4.7.17

Doa Ibrahim

Doa Ibrahim

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Ya Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka. Dia akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu, mengajari mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ; Al-Baqoroh : 129.
Sesuai tradisi pengajian ini kita akan membahas kandungan ayat ini dengan pendekatan ekelektik multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropoliogi, historiografi maupun psikologi dll, secara holistis dan komprehensif, dengan harapan memperoleh pemahaman dan hikmah yang setinggi-tingginya.

Kiri ke kanan : Muh. Jumhur Hidayat Kepala BNPPTKI dan tokoh politik Bambang Sulistomo. Beradu argumentasii tentang degradasi nasional yang memprihatinkan.
Pokok Bahasan
Ayat diatas merupakan rangkaian tak terpisahkan dari ayat 125-129 yang sudah kita bahas dalam beberapa pengajian yang lalu. Do’a Ibrahim diatas sudah tentu ditulis di zaman Rasulullah saw, dan dimaksudkan untuk memberikan legitimasi bagi kerasulan Muhammad saw. Maka Ibnu Katsir mengartikan kalimat, ”rosulanm-minhum” : “seorang rasul dari kalangan mereka sendiri”, tidak lain yang di maksud adalah Muhammad saw.
Tetapi Ibnu Katsir menambahkan arti rasial pada kalimat “minhum” yang dirujukkan kepada bangsa Arab sebagai ras pertama, kemudian berikutnya kepada segenap manusia. Secara faktual memang sulit dihindari kenyataan bahwa Nabi Muhammad adalah orang Arab dan agama Islam memang pertama kali lahir dikalangan bangsa Arab sebagai bagian dari peradaban ras Semit. Tetapi substansi ajaran Islam dalam perkembangannya tidak mengandung sentimen rasial, bahkan membebaskan umat manusia dari kejahatan rasial.
Ajaran Islam menetapkan derajad semua manusia sama, yang membedakannya hanya kualitas ketaqwaannya kepada Allah. Faktanya selama seribu tahun kekuasaan Islam di Eropa sejak zaman Al-Andalus (abad 8-15) dan Turki Utsmaniyah (abad 16-18) tidak ada kebijakan imperium Islam yang bersifat rasial.


Al-Andalus disebut juga Cordoba. Peradaban Islam yang tinggi dan memimpin Eropa menemukan jalan modernisasinya. Sayang kaum Muslimin justru kemudian tertinggal.
Itulah zaman keemasan dunia di mana Muslim, Kristen dan Yahudi berdampingan secara damai mengembangkan peradaban. Pada abad 19 secara formal Khilafat Utsmaniyah masih ada tapi sudah lemah dan pada awal abad 20 benar-benar berakhir, tepatnya pada tgl. 29 Oktober 1923, saat Mustafa Kemal Affandi atau Mustafa Kemal Attaturk menyampaikan pidato yang mengawali pembubaran khilafat dan pembentukan Republik Turki yang beraliran sekuler nasionalis.
Doa Ibrahim diatas, menyebutkan Al-Kitab dan Al-Hikmah, yang diartikan oleh jumhur mufassirin sebagai Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi pedoman seluruh perikehidupan Muslimin, baik yang sakral maupun yang profan. Dalam Islam tidak ada batas yang sakral dan yang profan. Akhirat dan dunia disatukan dalam transendensi tauhid yang menyatukan kehidupan dan kematian serta kehidupan sesudah mati dalam satu nafas fundamental yang hakiki, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah semata; inilah makna kalimat, ”wayuzakkiihim” : ”dan menyucikan mereka” dalam ayat diatas. Dengan keyakinan itu maka seluruh kehidupan muslim adalah suci, yaitu dalam penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla.
Lebih lanjut Ibnu Abas r.a. dengan sangat brilian mengartikan kalimat, “Innaka antal-aziizulhakiim” : ”Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”,bahwa Allah menempatkan setiap perkara pada tempat semestinya secara hakiki, tidak satupun perkara dapat melemahkannya atau melampauinya. Inilah prinsip akurasi yang harus menjadi prioritas dalam setiap perbuatan.
Rangkaian do’a-do’a Ibrahim dari ayat 126-129 yang merupakan bagian dari system mitologi Islam yang dibangun dari akar abad 20/21 SM, meskipun mengandung sejumlah reduksi dalam lingkup Arab Hejaz, namun memberikan dasar-dasar ideologis monoteis ketauhidan dan legitimasi terhadap kerasulan Muhammad saw pada abad ke 7 M, dalam tradisi agama Semit.
Do’a-do’a Ibrahim memuat substansi perubahan kultural yang menyangkut perubahan sosial budaya, ekonomi dan politik untuk keluar dari paganisme yang absurd dan lumpuh, keluar dari kesulitan ekonomi, kemiskinan dan kekacauan kepada keadaan yang lebih berpengharapan, makmur, tertib dan aman dengan dasar-dasar ideologis yang lebih kuat. Perubahan dari chaos kepada cosmos adalah kekuatan sublimatif doa Ibrahim.
Kemiskinan dan Perubahan
Republik Indonesia, adalah negara sekuler dengan mayoritas penduduk Muslim yang terbesar dan termiskin di dunia dewasa ini. Jumlah pengangguran diperkirakan mencapai 60 juta orang, dan jumlah orang miskin diperkirakan melampaui angka 100 juta orang atau mendekati 50 % penduduk yang mencapai 220 juta jiwa lebih.

Anak-anak kurang gizi makin banyak di Indonesia, tapi Presiden SBY senang di puji-puji Barat.
Namun Pemerintah Presiden SBY senang mendapat berbagai pujian Barat sebagai pemerintahan demokratis yang mampu mengendalikan kondisi makro ekonomi yang baik. Pujian yang menyesatkan, karena kondisi makro hanya semu, yang riil kehidupan semakin sulit, semakin mahal dan semakin tidak terjangkau. Indonesia seakan berada diluar mainstream doa Ibrahim.
Indonesia telah mengganti konstitusi dan menjalankan pemerintahan demokrasi liberal yang korup, tidak efisien dan tidak mampu hampir disegala bidang yang berakibat melonjaknya angka kemiskinan dan pengangguran, kemerosotan infra struktur dan kemunduran ekonomi disemua sektor, yang berakibat lanjut dengan merosotnya kehidupan sosial secara menyeluruh.
Tidak jelas agregat konstitusi dan demokrasi liberal yang demikian absurd yang dijalankan pemerintah. Kondisinya tak lagi berpijak pada dasar-dasar budaya dan kesejarahan bangsa. Juga tidak kepada nilai-nilai sekularisasi Islam seperti pemerataan dan keadilan. Terjadi ironi antara pragmatisme pemerintah dengan realitas sosial yang semakin reduktif.
Pemerintah tak lagi berpijak pada aspek sosiologi bangsa yang merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat yang di masa sebelumnya tercermin dalam Undang-undang Dasar 1945.
Suatu kenyataan UUD 45 tidak sekedar system politik, tetapi mewakili nilai-nilai moral dan kejiwaan bangsa, itulah sebabnya UUD 45 dalam kehidupan bangsa Indonesia berada di wilayah yang sakral. Mengganti UUD 45 seperti mengganti jiwa bangsa.
Tak heran jika muncul suara-suara dalam masyarakat agar kita kembali ke UUD 45, kembali kepada sumber. Semangat ad fontes ini dipicu oleh kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Fundamentalisme politik UUD 45 menjadi realistic karena UUD liberal yang dijalankan pemerintah gagal total dalam mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial.
UUD yang kini diberlakukan pemerintah adalah konstitusi hasil cangkok sana-sini yang bahkan tidak mewakili visi liberal-constitution, yang dibuat oleh parlemen (MPR) th. 2002 tanpa dasar legalitas dan tanpa melibatkan rakyat. Ini sebuah konstitusi yang absurd yang tidak memiliki nilai-nilai dasar kultural dan telah menjerumuskan negara kedalam demokrasi hedonisme tanpa tujuan.
Bangsa Indonesia memandang kehidupan bernegara bagian dari religiusitas seperti tercermin dalam substansi UUD 1945 yang secara formal bahkan belum dicabut. Tetapi Konstitusi 2002 ini sepenuhnya profan tanpa nilai-nilai kesakralan sedikitpun yang menjadikan kehidupan bernegara seperti di wilayah setan tanpa tuhan.
Demokrasi dijalankan hanya sebagai instrumen politik untuk memobilisasi kekuatan dan kekuasaan yang ditempuh dengan menyuap segalanya, mulai dari perangkat system sampai pemilih, mulai dari aturan sampai keyakinan, semuanya bisa dibeli dan kemudian dinikmati secara hedonis.
Ini mengakibatkan kepemimpinan daerah jatuh ketangan para bandit. Dan kelak seluruh negara akan jatuh ketangan para bandit.
Doa Ibrahim dan sublimasi
Pelaksanaan UUD oleh pemerintahan SBY faktanya menghasilkan kemunduran dan pelemahan negara disegala bidang. Tentu tidak seharusnya semua itu dibiarkan terus berlangsung, karena akan berakhir pada kehancuran negara secara keseluruhan.
Jika kita belajar kepada Rasulullah saw yang memperbaiki kehancuran Hejaz dengan regresi kepada nilai-nilai doa Ibrahim yang fundamental, untuk kemudian progresi kearah perubahan sosial secara mendasar dan menyeluruh kepada bentuk sublimasi peradaban yang lebih tinggi bagi perikehidupan, maka kita harus kembali kepada nilai-nilai fundamental bangsa kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang dalam kejiwaan bangsa menempati posisi das Ueber Ich, sebagai sumber moral.
Pancasila dan UUD 1945 adalah negara awal yang dirintis sejak abad 19 dan mencapai bentuk kesepakatan pada pertengah abad 20 dalam rumusan yang dapat diartikan sebagai aqad mu’ahadah al-ijtima’iyyah (kontrak sosial) yang menempatkannya sebagai sumber nilai-nilai kesakralan berbangsa-negara. Kita memerlukan transendensi negara untuk sampai kepada system organic yang akurat, efektif dan bersih.
Bagi kaum Muslimin bernegara adalah bagian dari iman, yaitu untuk mengimplementasikan nilai-nilai sosial Islam dalam realitas kehidupan.
Sebagai mayoritas, umat Islam jelas merupakan basic-land bagi Republik Indonesia, dalam arti fisik maupun cultural. Yang telah dihidupkan dan dibela dengan nilai-nilai jihad oleh kaum Muslimin bukanlah RI 2002 ini, tetapi RI 45 yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Sebagai as-Sawadil ‘Adhom umat Islam memiliki kontrak sosial dan menjadi stakeholder terbesar dalam pembentukan NKRI 1945. Maka religiusitas dan nilai-nilai transendensi bernegara kaum Muslimin inhaerent dalam NKRI 1945.
Sekularisasi nilai-nilai Islam dalam tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur ialah didalam frame of reference NKRI 1945, bukan dalam bentuk negara yang lain yang tidak memiliki otentitas.
Maka sebagaimana Rasulullah saw yang dalam mewujudkan perubahan sosial tidak pernah kehilangan hubungan dengan sumbernya seperti tercermin dalam posisi mainstream doa-doa Ibrahim, maka sebagai bangsa kita-pun harus senantiasa berpegang kepada sumbernya yang asli yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Sebagaimana Rasulullah saw, setelah regresi itu kita harus melakukan langkah progresi untuk melakukan revolusi, emansipasi dan sublimasi kearah kehidupan bangsa yang lebih baik, yang lebih memberikan harapan bagi rakyat banyak untuk keluar dari kemiskinan kepada tingkat kehidupan yang lebih layak dan lebih berbudaya.
Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 16 Februari 2006,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar