketauhidan. Tetapi sifat-sifat etnosentrisme budaya yang berlebihan membawa Yahudi kepada sikap Chauvinsme yang hanya mengakui nilai-nilai kebenaran dari keyakinannya sendiri dan menolak semua nilai kebenaran diluar system nilai dan system social yang mereka yakini, yaitu agama Yahudi yang disinyalir banyak mengandung penyimpangan-penyimpangan dari ajaran tauhid Musa a.s. yang sebenarnya.
Ayat tsb diatas bahkan mengisyaratkan domain sifat-sifat materialism Kaum Yahudi yang lebih mementingkan aspek-aspek dhahiriah/inderawi yang semu dan fana daripada aspek-aspek ukhrowiah yang hakiki dan abadi. Hal itu tidak saja dijumpai dalam masa Madinah, tetapi memang terbukti sepanjang sejarah Bani Israil yang panjang sejak Abraham atau Ibrahim bin Tarih a.s. dari Aur-Khaldan hingga David Ben Gurion dan negara Israel modern masa sekarang.
Mengisolir diri
Sifat “mengisolir diri” atau inkoperasi menjadi ciri khas konstitusi jiwa Yahudi yang diwarisi sejak Ibrahim a.s yang mengisolir diri dari peradaban penyembah berhala negeri Aur dan negeri-negeri disepanjang perantuannya hingga tiba di Kana’an. Ketika sebagian besar dari mereka menyeleweng dari agama Ibrahim dan menjadi penyembah berhala, sifat mengisolir diri itu tetap melekat pada kejiwaan mereka dan menjadi kepribadian mereka yang bersifat endogen.. Ini membawa konsekwensi tersingkirnya mereka dari sejarah dan peradaban kawasan disekitarnya, akibat lanjutnya kaum Yahudi menganggap lingkungan sejarah dan peradaban non-Yahudi sebagai musuh.
Seorang antropolog abad 20 Charles Kent dalam penelitiannya mengungkapkan : “Perjalanan sejarah membuktikan bahwa orang-orang Ibri itu merasa selalu dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang memusuhinya seperti bulatan api yang tidak memberi peluang untuk melepaskan diri”. Menurut catatan antropolog Ahmad Syalabi bangsa-bangsa diseputar bangsa Yahudi di Kanaan memiliki peradaban yang lebih tinggi.



Chaim Weizman.
Seorang tokoh Yahudi abad 20 Dr. Chaim Weizman menyatakan : “Orang-orang Yahudi dimanapun di seluruh dunia memiliki cara hidup yang sama, mereka suka mengisolir diri dalam bagian-bagian dunia ini seakan hidup di dunia lain dari dunia yang di huni umat manusia”.
Sementara itu seorang pakar Lahaut (Theologi) Agama Yahudi, Salamon Shakhtar mengatakan : “…yang dimaksud inkoperasi (mengisolir diri) dalam pergaulan umat manusia ialah hilangnya personalitas, dan jenis inkoperasi ini dengan semua konklusinya lebih menakutkan daripada pembunuhan”.
Lebih jauh antropolog Ahmad Syalabi menjelaskan : “Sikap mengisolir diri itu menjadi sumber berbagai insiden yang berbahaya. Ras Yahudi benar-benar memandang bangsa-bangsa lain sebagai musuh yang harus diawasi dan dicurigai. Mereka tidak dapat mempercayai apapun diluar ras Yahudi, meskipun telah berjasa besar terhadap bangsa Yahudi. Mereka hanya percaya kepada sesama ras Yahudi dan hanya bangsa Yahudi yang menjadi tanah air yang harus dimuliakan. Dimata Yahudi bangsa lain tidak ada artinya, tidak perlu dihormati dan dihargai, serta jasanya tidak perlu dikenang”. Ini menjadi sumber konflik di dunia sejak zaman “Saul” hingga “Theodor Herzl”.
Kemundurah khilafat di Yerusalem
Sikap Bani Israil Madinah yang dihadapi Rasulullah SAW bukan sekedar produk psikologis di masa itu, tetapi merupakan refleksi-psikologis yang terbentuk dari masa ribuan tahun sebelumnya, yang telah membentuk ketidaksadaran kolektif yang mewaris dari masa ke masa dari generasi ke generasi. Mari kita lanjutkan pembahasan kita tentang khilafat agama samawi yang pertama di era Yerusalem yang diperankan oleh Bani Israil.




Rehabeam (Rahub’am).
Pada Pengajian ke-65 diungkapkan bahwa pada th. 930 SM Rehabeam naik tahta menggantikan ayahnya Raja Sulaiman yang wafat. Meskipun diterima baik di Selatan, Rehabeam atau Rahub’am dalam logat Arab menghadapi tantangan di Utara. Untuk menerima Tahta Rehabeam para tetua suku di Utara mengajukan persyaratan pengurangan pajak dan kerja paksa, yang ternyata ditolak mentah-mentah Rehabeam. Bahkan pada suatu pertemuan di Shikem atau Syakim dalam logat Arab (sekarang kota Nablus), Rehabeam membuat pernyataan yang sangat keras : “Ayahku (Sulaiman) telah memukulmu dengan cambuk; saya benar-benar akan memukulmu dengan cambuk yang penuh dengan duri dan besi” (Karen Armstrong, 1997). Akibatnya para tetua di Utara mengambil langkah memisahkan diri dari Kerajaan Kana’an Bersatu. Mereka merajam hingga mati pejabat urusan kerja paksa, dan memaksa Rehabeam menyelamatkan diri pulang ke Yerusalem.
Perpecahan telah berkobar, dan persatuan yang berhasil dibangun Daud dan Sulaiman kini hancur berantakan. Para tetua di Utara melantik putra dan komandan pembangkang di masa Sulaiman, Yeroboam atau Yarub’am dalam logat Arab, menjadi Raja Israel terpisah dari Yehuda di Selatan yang didominasi suku Yahuza (Yehuda) dan Benyamin yang masih berhasil dikuasai oleh Rehabeam di Yerusalem.

Pembangkang Yeroboam yang dimasa Raja Sulaiman melarikan diri ke Mesir, setelah mangkatnya Raja Sulaiman bergegas kembali ke Palestina kemudian bergabung dengan para tetua Kerajaan Isreal di Utara yang menentang Rehabeam. Setelah menjadi Raja Israel, Yeroboam membangun ibukota Israel baru di Tirza dan menjadikan kuil-kuil lama di Bethel dan Dan sebagai kuil kerajaan.
Dengan demikian maka terbelahlah Kerajaan Kanaan Bersatu menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Israel di Utara dengan ibukota Tirza dan rajanya Yeroboam, dan Kerajaan Yehuda di Selatan dengan ibukota Yerusalem dan rajanya Rehabeam.
Inilah awal era kemunduran khilafat agama samawi yang dibawakan Bani Israel di Yerusalem. Sejarah berikutnya akan mengantarkan khilafat Bani Israel kepada kehancuran. Kita lanjutkan pada pengajian berikutnya. Sekian, terima kasih. Minal ‘Aidien wal Faizien, moon maaf lahir dan batin (‘Iedul Fitri, 1 Syawal 1426 H).

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 18 Nopember 2005,

Pengasuh,
KH AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar