16.7.17

Im-lek dan Yang-lek

Oleh : KH. Agus Miftach
Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Walladziena yu’minuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila min qoblika; wabil-akhirotihum yuqienunn” : “Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu, dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu; serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat” (Al-Baqoroh : 4).
Beriman menurut konsep Al-Qur’an meliputi spectrum yang luas, menyangkut realitas masa kini, disposisi dari masa silam dan masa depan kehidupan transcendental.Realitas masa kini diukur dari masa kenabian Rasulullah SAW, sedangkan disposisi dari masa silam diukur dari rentang kenabian sejak zaman Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Bahkan jika dirujuk dengan Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian Keduapuluhdelapan), maka disposisi dari masa silam itu menyangkut warisan kejiwaan seluruh jenis manusia.



Majelis pengajian ini telah mendalami disposisi psikologis tidak hanya dari jejak wahyu sejak zaman Adam hingga Muhammad, namun juga mendalami arkhe (awal mula) peradaban homo sapiens (manusia) sejak zaman Hun-tun, Yunani Miletos, Sigmund Freud hingga zaman NASA dan cybervision sekarang ini. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat beriman dari ayat didepan menyangkut pengertian pemahaman terhadap peradaban jenis manusia, semesta alam dan kehidupan sesudah mati atau kehidupan akhirat.
Beriman sepanjang masa.
Beriman kepada Al-Qur’an artinya membedah, mempelajarinya, menggali hikmahnya secara optimal dan mengimplementasikannya dalam kehidupan. Beriman kepada Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an artinya menggali hikmah yang terkandung dalam Injil, Taurat, Zabur dan semua firman Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul-Nya, yang sesungguhnya sudah terkandung dalam Al-Qur’an.

Penyebutan Kitab terdahulu adalah sebagai penekanan agar kita melihat keseluruhan nubuat secara utuh. Dan jika kita merujuk pada Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian Keduapuluhdelapan), sesungguhnya kita bukan hanya perlu menggali disposisi nubuatan, tetapi lebih dari itu menggali sumber-sumber antropologi, psikologi dan historiografi kebudayaan dan peradaban jenis manusia seluruhnya. Dari sanalah akar kehidupan umat manusia berkembang hingga masa sekarang dan seterusnya.

Seorang pemikir abad 20 Symons (1991), mengungkapkan bahwa mekanisme psikologi yang tampak pada kepribadian manusia dewasa ini tidak terjadi begitu saja pada penggalan waktu masa kini, melainkan merupakan hasil dari sebuah proses evolusi selama beratus, beribu bahkan berjuta tahun yang silam.


Pengertian ayat didepan tidak hanya tekstual, tetapi menyangkut pula periodisasi waktu, yaitu segala sesuatu yang menyangkut masa sekarang, masa silam dan hakekat masa depan yang bersifat transcendent. Maka makna beriman pada ayat didepan, ialah memahami seluruh periodisasi kehidupan ini dan kelanggengan kehidupan sesudah mati sebagai puncaknya.
Proses dinamik
Beriman bukan suatu yang statis, melainkan perjuangan psikofisik yang dinamis. Mulai dari menaklukkan das Es (hawa nafsu) dan menggantinya dengan obyek substitusi yang kreatif sebagai derivat instink, hingga terjadinya proses sublimasi yang menjadi sumber perubahan budaya manusia. Perubahan dari budaya mitologis dan kemusyrikan kepada budaya akal pikiran dan ketauhidan adalah proses dinamik iman. Oleh sebab itu makna beriman pada ayat didepan tidak dapat dipersempit pada pengertian tekstual, tetapi lebih luas merupakan proses dinamik psikofisik secara menyeluruh sepanjang masa.

Di daratan Tiongkok misalnya, tidak pernah diturunkan Utusan Allah yang menyampaikan Firman-firman-Nya (Kitab Allah) kepada Bangsa China yang besar itu. Sehingga secara tekstual Bangsa China tidak memiliki Kitab Allah seperti Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Apakah karena itu Bangsa China dianggap kafir seluruhnya dan tidak berhak masuk Sorga ?
Sedangkan tidak diragukan di daratan besar Tiongkok terjadi proses pembentukan kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Bahkan Rasulullah SAW bersabda : “Uthlubul ‘ilma walao bisSyin” : “Tuntulah ilmu walau sampai ke negeri China”. Di belahan dunia itu lahir para filsuf besar yang menerangi kehidupan umat manusia, yang mengajar mereka (pada tataran agnostic) tentang kebajikan, berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu dan harmonisme kehidupan. Mereka adalah Lao-tzu, Khonghucu, Mengzi, Hsun-tzu, Mozi, Chuang-tzu, Miao-san, dsb, semoga Allah meridhoi mereka. Dan kita ucapkan Selamat Hari Raya IM-LEK ke 2556 (Sin-cia 551 SM - 2005 M) pada semua penganut Sam Kauw dan tradisi Khonghucu diseluruh dunia, Gong Xi Fa Cai-Panjang Umur dan Murah Rejeki.


Semoga Allah atau Thian dalam bahasa mereka, memasukkan mereka kedalam golongan Shobi’ien yang beriman tauhid seperti yang tersirat dalam Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian Keduapuluh delapan).

Tahun Im-lek didasarkan pada peredaran bulan seperti Tahun Hijriyah. Disamping Im-lek orang China juga menggunakan penanggalan matahari yang disebut Yang-lek, mengikuti tahun masehi. Tahun Im-lek dihitung mulai tahun lahirnya filsuf besar Khonghucu pada tahun 551 SM yang oleh kalangan tradisionalis bahkan dianggap sebagai Nabi-China. Lebih tua dari negeri China itu sendiri yang baru didirikan oleh Kaisar Ch’in Shih Huang Ti pada tahun 221 SM setelah berhasil menyatukan daratan Tiongkok dengan jalan militer yang tidak begitu disukai oleh kalangan Khonghucuisme.


Mozi.
Atas dasar nama Dinasti Ch’in inilah daratan Tiongkok disebut oleh orang-orang Eropa dengan negeri Chin atau China. Kaisar Ch’in itu pula yang membangun “Ban Li Tiang Shia” atau Tembok 10 ribu Li – The Great Wall, Tembok Besar yang melintang di belahan Utara yang menjadi salah satu keajaiban dunia.
Adapun nama Tiongkok menurut aksen Hokkian, berakar pada kata “Chung-kuok” menurut bahasa Mandarin, berasal dari ajaran Khonghucu tentang “Chung” yang bermakna kesetiaan dan kejujuran. “Kuok” bermakna negeri. “Chung-kuok” atau Tiongkok bermakna negeri yang didasarkan atas kesetiaan dan kejujuran. Bangsanya disebut “Chung-hoa”, (Tionghoa-aksen Hokkian) bangsa yang bersendikan kesetiaan dan kejujuran. (Siti Maslaha, Tesis 2005).

Dewasa ini kata “China” bermakna state system, sedangkan “Chung-kuok” atau Tiongkok bermakna cultural. Mereka adalah bangsa yang mengakui hakekat Tuhan berada di semua unsur semesta alam. Maka membangun harmonisme diseluruh lingkungan mikrokosmos dan makrokosmos yang disebut Yin dan Yang, artinya mewujudkan keselarasan dalam hubungan dengan semua unsur kehidupan dan Thian (Allah). Sama dengan intisari khotbah agung Yesus Al-Masih di Galilea 2000 tahun yang lalu tentang “Kasih kepada Allah dan Kasih kepada sesama” sebagai prasyarat masuk Sorga Allah; Dan sama pula dengan ajaran Islam tentang “Hablun minallah wa hablun-muinannaas” : “menyempurnakan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama” sebagai kunci untuk mencapai keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Kita tidak ingin memperdebatkan secara subyektif kelemahan-kelemahan dalam ajaran Konfusianisme, karena kita memandangnya sebagai periodisasi zaman kuno (ancient-period), suatu tahapan dari perjalana spiritual manusia. Dan berdasarkan Al-Kafirun 6 kita berpendapat bahwa agama diperlakukan sebagaimana para pemeluknya memberlakukannya.
Bentuk akhir perjalanan spiritual manusia ialah monotheisme zaman ini yang dipelopori oleh Islam, Nasrani dan Yahudi, yang memiliki tiga ciri kesamaan yaitu kesamaan Tuhan (United of God (Allah)), kesamaan Kitab (United of Books) dan kesamaan Sejarah (United of History). Tidak ada alasan permusuhan dalam ajaran ketiga agama itu, kecuali bagi mereka yang musyrik, fasik dan bodoh.

Hijrah
Herakleitos 25 abad yang lampau mendalilkan penemuannya tentang “hakekat perubahan”. Menurutnya yang kekal adalah perubahan. Segala sesuatu berada dalam arus perubahan tiada henti, seperti aliran air dan desir angin. Hakekat perubahan yang didalilkan Herakleitos besifat konstansi an-organis, merupakan kondisi obyektif yang sifatnya pasti. Makna perubahan seperti itu sesungguhnya bukan suatu perubahan dalam arti transferabilitas progresif. 11 abad setelah Herakleitos yang hidup di zaman Yunani Melitos, Rasulullah SAW mencerahkan dunia dengan sebuah perubahan besar yang disebut “Hijrah”. Berbeda dengan konsep perubahan Herakleitos yang bersifat konstansi an-organis, alami dan obyektif. Maka “Hijrah” bersifat psikofisik, dinamik, organis, subyektif dan sublimatif. Hijrah adalah transferabilitas progresif yang bersifat sublimatif yang menciptakan perubahan budaya dan peradaban umat manusia.

Selama ribuan tahun Arab, khususnya lembah Bakkah atau Mekkah merupakan kawasan yang tidak tersentuh peradaban. Mereka terisolasi dari peradaban dan terkurung dalam budaya primitif yang bersifat arsetip (vide, Pengajian Kedua). Lebih banyak dikuasai rejim instinktif (das Es) dengan sikap mental dan perilaku impulsive yang oleh Rasulullah disebut kebudayaan jahilliyah (paganisme).

Mereka menganut agama purba gurun pasir yang menyembah aneka ragam berhala yang bebas mereka ciptakan sendiri menurut selera dan kepentingan masing-masing didasarkan pada mitos takhayul masing-masing. Bahkan banyak tuhan berhala yang dibuat dari adonan, agar setelah selesai disembah dapat dimakan beramai-ramai. Diantara yang tertinggi adalah berhala Ba’al, Latta dan Uzza. Nah ditengah-tengah ancient society yang demikian itulah Al-Qur’an diturunkan melalui Rasulullah SAW diutus.
Revolusi besar Hijrah telah menciptakan transferabilitas progresif dari budaya jahiliyah yang primitif dan rendah diferensiasinya kepada budaya monotheis yang transenden dan tinggi diferensiasinya. Hijrah merupakan bentuk sublimasi psikologis yang mengubah konstitusi jiwa dan psyche umat manusia dari dominasi struktur nilai mitologis dan archeytipus kepada dominasi struktur nilai Tauhid dan transcendent-function, yang telah membangkitkan gestalt tertinggi dan mendorong kreativitas manusia pada puncak-puncaknya yang tertinggi.

Hijrah bukan sekedar migrasi dari Mekkah ke Medinah, tetapi lebih dari itu merupakan emansipasi peradaban Tauhid. Maka hakekat Hijrah merupakan transferabilitas “minadzzulumati ilan-nuur”, perubahan dari kegelapan kepada cayaha yang terbenderang, dari ketidakberdayaan das Es kepada emansipasi das Ueber Ich dan berpuncak pada das Ich yang tertinggi.
Dari menyembah Ba’al dan berhala-berhala adonan yang nista dan mati serta menggambarkan zaman kebodohan takhayul kepada menyembah Allah Yang Maha Esa yang meliputi segalanya, menggambarkan zaman kebangkitan akal dan iman manusia untuk mencapai emansipasi tertinggi dalam kehidupan dan keabadian akhirat yang transcendent. Saya ucapkan “Selamat Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam 1426 H”.


Ba’al El Elyon.
Peringatan 1 Muharam tidak berkaitan dengan peribadatan. Penanggalan Hijriyah ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. berdasarkan peredaran bulan (qomariyah) dimulai dari persitiwa Hijrah. Akibatnya peristiwa2 sebelum Hijrah tidak tercover secara akurat dalam penanggalan Hijriyah. Seandinya saya hidup dizaman itu, akan saya usulkan kalender Islam mulai dari saat turunnya Wahyu yang pertama, dan dinamakan kelender Nubuat. Dengan demikian seluruh masa dan peristiwa kenabian Rasulullah SAW tercover dengan lebih akurat. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,

Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 11 Februari 2005,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


11.7.17

Mengubah Padang “Neraka” Menjadi “Lembah Syurga”


Sunting Edit: Kukuh-2007
Padang tandus seluas 1034 kilometer persegi itu hanya dihuni oleh, ular, kadal dan kalajengking. Ketika malam tiba, suara lolong serigala dan serangga malam bahkan mampu menegakkan bulu roma. Hampir tujuh bulan tak ditemukan mata air saat berkali - kali dibuat sumur, ketika ribuan orang Ahmadi awal tengah berjuang untuk membangun sebuah “Kota Baru - Rabwah”, menyusul exodus besar akibat perpisahan India dan berdirinya Pakistan.

Rencana-rencana untuk kota baru itu disetujui, dan orang-orang Ahmadi awal sampai dilokasi tersebut tanggal 19 September 1948. Mereka harus menegakan tenda-tenda yang akan memberikan akomodasi sementara bagi para sukarelawan yang akan mendirikan kota baru itu. Diantara mereka terdapat pemuda belasan tahun - Mirza Tahir Ahmad, yang dikemudian hari menjadi Khalifatul Masih ke IV Ahmadiyah, dan mengunjungi Indonesia tahun 2000, diterima Gus Dur selaku Presiden RI dan Amin Rais sebagai Ketua MPR ketika itu.
Bangunan-bangunan pertama didirikan dari batu-batu bata yang dibuat sendiri serta pintu-pintu dan jendela-jendela yang dibeli dari bekas lokasi yang ditinggalkan.Bangunan-bangunan kecil tak mencolok dari batu bata segera memenuhi lokasi 3000 rumah tinggal yang dirancang dalam rencana kota.

Kehidupan tidak mudah. Setiap keluarga diberi dua tempat tidur, satu lampu, dan sebuah ember untuk keperluan rumah tangga. Suplai air sangat sedikit. Ahli-ahli geologi mengatakan ada air dibawah tanah, tetapi tidak dapat ditemukan. Barulah tujuh bulan kemudian, dalam April 1949, ditemukan sumur pertama yang berair.
Hampir empat puluh tahun kemudian, 1982- disana tumbuh rerumputan dan pohon – pohon serta terdapat jalan- jalan lebar dan rumah-rumah bagus. Kota ini mempunyai 40 masjid dan berpenduduk 45 ribu jiwa karena sudah menjadi pusat Jemaat Ahmadiyah.Salah satu bangunan megah ditengah kota, bernama Masjid Aqsa, dapat memuat lima belas ribu jemaah, tetapi tetap saja tak cukup tempat bagi seluruh hadirin yang ingin mendengarkan khutbah. Pengeras suara meneruskan khutbah pada ribuan orang yang menunggu diluar mesjid.


Yang menarik, sejak awal tahun 2000, kota Rabwah juga memiliki Rumah sakit dengan fasilitas termodern didunia, dengan paramedis dan Dokter terbaik lulusan Amerika dan berbagai Negara Eropa lainya. Dari kota itu pula, para sukarelawan Ahmadi menyebarkan misi Islam ke lebih 180 Negara di dunia, melalui koordinasi dengan pusat siaran Televisi Muslim Ahmadiyah , yang mengudara nonstop 24 jam tiap hari , dan dipancarkan langsung dari London UK.


Foto atas: Berbagai kesibukan liputan Televisi Dakwah Islam dikumandangkan Ahmadiyah dari Rabwah- Pakistan berkoordinasi dengan studio Pusat Muslim TV Ahmadiyah International (MTA) London -UK yang mengudara 24 jam nonstop tiap hari.
Namun cerita panjang Mengubah Neraka menjadi Syurga itu, bisa pula kita simak agak rinci seperti yang dituturkan Ian Adamson, penulis Besar beragama Katolik berkebangsaani Inggeris, dalam bukunya Man Of God. Buku yang bahannya dikumpulkan selama belasan tahun, melalui survei dan pergaulan langsung Sang Penulis dengan berbagai kelompok dalam komunitas Muslim Ahmadiyah diberbagai Negara itu, nukilan gaya sentimentalnya bisa kita ikuti seperti berikut ini:
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Raja George VI, yang memerintah India, berkendaraan resmi menuju Istana Westminter untuk membuka babak baru Dewan Rakyat. Partai Buruh yang sosialis telah memperoleh kekuasaan dengan suara mayoritas dan membentuk pemerintahan baru. Pidato dari singgasana yang disampaikannya kepada hadirin yang terdiri dari para anggota House of Lords dan house of Commons merupakan pernyataan mengenai pemerintah yang baru karena raja secara konstitusi berkedudukan diatas politik dan tidak mempunyai hak pendapat. Kebijaksanaan partai buruh adalah agar seluruh rakyat didalam kemaharajaan mengatur diri mereka sendiri didalam Negara-negara yang merdeka.
“Sesuai dengan janji-janji yang telah diberikan kepada rakyat India saya, Pemerintah saya akan melakukan hal yang terbaik untuk mengadakan, dengan kerjasama bersama para pemimpin opini India, realisasi dari pemerintah mandiri India yang sepenuhnya,”kata raja.

“Janji itu menjadi kenyataan pada tanggal 15 Agustus 1947 : kenyataan yang tragis,” tulis Zafrullah Khan kemudian hari.
Earl Mountbatten, Gubernur Jendral India terakhir, harus berjuang untuk tetap mempersatukan anak benua ini sebagai satu kesatuan politik, tetapi sejarah menentangnya. Kedua kebudayaan utama di anak benua itu, Islam dan Hindu , sudah hidup berdampingan selama 8 abad.

Tentunya mereka telah melakukan aksi dan reaksi terhadap satu dengan yang lain tetapi tidak ada percampuran dalam skala besar dan tentunya tidak ada peleburan membentuk satu amalgam. Salah satu sebabnya adalah setiap kebudayaan itu berasal dari agama dan diantara keduanya tidak ada titik temu. Hasilnya adalah orang-orang Islam dan Hindu membangun dua Negara dan bukannya membangun dua masyarakat, demikian kata para pengamat. Kaum minoritas Islam yakin bahwa dalam India yang bersatu mereka tidak hanya akan menjadi sebuah angka minoritas tetapi juga satu masyarakat minoritas yang tertekan.
Pembagian India dimulai. Orang-orang yang telah hidup bertahun-tahun sebagai tetangga tanpa niat buruk tiba-tiba saling membenci satu sama lain. Tak seorangpun aman.

Dimana-mana penduduk mulai mempersenjatai diri mereka. Tahir saat itu merupakan anggota perkumpulan pemuda Ahmadiyah, Khuddamul Ahmadiyah, dan mereka dibentuk menjadi kelompok atau betalyon untuk mempertahankan Qadian. Tujuh puluh ribu orang Islam membanjiri Qadian masuk dari desa-desa didekatnya. Disekitar mereka tinggal orang-orang Sikh dan hindu yang kejam.

QADIAN- India, puluhan ribu orang membanjiri kota Kecil tempat kelahiran Ahmadiyah itu sebelum terjadi pemisahan Pakistan dari negara induknya India 1947.
Kami telah tahu bagaimana cara menembak sejak masa kanak-kanak dan kami terbiasa bekerja dalam organisasi serta menerima perintah-perintah jadi kami mampu mengatur diri kami dengan segera,kenang Tahir.
Tidak ada kepangkatan tetapi kami diberi tahu orang ini adalah ketua kalianâ.
Dengan segera sejumlah tentara biasa dikirim kedaerah kami dan setiap orang dari mereka diberi tugas mengkomando suatu distrik tertentu. Ia menunjuk berbagai petugas dan kami disuruh mematuhi perintah-perintah orang tertentu. Orang-orang itu telah kami kenal sebelumnya.

Sisanya tidak kami kenal. System itu begitu terjaga sehingga jika seseorang tertangkap dan ditanyai ia tidak akan tahu siapa yang bertugas mengkomando daerah itu bagaimana perintah-perintah lain diatur.
Tidak ada tingkatan. Kami hanya tahu siapa yang harus kami patuhiâ. Kegemaran Tahir dalam berolahraga dan menembak membuatnya bisa dimaklumi ditunjuk sebagai penanggungjawab salah satu unit luar biasa ini. Ia diberi tahu bahwa tugasnyalah mengatur pertahanan pusat Qadian dari serangan apapun.
Penunjukan itu sangatlah penting tetapi tidak menyenangkan bagi saya. Saya curiga “ dan saya masih percaya – hal itu disengaja untuk menjauhkan saya dari bahaya. Bukan bahaya dalam arti bahaya pribadi, tetapi karena saya masih muda dan mungkin mencari keributan dan bukannya menghindarinya. Jadi mereka mengangkat orang-orang lain  yang usianya lebih tua “ pada daerah-daerah pinggiran dimana kemungkinan kericuhan lebih besar terjadi dan menyuruh saya ditengah.

Hal itu tidak menyenangkan saya sama sekali. Jadi saya tidak pernah terlibat dalam aksi apapun.
Tetapi ia terlibat dalam persenjataan dan ekskursi militer. Hal itu menyangkut persenjataan kaum Muslim yang dikumpulkannya di Qadian.
Semuanya terdaftar secara satuan jadi itu merupakan sedikit penyimpangan dari hukum yang ketat. Namun hal itu berarti jika ada bahaya serangan, senjata dapat langsung disiapkan serta langsung dapat disembunyikan lagi. Hanya sedikit orang yang tahu dimana senjata-senjata itu disimpan.
Jadi itulah tugas saya. Sekali, ketika sejumlah besar senjata tambahan datang, digali lubang dilantai rumah saya dan persenjataan itu dimasukan lalu tanah diisi dan diratakan kembali. Saya diperintahkan untuk tidak menyentuhnya dan harus melupakannya sampai saya diberi perintah. Ruangan itu dikunci dan mereka yang hadir berpencar.
Ketika saya mulai berpikir tentang tempat persembunyian saya bertanya pada orang-orang yang bersama saya untuk mengusulkan suatu tempat dimana senjata-senjata itu dapat disembunyikan tanpa dapat diketahui.
Mereka mengusulkan berbagai jenis tempat dan setelah mereka selesai dan saya berkata, ˜Baiklah, mari lihat suatu tempat yang belum disebutkan.
Tempat yang belum disebutkan adalah lubang asap !

Jadi saya perintahkan agar api kecil dihidupkan dan dinyalakan siang dan malam. Tapi pertama-tama kami membuka lubang asap dan meletakan rak-rak didalamnya sehingga senjata-senjata dapat ditempatkan disana dengan mudah.
Tak lama kemudian terlihat seperti hujan akan turun jadi saya meminta seorang sukarelawan naik kea tap dan menutup mulut lubang asap agar hujan tidak merusak senapan-senapan. Ketika ia sedang diatap saya melihat seorang wanita Sikh memperhatikannya dan hal ini mengganggu saya. Segera saja semua senapan saya turunkan. Saya bawa semuanya kerumah calon mertua saya. Karena saya harus kembali ke pos saya secepat mungkin, saya tinggalkan senjata-senjata itu diatas sebuah tempat tidur secara terbuka.
Pagi berikutnya saya keluar pagi-pagi dan melihat tentara-tentara India dimana-mana. Mereka berasal dari dua kesatuan tangguh “ Marhati dan Dogra “ dan sayangnya mereka terdiri atas banyak tentara yang anti-Muslim. Segera diumumkan bahwa mereka akan memeriksa semua rumah untuk mencari senjata. Rumah kami tentunya salah satu yang pertama diperiksa.
œSaya merasakan tiga kecemasan mendadak “ ada senapan-senapan dibawah lantai, ada rak-rak senjata dilubang asap “ dan saya khawatir karena tergesa-gesa mungkin kami telah meninggalkan sesuatu disana “ sementara dikamar tidur saya sejumlah besar peluru yang sedang saya ganti dari  kecil ke besar.
Para serdadu langsung menuju keruangan dimana senjata-senjata sudah dikuburkan dan mulai menggali. Tetapi senjata-senjata itu sudah hilang !
Belakangan saya diberitahukan bahwa senjata-senjata itu sudah diperlukan cepat-cepat ditempat lain jadi mereka sudah datang dan menggalinya ketika saya sedang keluar dengan senjata-senjata yang lain.
Ada seorang tetangga Hindu yang mendengar suara penggalian ketika senjata-senjata itu pertama kali disimpan dan ia telah memperingatkan tentara. Setelah itu para tentara langsung pergi kelubang asap. Wanita Sikh tadi telah memberitahu mereka bahwa kami melakukan sesuatu terhadap lubang asap. Mereka membiarkan seorang tentara turun dari atas, tetapi tidak ada apa-apa disana “ hanya sekotak peluru ukuran 0,25. karena kami mempunyai lisensi kami dibolehkan mempunyainya meskipun saya akui bahwa itu tempat yang sangat aneh untuk menyimpannya.
Kemudian mereka masuk kekamar saya dimana peluru-peluru itu terdapat dalam kotak-kotak dilaci saya. Seorang tentara mengangkat sebuah kotak dan menggoyangnya.
Kacang,katanya. Hanya kacang. Ia kembali menutup laci.
Itu merupakan satu-satunya krisis serius yang saya hadapi secara pribadi di Qadian dan kota ini, meskipun dikepung oleh tentara-tentara Sikh, tidak pernah diserang.
Tetapi pada bulan Agustus 1947 Jemaat ini menghadapi krisis yang tak terduga  keseluruhan wilayah telah jatuh kebagian Negara yang diperuntukan bagi India. Setelah banyak berdoa Khalifah memerintahkan pengosongan. Qadian, tempat dimana Ahmad telah dilahirkan, hidup, dan dikebumikan sudah tentu merupakan kota suci bagi semua orang Ahmadi, tetapi masa depan mereka terletak di Pakistan, Negara yang telah mereka Bantu ciptakan.
Namun suatu hari kelak, Khalifah berjanji, Jemaat akan kembali ke Qadian.
Pada tanggal 31 Agustus mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, gedung perkantoran, dan rumah-rumah pribadi dikunci dan ditinggalkan, dan sekonvoi truk yang dilindungi kesatuan-kesatuan tentara bergerak keluar Qadian. Diatas truk-truk adalah segala yang dapat mereka bawa. Konvoi itu, diancam selalu oleh orang-orang Sikh, membawa mereka ke Lahore dan kenegara baru Pakistan.
Hz.Mirza Taher Ahmad (berkalung selendang) penggubah Puisi yang menyemangati para relawan pembangun kota Baru- Rabwah. Dalam foto Mirza Taher dikawal relawan bersenapan mesin, saat mengunjungi Qadian- India 1991 - setelah sekitar 47 tahun ditinggalkan pindah ke Rabwah Pakistan. Tahun 2000, dalam kapasitas sebagai Imam Ahmadiyah Internasional- Mirza Taher Ahmad juga mengunjungi Indonesia diterima Presiden KH Abdurahman Wahid dan Dr. Amin Rais- Ketua MPR RI ketika itu.

Tiga ratus tiga belas orang Ahmadi tinggal dibelakang untuk menjaga harta milik Jemaat sampai mereka dapat kembali lagi. Angka ini sama dengan jumlah orang yang bersama Muhammad, Rasulullah, pada perang Badr. Di Pakistan para anggota Jemaat berpencar untuk memulai suatu hidup baru. Keahlian dan pendidikan mereka sangat dibutuhkan ditanah air mereka yang baru.

Khalifah telah menububuwatkan bahwa mereka akan terpaksa meninggalkan Qadian. Wahyu tersebut diterbitkan pada surat-kabar Jemaat Al-Fazal bulan Desember 1941. Tetapi ia juga sangat yakin bahwa mereka akan kembali. Sementara itu mereka akan mendirikan sebuah kota baru “ yang akan bertempat diwilayah hijau dan menyenangkan dengan banyak pohon dan mata-air mata-air jernih. Tanah itu dikelilingi oleh bukit.
Wilayah seluas 1034 hektar ditepi barat sungai Cenab yang dibeli Jemaat dari Pemerintah tidak sesuai dengan wahyu Khalifah Kedua. Tidak-ada pohon-pohon. Tidak ada air. Tanahnya bergaram. Penghuni-penghuninya hanya ular dan kalajengking, serigala dan anjing hutan. Seorang Penulis Ahmadi menggambarkan kondidi aslinya sebagai œalam buas lepasâ. Lembah itu terletak enam mil dari kota Chiniot pada jalan dari Lahore ke Sarghodha, kira-kira mempunyai panjang tiga mil dan lebar satu mil. Disebelah utaranya terbentang pegunungan batu hitam.

Tetapi tempat itu mempunyai keunggula-keunggulan tertentu. Sungai Chenab yang mengalir melalui lembah dan jalan kereta api dari Lahore ke Sarghodha, yang membelah tanah yang mereka beli, menjanjikan komunikasi mudah dimasa mendatang. Tapi yang paling penting adalah fakta bahwa disana mereka akan ditinggalkan sendiri.

Kami lebih menyukai alam lepas ini daripada kota-kota untuk membuat orang-orang ingat pada tugas-tugas mereka, untuk mengatur mereka, dan memberi mereka pendidikan serta latihan moral,kata Khalifah.
Lembah ini, yang tingginya sekitar 600 kaki dari permukaan laut dan sekitar 20 kaki diatas dataran sekitarnya, akan menjadi tempat penyelamatan mereka sama seperti gambaran Al-Quran tentang tempat penyelamatan Maria dan Yesus oleh Tuhan.
Dan kami jadikan anak Maria serta ibunya sebagai tanda dan kami beri mereka tempat berlindung pada sebuah tanah yang terangkat dengan lembah-lembah hijau dan mata-air mata-air yang mengalir.”(QS,23:51)
Dalam bahasa Arab kata untuk sebidang tanah yang terangkat demikian adalah Rabwah. Jadi itulah seharusnya nama kota baru mereka, Khalifah memutuskan.
Sebelumnya, ketika beliau pertama kali melihat lembah itu, beliau menyatakan, “Tempat berlindung yang saya lihat dalam wahyu menyerupai ini dalam banyak segi. Misalnya tempat ini dikelilingi bukit. Tetapi tempat ini kosong sementara tempat yang saya lihat sangat subur hijau. Mungkin tempat ini akan menjadi demikian melalui usaha kita

Rencana-rencana untuk kota baru itu disetujui dan orang-orang Ahmadi awal sampai dilokasi tersebut tanggal 19 September 1948. Mereka harus menegakan tenda-tenda yang akan memberikan akomodasi sementara bagi para sukarelawan yang akan mendirikan kota baru itu. Diantara mereka terdapat Tahir.
Bangunan-bangunan pertama didirikan dari batu-batu bata yang dibuat sendiri serta pintu-pintu dan jendela-jendela yang dibeli dari bekas lokasi yang ditinggalkan.
Bangunan-bangunan kecil tak mencolok dari batu bata segera memenuhi lokasi 3000 rumah tinggal yang dirancang dalam rencana kota.

Kehidupan tidak mudah. Setiap keluarga diberi dua tempat tidur, satu lampu, dan sebuah ember untuk keperluan rumah tangga. Suplai air sangat sedikit. Ahli-ahli geologi mengatakan ada air dibawah tanah, tetapi tidak dapat ditemukan. Barulah tujuh bulan kemudian, dalam April 1949, ditemukan sumur pertama yang berair.
Untuk menjaga semangat Jemaat, sebuah system pengeras suara dipasang agar pesan-pesan dapat disiarkan dan didengar oleh setiap orang yang bekerja di Rabwah. Suatu malam Khalifah sedang berada dirumah beliau ketika pengeras suara berderak dan hidup kemudian beliau mendengar suara seorang pemuda membacakan puisi yang menyentuh hati.
Kerja keras mereka mendapat penghargaan, kata pemuda itu. Sukses hampir diraih. Puisi itu mendorong setiap Ahmadi untuk berusaha lebih giat.
Khalifah keluar dari rumah beliau untuk mendengarkan dengan lebih baik, beliau berdiri dipagar yang melingkari taman.
Itu adalah jenis puisi yang kita butuhkan pada masa seperti ini,kata beliau,Saya bertanya-tanya siapa gerangan dia
Istri beliau memandang tercengang.tidaklah engkau mengenali suaranya,katanya.Itu Tahir.
Khalifah mendehem dan masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa lagi. Bagi orang biasa mungkin terlihat bahwa beliau agak kecewa karena telah memuji Tahir secara tak sengaja.
Dari suatu segi hal itu benar. Beliau mengetahui suatu rahasia yang pernah disampaikan ibu Tahir kepada seorang temannya dan disuruhnya bersumpah untuk merahasiakannya.
Tahir sendiri tidak ragu pada kecintaan ayahnya yang besar terhadap seluruh putra-putri beliau, termasuk dirinya.
Tetapi beliau selalu mencoba menyimpan emosi beliau tetap terjaga,katanya. Bagaimanapun,puisi-puisi Mirza Tahir Ahmad ikut menjadi saksi keberhasilan para Ahmadi mengubah Padang Neraka menjadi Lembah Syurga.


Dunia Mengejar Kita - Mereka Mengejar Dunia


Catatan Kontemplasi: Kukuh –jkt 2007
Mas Syukur adalah Pria sederhana Pengusaha Hotel dengan ciri khas Pemandian dan Kolam Renang Air Panas terbaik di Asia Tenggara, pinjam istilah Gus Miftach. Dari keuletannya menekuni dunia Pariwisata, Lelaki kelahiran Garut Jawa Barat ini beberapa kali harus ketemu beberapa Presiden RI, sejak Soeharto sampai kini, hanya untuk menerima Penghargaan Pemerintah.
HOTEL-SUMBERALAM - GARUT -JAWABARAT

Jauh sebelum Mas Syukur terjun sebagai Pengusaha dibidang Pariwisata, pemilik suara Tenor ini memang sejak muda telah gemar melanglang buana. Dari Bermuda sampai Negeri Sakura, mulai Singapura sampai Singaparna, bahkan mungkin juga menyeberangi Laut Merah sampai laut Hitam, sudah dilakoninya.

Kini, ketika status Pengusaha disandangnya,setiap tahun Mas Syukur punya jadwal menghadiri Konferensi Komunitas Agama Internasional di Inggeris, Jerman, Jepang, Australia, Kanada, Amerika dan sebagainya. Uniknya, walaupun disediakan Penginapan sekelas Hotel Bintang Lima diberbagai Negera itu, jika Konferensi berlangsung, Mas Syukur lebih memilih tidur menginap di Masjid atau di tenda-tenda lapangan terbuka yang juga disiapkan Panitia.


Salah satu fasilitas Panitia yang tak ditolak Mas Syukur adalah sarana transportasi Gratis untuk berkeliling dibeberapa kota besar Eropa seperti London tersebut. Yang tidak kalah menarik, sopir mobil yang mengantar Syukur juga tidak dibayar Panitia, karena para sopir itu juga berstatus Peserta Konferensi yang datang lebih duluan, dengan niat sengaja ingin jadi sukarelawan untuk mengkhidmati para tamu Masih Mau’ud as.

Sambil berkeliling kota menikmati pemandangan Eropa, Mas Syukur mulai membuka dialog dengan Sopir yang dengan takzim setia mengantar kemanapun tujuan sang Tamu. “Sudah lama tiba di London”?, tanya Mas Syukur. “Jauh Sebelum Konferensi dimulai , saya sudah datang dan langsung mendaftar ke Panitia sebagai tenaga Sukarelawan Wakaf Arzi”, jawab sang sopir.



London
Mendengar jawaban sopir, Mas Syukur berfikir, tentulah sopir ini termasuk orang kaya. Soalnya, bagi orang Indonesia, untuk bisa datang ke London- UK dan nginap tiga hari saja, sudah lumayan menguras kantong. Itu karena tingginya harga kebutuhan hidup sehari-hari di London. Mulai makan, transportasi, dan penginapan. Dan sopir ini sudah datang ke London jauh sebelum Konferensi dimulai. Padahal Mas Syukur saja, bisa agak mengatur isi kantong karena mendapat hak Gratis Tiga Hari Tiga malam, mulai Akomodasi, Konsumsi maupun Transportasi, sesuai tradisi dalam Islam yang diterapkan Panitia.


Bendera negara-negara dikibarkan dalam sebuah pertemuan agama di Inggris.
Setelah ngobrol lama barulah Mas Syukur tahu, rupanya sopir itu memang datang dari salah satu Negara Asia Selatan yang bukan termasuk negara Kaya. Hanya sopir muda ini berani mengadu nasib berwirausaha di London, dengan tingkat usaha sekelas maklar kendaraan bermotor.

Mas Syukur tambah ingin tahu keadaan si sopir, dengan asumsi perbandingan, jika Pengusaha Hotel seperti dirinya saja harus mengirit membelanjakan duitnya di London, kira-kira berapa penghasilan sopir yang sekelas maklar motor itu? Kembali Mas Syukur mengejar tanya : “Apakah Tuan tidak merasa cukup berat bersaing usaha dengan para wiraswastawan London yang juga datang dari berbagai belahan Dunia lainnya itu”? Dengan tenang sopir muda itu menjawab :”Semua tergantung niatnya”!

Jawaban si sopir tentu membuat Mas Syukur makin penasaran, apa hubungannya antara niat dengan persaingan usaha di kota sebesar London? “Tuan bisa menjelaskan tentang istilah tergantung niat tadi”? desak Mas Sykur lagi. “Ya, tentu saja bisa”! jawab sopir muda tadi tetap dengan mimik yang tenang, sambil melanjutkan bicara. “Ketika saya meninggalkan Negeri saya datang ke London ini untuk bekerja , niat saya agar saya tetap bisa ikut mensyiarkan Agama Allah”!

Wah, itu sih jawaban yang terlalu Filosofis, pikir Mas Syukur. Bahkan kalau didengar Gus Dur atau Gus Miftach, bisa dianggap jawaban berbau Mitos yang agak jauh dari Logos. Tapi seakan memahami pola pikir Mas Syukur, dan kebanyakan orang Indonesia, si sopir segera melanjutkan penjelasannya. “Teman-teman saya sesama pengusaha yang datang dari berbagai Negara ke London, untuk ukuran perolehan materi atau penghasilan , dalam kurun waktu yang sama tidak jauh beda dengan yang saya peroleh. Ada yang lebih kaya sedikit, ada pula yang dibawah saya”.

Kali ini Mas Syukur makin penasaran memandangi bahasa tubuh dan lisan sang sopir , ketika anak muda itu merajut kalimatnya dengan tenang dan tekanan nada penuh makna. “Ya , kami para pengusaha sama-sama datang ke London, kemudian sama-sama berhasil menjadi kaya. Bedanya, teman-teman saya ,ya niatnya dari awal memang hanya mencari kekayaan itu. 

Sedangkan saya berniat berwira usaha agar bisa ikut ambil bagian dalam Syiar Agama Allah. Kini hasilnya, ketika saya bisa dengan tenang, santai , mengobrol dengan para tamu Konferensi,dari berbagai Negara, Order tetap datang , yang artinya uang juga datang. Sementara teman-teman saya pengusaha lainnya, mereka terus tanpa henti mengejar “dunia” itu, dan belum tentu tiap hari berhasil”!

“Jadi, ketika niat teman-teman saya hanya mencari Dunia, sehari hari mereka hanya Mengejar Dunia, dan belum tentu dapat. Tapi kami yang dari awal , mencari Dunia dengan niat mengkhidmati Agama, sehari hari kami Dikejar Dunia , namun tetap bisa dengan tenang menikmati KaruniaNYA”!

Di India, Bajaj Pasti Berlagu…….

Catatan : Abu Hafaseham, New Delhi-India 1991
Didepan Hotel Ashok Palace, New Delhi- India, Bajaj yang kami tumpangi berhenti. Dengan Bahasa Urdu- Hindi bercampur Inggeris logat India si Sopir menunjuk kearah Hotel Berbintang lima itu, meminta kami turun dan segera membayar 85 rupees. Sadar bahwa bukan Hotel itu tempat kami menginap, saya menjelaskan pada si Sopir Bajaj bahwa kami menginap di Asok Plaza, bukan di Asok Palace.

BAJAJ INDIA


Ashok Palace adalah Hotel Bintang Lima, tempat Pak Pipip Sumantri Cs menginap, sementara saya dan Pak Ukun Cs menginap di Asok Plaza, yang mungkin hanya berbintang Tiga. Begitu mendengar penjelasan saya, sambil mengamati kartu nama Hotel yang saya sodorkan, si Sopir Bajaj minta tambahan ongkos 85 rupees lagi. Jadi total 170 rupees, atau setara dengan 17 ribu rupiah. Bayaran Bajaj itu lebih mahal dari beaya naik taxi, yang hanya 150 rupees,atau setara dengan 15 ribu rupiah, dengan jarak yang sama ketika kami berangkat dari Hotel Asok Plaza menuju Masjid Ahmadi New Delhi- dekat Batra Hospital.

Tipu-tipu berlagu gaya Sopir Bajaj India yang menimpa kami itu berawal dari “Jasa Baik” Tuan Shamsir Ali. Ketika saya dan Pak Musa tiba di Masjid Ahmadi New Delhi, Pak Basyith, Pak Shamsir dan beberapa orang lainnya bertanya, menginap dimana? Kesini naik apa? dan sebagainya. Saat saya jelaskan bahwa saya nginap di Asok Plaza dan naik taxi menuju Masjid ini, dengan ongkos 150 rupees, beliau-beliau berkomentar: Kemahalan! Perbandingannya, Pak Basyith yang letak Hotelnya lebih jauh hanya membayar ongkos taxi sekitar 90 rupees. Jadi, Pak Shamsir menawarkan jasa baik , “nanti kalau mau kembali ke Hotel bilang saya , biar saya yang tawarkan taxi” , janji Pak Shamsir.

Setelah seharian kami mengambil gambar dan wawancara dengan sejumlah besar anggota Delegasi dari berbagai Negara yang singgah di Masjid New Delhi, kami bergegas kembali ke Hotel. Diantar Pak Shamsir yang segera menawar Bajaj dengan Bahasa Urdu yang medhok. Maklum Pak Shamsir sudah lebiih lima tahun study di Pakistan, sehingga sopir Bajaj menyerah dengan ongkos 85 rupees dengan janji mengantar kami sampai di Hotel Asok Plaza. Dari sinilah tipu Lagu Gaya Bajaj India dimulai.

Dari depan Akademi Publisistik Indira Ghandi, tak jauh dari Mesjid Ahmadi New Delhi , saya dan Pak Musa mulai melangkah memasuki Bajaj. Supir Bajaj yang berkumis tebal itu segera menstater kendaraan roda tiganya, dan melesat kencang menyusuri jalanan Ibu Kota India. Seingat saya, tak ada kendaraan roda empat, seperti taxi dan mobil penumpang pribadi lainnya yang mampu mendahului Bajaj yang kami tumpangi.


Saya bisa memaklumi kecepatan Bajaj yang kami tumpangi, karena saya pikir, mungkin, kendaraan itu terawat dengan baik karena selalu memakai suku cadang asli buatan India. Tempat kendaraan itu “dilahirkan” dan kini beroperasi! Hanya saja , yang membuat saya mulai curiga, adalah kelakuan si Sopir Bajaj, yang sejak start dan sepanjang perjalanan terus melantunkan lagu berbahasa Hindi campur Urdu, dengan irama yang agak menghentak- hentak. Irama lagu itu seakan mengiringi goyang roda dan kemudi Bajaj yang terus meliuk-liuk menyalip bermacam kendaraan, tanpa kendaraan lain bisa menyalip Bajaj kami.

Tiba-tiba dengan memiringkan badan, si Sopir memotong arus lalulintas , dan dengan sedikit menimbulkan kejengkelan para pengemudi yang berlawanan arah, Bajaj kami merapat kearah pompa bensin.Ya, Bajaj kami menambah bahan bakar.Usai isi bensin, Bajaj kami segera tancap gas kencang-kencang lagi. Kurang dari setengah jam Bajaj kami sudah sampai didepan Hotel Asok Palace.

Didepan Hotel Bintang lima itu terjadi adegan seperti yang dituturkan diawal cerita ini. Tapi tidak cuma itu. Ketika kami belum mau membayar, dan belum juga turun dari Bajaj, sopir berkumis tebal itu dengan kasar membuka pintu Bajaj dan membentak kami agar segera turun dan membayar ongkos. Dan tangannya menadah ,dengan gaya agak mengancam!

Sebagai orang yang pernah besar dan hidup di jalanan kota Metropolitan, emosi saya mulai terpancing oleh ulah sopir India yang berangasan itu. Dalam hitungan saya, tidak terlalu sulit untuk membuat sopir pemarah itu bungkam, bahkan pingsan beberapa puluh menit , sehingga kami bisa ganti kendaraan menuju Hotel Asok Plaza tempat kami menginap.

Pak Musa yang anak tentara ternyata lebih sabar dari saya. Dengan cekatan , pemuda Jangkung yang dikemudian hari menjadi Sadr MKAI itu, segera menyatakan setuju membayar 85 rupees lagi kepada sopir Bajaj, dan perjalanan pun dilanjutkan tanpa ada keributan yang berarti. Artinya, ya tadi, kami jadi terpaksa “setengah tertipu” , membayar Bajaj lebih mahal dari naik taxi di India!

Sejak saat itu, jika saya pergi bersama rombongan yang lain, saya selalu menjadi “juru tawar” jika naik kendaraan atau membeli sesuatu barang apapun di India. Padahal Bahasa Inggeris saya patah-patah, dan sayapun tak begitu faham bahasa Hindi maupun Urdu. Caranya , saya selalu bawa kertas dan pulpen, dan menuliskan dengan huruf-2 isyarat kepada sopir atau pedagang India.

Jika saya menawar seratus rupees misalnya, maka saya tulis di kertas angka 100 dengan tanda tanya seperti ini:100? Kemudian dibawah tulisan itu saya minta sopir atau pedagang menuliskan angka harga yang disetujuinya. Jika belum cocok, kami akan bergantian menulis dikertas yang saya pegang, hingga tawar menawar itu mencapai kesepakatan. Hasilnya, sejak kasus “Bajaj Berlagu” itu, saya tak pernah lagi tertipu di India.

Konon , menurut Ir. Syarif Lubis Msc., jika belum pernah ditipu, maka kita dianggap belum sampai di India. Padahal, sesungguhnya, kenapa kami sampai bisa kena tipu-tipu Bajaj Berlagu India itu, karena kami tidak mempergunakan bahasa yang dimemengerti oleh kedua belah fihak. Yakni: antara Penumpang dan Sopir Bajaj.

Jika Ketika menawar taxi dari Ashok Plaza ke Masjid Ahmadi kami pakai bahasa Inggeris, walaupun bayar 150 rupees kami tak ada masalah. Tapi ketika menawar Bajaj, Pak Shamsir yang “membantu” kami memakai bahasa Urdu, padahal beliau tidak ikut naik Bajaj, dan kami yang jadi penumpang tak faham bahasa Urdu. Akibat komunikasi yang tidak nyambung antara penumpang dan sopir Bajaj itulah, maka tipu-tipu Bajaj Berlagu Gaya India bisa terjadi…..

Pengajian Keseratus Duapuluh Tujuh (127)







Pengajian Keseratus Duapuluh Tujuh (127)

Assalamu’alaikum War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,







Apakah kamu hadir ketika Ya’qub menjelang kematian, ketika dia bertanya kepada anak-anaknya,”Apakah yang akan kalian sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab,”Kami akan tetap menyembah Tuhanmu, Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishak sebagai Tuhan Yang Esa, dan hanya kepadaNyalah kami berserah diri.” (133) Itu adalah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan dimintai tanggung-jawab terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (134) : Al-Baqoroh : 133-134.

Kita akan membahas kedua ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari sudut pandang teologi, antropologi, historiografi, maupun psikologi dll, secara holistis dan komprehensif agar dapat dicapai hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan kedua ayat

Pokok Bahasan

Dilihat dari redaksinya kedua ayat ini merupakan satu kesatuan dengan rangkaian 3 ayat sebelumnya yang kita bahas pada Pengajian ke 126, sehingga lengkapnya adalah ayat 130-134.
Asbabun-nuzul ayat 133, berkaitan dengan pernyataan para tokoh Bani Israil tentang wasiat Ya’qub al Israil menjelang ajal, agar putra-putranya berpegang teguh pada agama Yahudi. Maka turunlah ayat 133, “Am kuntum syuhadaa-a idz hadzara ya’quubal-mautu…..dst..” : “Apakah kamu hadir tatkala Ya’qub menjelang kematiannya,…dst..”. Nada tanya dalam ayat ini mengungkapkan kebohongan Bani Israil. Kata ‘Am’ di awal kalimat  memiliki makna penolakan, artinya kalangan Bani Israil di zaman Rasulullah saw itu tidak hadir dan tidak mengetahui yang sebenarnya tentang peristiwa tsb. Kalimat berikutnya menunjukkan substansi yang lebih dalam tentang ketauhidan Ya’qub dan putra-putranya yang merupakan datuk-datuk yang menurunkan keduabelas suku Bani Israil. Perhatikan penggalan akhir pernyataan ketauhidan mereka,”wa nahnu lahu muslimuun(a)” : “dan hanya kepadaNyalah kami berserah diri (Islam)”. Narasi ayat 133 ini kembali menegaskan otentitas prinsip ketauhidan dalam tradisi agama Semit yang bahkan berakar pada ancient-Israiliyah yang ditunjukkan dalam dialog testimony antara Ya’qub al-Israil dengan putra-putranya menjelang ajal Ya’qub; yang dengan sendirinya memberikan legitimitas kerasulan Muhammad saw yang harus menjadi panutan pula bagi Bani Israil di zaman Rasulullah saw, jika mereka benar-benar beriman kepada Tuhan Ibrahim, Ismail, Ishak dan Ya’qub serta putra-putranya. Artinya jika mereka tiak beriman kepada Rasulullah saw, maka mereka telah menempuh jalan sesat.
Narasi ayat 134 menunjukkan fakta diskonektif  antara perilaku kejiwaan generasi Ibrahim, Ismail, Ishak dan Ya’qub yang berasaskan tauhid, dengan generasi Bani Israil di zaman kerasulan Muhammad saw yang menyimpang kepada kemusyrikan. Dengan demikian ayat  134 ini ingin membuktikan garis lurus benang merah ketauhidan antara nenek moyang ras Semit dengan Rasulullah saw, dan karena penolakan mereka untuk beriman kepada Rasulullah saw serta kemusyrikan (politeis) mereka, maka Bani Israil berada di jalan yang sesat yang justru terputus hubungan kejiwaannya dengan para pendiri peradaban Semit yang berideology tauhid (monoteis).

Sudah barangtentu kalangan Bani Israil menolak klaim para mufassir Al-Qur’an tentang dialog testimony antara Ya’qub dan putra-putranya itu. Bani Israil menegaskan bahwa dalam Taurat tidak ada dialog testimony seperti itu. Para mufassir Al-Qur’an telah memalsukan Kitab Taurat kepada bentuk yang mereka inginkan yang sesungguhnya tidak ada dalam Taurat. Dan sesungguhnya agama Yahudi seperti yang mereka anut adalah agama yang di anut oleh Ibrahim, Ishak dan Ya’qub yang menyembah kepada Yahweh El Sada’i sebagaimana diperintahkan Taurat yang menjadi pedoman Bani Israil sepanjang masa. Dalam pandangan mereka kerasulan Muhammad saw dan agama yang dibawanya adalah palsu, diluar tradisi Semit yang mainstream-nya adalah Bani Israil yang mengklaim dirinya sebagai Sya’bullah al-Mukhtar (bangsa yang terpilih).

Sudah barang tentu jumhur mufassirin bersikukuh bahwa kedua ayat diatas mempertegas bahwa benang merah ketauhidan yang merentang lurus dari Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan putra-putranya  kepada Muhammad saw. Maka pada era ini Sya’bullah al-Mukhtar telah berganti kepada Kaum Muslimin. Dan azas ketauhidan adalah hakekat religiusitas yang ditegakkan sejak era dasar di zaman Ibrahim hingga era implementasinya di seluruh dunia di zaman kerasulan Muhammad saw. Bani Israil yang mengklaim sebagai pembawa amanat agama Yahudi yang  diyakini sebagai satu-satunya prinsip religuisitas yang benar, menurut pandangan jumhur mufassirin justru berada diluar mainstream ketauhidan dan tersesat di jalur paganisme yang musyrik dengan berbagai sinkretisme dan okultisme yang tumbuh subur dalam budaya Bani Israil dan merusak agama Taurat yang asli yang tidak lain adalah agama Islam seperti pernyataan putra-putra Israil pada ayat 133 diatas.
Hal-ihwal tentang otentitas ideology tauhid dalam misi kerasulan Muhammad saw sudah kita bahas cukup mendalam pada Pengajian ke 126 yang lalu, yang mengungkapkan pula otentitas sejarah Baitul Maqdis. Dan seperti yang tampak dalam substansi konflik ideologis dalam narasi kedua ayat didepan, maka pertentangan ideologis antara Kaum Muslimin dan Bani Israil terus merentang panjang hingga di zaman ini.

Kitab-kitab Suci Agama Yahudi

Dari narasi kedua ayat diatas, dapat disimpulkan bahwa para mufassir dari zaman 8 abad yang lampau itu menitikbertakan agama Yahudi sebagai agama Taurat saja. Padahal agama Yahudi merupakan sinkretisme dengan variable religiusitas yang sangat beragam. Terdapat 43 kitab suci agama Yahudi, termasuk 5 kitab yang disebut Taurat. Keseluruhan kitab suci agama Yahudi sbb :
1. Kejadian, 2. Keluaran, 3. Imamat Orang Lewi, 4. Bilangan, 5. Ulangan (Kitab Taurat);
6. Yusak, 7. Hakim-hakim, 8. Hut, 9. Samuel Pertama, 10. Samuel Kedua, 11 Raja-raja Pertama, 12. Raja-raja Kedua (Kitab Nabi-nabi Terdahulu);
13. Tawarikh Pertama, 14. Tawarikh Kedua, 15. Ezra, 16. Nehemia, 17. Ester, 18. Ayub, 19. Mazmur, 20. Amtsal Sulaiman, 21. Al-Khatib, 22, Syirul Astar (Surat-surat);
23. Nabi Yesaya, 24. Nabi Yeremia, 25. Nudib Jermia, 26. Nabi Yehezkiel, 27. Nabi Daniel, 28.Nabi Hosea, 29. Nabi Joel, 30. Nabi Amos, 31. Nabi Obaja, 32. Nabi Yunus, 33. Nabi Mikha,, 34. Nabi Nahum, 35. Nabi Habakuk, 36 Nabi Zefanya, 37. Hajai, 38 Nabi Zakharia, 39 Nabi Maleakhi (Kitab Nabi-nabi Kemudian)
Keseluruhan 39 kitab suci itu terdiri 929 surat dan 23.160 ayat.
Disamping itu masih terdapat kitab suci yang ke 40, yaitu Talmud, yang terdiri dua bagian utama, yaitu Halachah (ritual dan hukum) dan Hagadah (hikayat dan moral);
Kitab suci yang  ke 41 disebut Sefer Yetzerah, yang ke 42 Sefer Zohar dan yang ke 43 Sefer Bahir. Ketiganya merupakan kitab suci Khabbalah.
Kitab suci ke 40-43 yang bercorak paganis dan okultis, belakangan menjadi kitab-kitab suci yang paling dianut oleh masyarkat Yahudi, bahkan hingga sekarang, yang pemahamannya berbentuk sinkretisme dengan kitab-kitab suci ke 1 – 39. Oleh karena itu tidak heran jika pemahaman Taurat kalangan Yahudi berbeda dengan kalangan Islam dan Kristen. Inilah yang kemudian menjadi sumber pertentangan ideologis ketiga agama Semit itu (Yahudi, Kristen dan Islam) hingga masa sekarang.

Tempat Suci Agama Yahudi
Tempat suci agama Yahudi satu-satunya seperti sudah diterangkan pada Pengajian ke-126 adalah Baitul Maqdis (Bait Suci) atau Masjid Al-Aqsha (Masjid yang jauh) atau disebut juga Haekal Sulaiman, yang didirikan oleh Daud dan dirampungkan oleh Sulaiman pada abad ke 10 SM di bukit Zion, Yerusalem. Pada abad ke 6 SM Baitul Maqdis dihancurkan oleh Kaisar Babilonia Nebukadnezar. Dicoba dibangun kembali oleh Nabi Ezra dan Nabi Nehemia dengan bantuan Kaisar Parsi Cyrus Yang Agung pada th. 550-530 SM tetapi kurang memuaskan. Baru pada akhir abad ke 1 SM pada masa pemerintahan Herodes Yang Agung, raja Israel yang diangkat oleh Romawi, Baitul Maqdis memperoleh keagungan kembali meski tanpa Tabut Suci (Loh Batu Taurat) yang hilang sejak serbuan pertama Nebukadnezar th. 597 SM. Tetapi pada th. 70 M Baitul Maqdis dibinasakan oleh Panglima Titus sebagai akibat pemberontakan nasional bangsa Yahudi terhadap Romawi yang menjajah Yerusalem. Ketika Rasulullah Isra’ Mi’raj th. 621 M, yang  dimaksud Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis hanyalah reruntuk di Bukit Zion. Rasulullah saw melaksanakan sholat sunat dua rakaat diatas Batu Karang Suci Ya’qub (Matzevot) sebagai satu-satunya benda suci yang tersisa dari reruntuk Masjidil Aqsha itu, sebelum Mi’raj. Diatas Matzevot itu kemudian didirikan bangunan indah oleh Khalif Abdul Malik pada akhir abad ke 7 yang kemudian terkenal sebagai Qubbet as Shakra atau Dome of the Rock (Kubah Karang) yang menjadi tempat suci bersama Yahudi dan Muslim. Itulah situs Masjid al Aqsha yang sebenarnya. Adapun seperti sudah diterangkan pada Pengajian ke 126, bangunan yang disebut Masjidil Aqsha sekarang ini dibangun oleh Khalif Al-Mahdi pada th, 775-785 M di area bukit suci Zion berdekatan dengan situs Baitul Maqdis yang asli. Jadi jelas Masjid Al Aqsha yang sekarang ini hanya sama nama dan di lokasi yang berhimpitan, tapi bukan yang  dimaksud Surat Al-Isra ayat (1) yang menjadi medium Isra’-Mi’raj Rasulullah saw. Namun kita bersama semua Muslimin di dunia tetap membela Masjid Al-Aqsha Al-Mahdi itu yang tetap merupakan situs teofani yang suci dan symbol perlawanan terhadap agresi Israel yang merampas kemerdekaan bangsa Palestina. Kita mengutuk penggalian yang membahayakan fondasi al-Aqsha al-Mahdi itu. Namun kita menghormati Tembok Ratapan (Tembok Barat) sisa dari Baitul Maqdis yang disucikan Yahudi ortodoks.
Situasi Indonesia
Meski telah ikut serta mengutuk Israel, Indonesia sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar didunia (200 juta dari 220 juta) sedang mengalami problem yang jauh lebih serius daripada masalah Palestina dan Yerusalem, Indonesia kini dibawah pemerintahan yang sangat lemah yang tidak memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan pemerintahan yang efektif, sehingga secara keseluruhan telah memperlemah kondisi negara. Ketidakmampuan Pemerintah SBY dalam mengatasi hampir semua masalah bangsa telah membahayakan eksistensi bangsa dan negara yang terancam disintegrasi sosial dan bahkan terancam bubar. Buruknya citra Parlemen dan buruknya Konstitusi telah menutup peluang terjadinya perubahan pemerintahan secara antar waktu dengan jalan konstitusional. Ini menjadikan revolusi dan disintegrasi sebagai satu-satunya pilihan politik. Kini kehidupan rakyat semakin sulit, semakin miskin dengan jumlah pengangguran yang terus meningkat dibarengi kekacauan pangan, transportasi, birokrasi,  hukum, infra struktur dll, menjadikan seluruh negara sekarang ini ditepi jurang kehancuran. Sekian, semoga Allah swt menolong kita, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih. Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 2 Maret 2007,
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional